SOUND HOREG: Dentuman Kelas Bawah, Kontroversi Kelas Atas

Nadirsyah Hosen
Deputy Director CILIS
(Centre for Indonesian Law, Islam and Society)


University of MelbourneFenomena sound horeg—sistem audio berkekuatan tinggi yang digunakan dalam hajatan, arak-arakan kampung, atau konser jalanan—telah menjadi bagian tak terpisahkan dari lanskap suara di banyak wilayah Indonesia. Dentumannya bisa terdengar dari ratusan meter, menembus dinding rumah, bahkan mengguncang isi dada. Ia menjadi sumber hiburan sekaligus sumber keluhan.

Pertanyaannya bukan sekadar sekeras apa suaranya, tetapi sebesar apa kita memahami konteks sosial, budaya, dan ekonominya.

Fatwa: Mengganggu atau Menghidupkan?

Sejumlah ulama dan lembaga keagamaan daerah telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan sound horeg sebagai haram jika mengandung unsur melalaikan, campur baur yang tidak syar’i, atau mengganggu ketenangan publik. Prinsip fikih lā ḍarar wa lā ḍirār—tidak boleh membahayakan dan tidak boleh saling menyakiti—menjadi dasar utama. Jika penggunaannya menyebabkan gangguan tidur, menimbulkan konflik lingkungan, atau merusak ibadah, maka ia tidak lagi dilihat sebagai budaya, tapi sebagai bentuk kezaliman sosial.

Namun pendekatan fatwa juga beragam. Beberapa lebih memilih pendekatan gradual (tadarruj), menekankan edukasi dan transformasi budaya daripada pelarangan mendadak, dengan mempertimbangkan bahwa sound horeg juga menjadi bentuk ekspresi kolektif rakyat kecil yang tidak memiliki akses ke hiburan formal.


Risiko Kesehatan: Teror Frekuensi Tinggi

Dari sisi medis, sound horeg bukan sekadar bising—ia berpotensi merusak. Volume yang kerap melebihi 100 desibel dapat menyebabkan gangguan pendengaran permanen, terutama pada anak-anak dan lansia. Penelitian juga menunjukkan keterkaitan antara suara bising ekstrem dengan gangguan tidur, stres kronis, dan bahkan peningkatan tekanan darah.

Sayangnya, mayoritas pengguna sistem ini tidak memahami dampaknya secara fisiologis, dan tidak ada kebijakan publik yang secara khusus mengatur ambang batas desibel untuk kegiatan rakyat di ruang terbuka.


Teknologi dan Ketimpangan Akses

Perkembangan sound horeg tidak bisa dilepaskan dari teknologi rakitan murah. Ampli bekas, speaker bongkaran, hingga aplikasi equalizer gratis memungkinkan siapa pun menjadi operator sound system. Ini adalah wajah baru dari demokratisasi teknologi audio, namun tidak diiringi dengan literasi akustik dan tanggung jawab sosial.

Di sisi lain, tidak adanya alternatif ruang hiburan murah dan sehat membuat dentuman menjadi satu-satunya cara masyarakat mengekspresikan kebahagiaan kolektif. Dalam logika ini, pelarangan total tanpa solusi hanya akan memperkuat jarak sosial antara pembuat kebijakan dan suara rakyat.


Dimensi Sosial yang Sering Terlupa

Kritik terhadap sound horeg sering datang dari kalangan menengah perkotaan yang merasa terganggu oleh polusi suara tersebut. Tapi ironi muncul ketika disadari bahwa kelas menengah sendiri hidup dalam kebisingan: bukan dalam bentuk desibel fisik, melainkan kegaduhan diskursus di media sosial. Mereka terbiasa dengan riuhnya timeline, debat virtual, dan hiruk-pikuk konten digital.

Sebaliknya, masyarakat di akar rumput—yang tidak memiliki panggung di dunia digital—menciptakan kebisingannya sendiri, dalam bentuk yang lebih literal. Keduanya sama-sama bising, hanya berbeda platform dan status sosial.

Dengan demikian, kecaman terhadap sound horeg tidak bisa dilepaskan dari bias kelas. Dentuman itu dianggap mengganggu bukan hanya karena volumenya, tetapi karena ia membawa selera dan ekspresi budaya yang dianggap “rendah” oleh standar elite urban.


Alternatif: Pengelolaan Bukan Pemadaman

Pendekatan represif tidak akan menyelesaikan masalah. Yang dibutuhkan adalah regulasi berbasis komunitas, pendidikan teknis bagi operator lokal, dan insentif bagi penggunaan sistem audio yang aman dan ramah lingkungan. Pemerintah daerah juga dapat menyediakan ruang hiburan publik yang terjangkau dan terkelola secara profesional.

............
gambar dikutip dari: Sound E Horeg - Search Images

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.