PMII, MASIHKAH DIPERLUKAN? (REFLEKSI HARLAH PMII KE-60)


Wasid Mansyur
(Anggota Pergerakan tahun 1999 
IAIN/UIN Sunan Ampel Surabaya, 
Aktif di PW GP Ansor Jawa Timur)

Tulisan ini sengaja diberi judul dengan muatan pertanyaan, setidaknya sebagai panggilan batin sebagai kader yang pernah berproses di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Lebih dari itu, racikan tulisan diperuntukkan dalam rangka melakukan refleksi internal bertepatan dengan Hari Lahir PMII yang ke-60, yang menurut data sejarah PMII lahir di Surabaya 17 April 1960.

Sebuah umur terus semakin menua dengan tantangan yang semakin berbeda dan maju dibandingkan dengan era 60tahun yang lalu di mana PMII dilahirkan oleh para pendirinya yang nota benenya adalah Mahasiswa-mahasiswa kritis dengan kultur antropologisnya dari Pesantren-Nahdliyin sebagai asal usul. Pertanyaan masih perlukah PMII, bukan saja bagi internal PMII, tapi juga bagi NU dan Bangsa. Bukankan PMII lahir tidak lepas dari proses keberlangsungan estafet kepemimpinan NU dan Bangsa. 

Untuk itu, penulis mengutip dua pertanyaan penting dari dua tokoh yang berjasa besar, baik dalam konteks gerakan maupun pemikiran ketiak PMII membangun pondasi nilai perjuangan dalam pergerakan. Pertama, kutipan dari sahabat H. Mahbub Junaidi, mantan Ketum PB PMII pertama tahun 1960-1967. Menarik dari sosok Mahbub adalah penulis hebat dan aktivis berani yang lahir dari kampus UI. Tulisan-tulisannya sangat kritis dalam mengkritik, terlebih mengkritik rezim dengan bahasa yang renyah. Dalam ber-PMII, sahabat Mahbub pernah mengingatkan:

"Menjaga keseimbangan antara belajar dan berpolitik tetap merupakan soal penting sekarang ini. Berpolitik disini berarti bermasyarakat, mengamati apa yang terjadi di sekitar dan punya keberanian bersuara membela yang benar.” 

Kedua adalah kutipan dari sahabat H. M. Zamroni. Beliau adalah mantan Ketua Umum PB PMII tahun 1967-1970 dan 1970-1973. Dikenal sebagai demonstran hingga pernah memimpin Kesatuan Aksi mahasiswa Indonesia (KAMI), dan politisi ulung serta cukup disegani baik teman maupun lawannya. Dalam salah satu kesempatan Sahabat Zamroni mengatakan sebagai berikut:

“Kini, di tengah kehidupan yang serba profesionalisme dan cenderung materialism, PMII harus menjadi pemprakarsa dan pengawal utama dalam membumisasikan Islam Aswaja.  Patokannya, dalil naqli (al-Qur’an dan al-Hadith), dan dalil rasio. Keseimbangan keduanya harus ditampilkan. Karena itu, pengkajian, pemahaman dan perekayasaan keislaman hendaknya terus menerus dilakukan.”

Dua kutipan ini menarik untuk ditafsirkan –sekaligus direnungkan-- dalam konteks masa kini, masa kini dimana kader-kader PMII hidup di era digital. Masa kini yang memastikan, kader-kader PMII milenial harus “melek” medsos agar tidak tertinggal. Jika tidak, bisa dipastikan perannya tergilas, untuk tidak mengatakan hilang, dalam lintasan imajinasi publik aktivis dan masyarakat luas. Lantas, masih pentingkah PMII?

Di samping itu, apa yang disampaikan sahabat Mahbub dan sahabat Zamroni  masih sangat konteks untuk memperkuat internalisasi kader Milenial PMII dalam membangun jati diri; jati diri yang hari ini mudah tergerus oleh kenyamanan semua era digital dengan segala pernak-perniknya. Pastinya semua harus sadar diri bahwa mengabaikan jati diri pergerakan berakibat pada hilangnya –apa yang disebut Henry Bergson sebagai—“Elan Vital” pergerakan. Lantas, masih pentingkan PMII?

Itulah keresahan yang terjadi di usia PMII yang terus bertambah.  Kita yakin harapan itu masih muncul, jika semua insan pergerakan terus melakukan pembinaan kaderisasi. Hal-hal yang cenderung menjadi rutinitas, harus segera dibenahi menjadi yang lebih substantif bagi proses kaderisasi dengan terus beradaptasi dan memanfaatkan era digital atau industri 4.0.

Satukan Energi
Dzikir, Pikir dan Amal Sholeh

Dalam momentum ke-60 kelahiran PMII, tagline Dzikir, Pikir dan Amal Sholeh harus dirawat kembali agar terus konsisten menjadi satu energi dalam tubuh pergerakan kader. Tiga semangat nilai yang menggambarkan soal berdzikir, akal, dan pentingnya untuk berkontribusi kepada yang lain dalam ranah amal sholeh, harus berjalan beriringan agar apa yang dilakukan tak lepas  kendali dan semakin jauh dari spirit kelahirannya. 

Pertama, kaitan dengan Dzikir adalah soal bagaimana PMII harus menjadikan Tuhan, Allah SWT sebagai pusat energi. Dzikir tidak sekedar formalitas –sekalipun tetap penting-- dengan membaca bacaan tertentu, tapi dzikir mengajarkan agar kader selalu ingat bahwa apa yang dilakukan dalam setiap proses memiliki tanggung-jawab secara transenden; sejauhmana teologi pergerakan mampu membumikan nilai-nilai ketuhanan dalam ruang sosial nyata, misalnya sifat kasih sayang, sabar, adil dan lain-lain.

Jika dikaitkan dengan perkataan Mahbub, maka kader-kader PMII tidak boleh lemah dan lengah, baik dalam belajar dan berpolitik dengan makna yang luas. Perubahan tidak datang dari langit, tapi dibutuhkan pergerakan nyata yang tiada henti agar organisasi terus berkah (al-Harakah barkatun). Dzikir dengan mengingat Allah setiap saat harus menjadi energi gerak, gerak untuk merubah keadaan terus menuju kebaikan.

Kedua, kaitan pikir adalah berhubungan dengan daya kritis PMII. Secara historis, kelahiran PMII muncul dari kritisisme mahasiswa dari kalangan NU dalam menyikapi keadaan; keadaan kontestasi dengan organisasi dengan mahasiswa lain yang tidak seideologis, sebagai kader NU dan sebagai anak bangsa dari kalangan mahasiswa yang harus sadar diri terlibat menyikapi setiap keadaan dengan kritis. 

Karenanya, semangat pikir ini tidak bisa diabaikan. Forum-forum diskusi harus terus digalaknya, misalnya soal penguatan ideologi keislaman dan keindonesiaan. Apa yang disindir oleh Sahabat Zamroni di atas kutipan ini, memastikan bahwa tidak ada lagi kader yang tersesat di tengah jalan. Misalnya, mengaku kader PMII, tapi pikiran dan tindakannya jauh dari nilai-nilai Aswaja dan keindonesiaan ala PMII. Lebih tegasnya, kader PMII tidak boleh berdiam diri, bila kemudian ada pikiran radikal ala wahabi-salafi dan sejenisnya berkembang, terlebih di lingkungan kampus.

Ketiga, kaitan amal sholeh adalah berhubungan dengan kontribusi PMII untuk masyarakat luas dan bangsa. Amal sholeh adalah manifestasi keimanan dan pikiran agar memberikan makna bagi yang lain. Pergerakan apapun yang dilakukan, jika tidak mampu memberikan makna bagi masyarakat, maka ada problem teologi amal sholeh yang belum selesai.

Prinsip amal sholeh atau menebarkan kebajikan sangat luas kepada siapapun dalam lingkup persaudaraan sesama Muslim (ukhuwah Islamiyah), persaudaran sesama bangsa (ukhuwah wathaniyyah), dan persaudaran sesama manusia (ukhuwah basyariyah). Di samping, dengan pola yang sangat beragam, misalnya dengan memanfaatkan medsos sebagai media agar berjalan dengan mudah dan segera dimanfaatkan orang lain. Tidak ada manfaat iman dan pikir, jika tidak ada tindakan nyata dalam semangat amal sholeh.

Pada akhirnya, jika PMII tetap konsisten dalam teologi Aswaja (tegasnya al-Nahdiyah), NDP dan paradigma pergerakannya, penulis yakin sampai kapanpun PMII sangat dibutuhkan bagi NU dan Bangsa. Bagi NU, sebab PMII adalah organisasi yang lahir dari NU dan kembali ke NU –sambil mengingat putusan Muktamar NU ke-33 di Jombang. Bagi bangsa, kader-kader PMII hadir akan memperkuat visi keislaman moderat dan toleran, yang sangat dibutuhkan bagi bangsa di tengah kontestasi ideologi yang masih terjadi melalui hadirnya para penolak pancasila dan nilai-nilai kebangsaan lainnya. Semoga PMII makin jaya dalam geraknya. SELAMAT HARLAH PMII Ke-60.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.