Kiai Zainuddin Mojosari; Sinergi Keilmuan dan Jejaring Pesantren

Wasid Mansyur
Dosen FAHUM UIN Sunan Ampel Surabaya,
Wakil Ketua LTN NU Jatim

Musyararah Kerja Wilayah (MUSKERWIL) NU Jawa Timur tahun 2022 digelar pada tanggal 24-25 Desember di Pondok Pesantren Mojosari Loceret Nganjuk, selanjutnya disebut Ponpes Mojosari. Kehadiran para peserta dari cabang-cabang dan para penggembira dari wilayah Jawa Timur memastikan keberadaan forum tahunan ini menjadi sangat penting sebagai sarana untuk mengevaluasi kinerja, sekaligus merancang kerja-kerja pergerakan dan pengabdian yang belum tuntas untuk terus dilaksanakan pada waktu selanjutnya. Bahkan menjadi ajang silaturrahim antar kader.

Ada hal yang menarik, menurut penulis, kaitan dengan pemilihan tempat pelaksanaan Muskerwil di Ponpes Mojosari. Pasalnya, pondok ini adalah salah satu pondok pesantren tertua di Jawa Timur. Dengan melihat data para masyayikh Ponpes Mojosari, maka embrio berdirinya diperkirakan pada awal abab 18 M, yakni dimulai dari rintisan KH. Ali Imron tahun 1720 M hingga tahun 1791.

Melihat waktunya yang cukup lama, maka kontribusi Ponpes Mojosari cukup besar jasanya bagi perkembangan Islam (Khususnya, Islam Aswaja ala Pesantren) sehingga perlu banyak orang tahu tentangnya. Pastinya, kaitan dengan pilihan MUSKERWIL NU, penulis meyakini tidak lepas dari keberadaan sosok al-Zahid, KH. Zainuddin ibn Mukmin. Mengingat, dari Kiai Zainuddin, banyak Kiai-kiai sepuh pesantren, khususnya generasi awal NU memiliki hubungan sanad keilmuan hingga sanad spiritual kaitan dengan laku-laku tasawuf.

 

Prinsip dan Jejaring Ilmu

Sekedar untuk diketahui, Kiai Zainuddin mulanya memiliki nama Mas’ud. Beliau lahir tahun 1850 M di Padangan Bojonegoro dari keluarga besar santri. dengan begitu, menjadi sangat wajar bila kecintaannya pada ilmu-ilmu keislaman berbasis pesantren sudah terpatri dalam benaknya sejak ini. Tercatat, pada umur 15, Zainuddin muda melanjutkan pengembaraan ilmu ke pondok pesantren Langitan Tuban.

Konon, ketika itu, Ponpes Langitan diasuh oleh KH. Ahmad Sholeh (w. 1320 H/1902 M) Beliau adalah kiai kharismatik dieranya dan generasi ke-2 pengasuh Ponpes Langitan, di samping beliau juga menjadi rujukan beberapa kiai-kiai sepuh dalam tabarrukan untuk menuntut ilmu, misalnya KH. Muhammad Kholil Bangkalan, KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah, KH. Mas Mansur ibn Thoha Ndresmo Surabaya (ayahanda KH. Mas Muhajir),  KH. Syamsul Arifin (ayahanda KH. As’ad Situbondo), KH. Shidiq (ayahanda KH Amad Shidiq Jember), dan lain-lain. Banyaknya, kiai-kiai muda ketika itu nyantri di Ponpes Langitan, menjadi alasan bila kemudian Zainuddin muda juga nyantri ke Kiai Sholeh.

Di Ponpes Langitan, Zainuddin muda tidak hanya belajar ilmu, tapi juga larut dengan tulus dalam pengabdian untuk turut serta memenuhi keseharian sang Guru, Kiai Sholeh. Cara ini yang kemudian menjadi sebab keberkahan ilmunya cukup dirasakan hingga masa-masa berikutnya. Bahkan, ketekunannya dalam belajar dan istiqamahnya dalam beribadah layak diteladani oleh generasi santri terkini. Bukan saja itu, pengabdiannya __dengan penuh ketulusan-- kepada gurunya tanpa mengenal batas, dan tidak pernah mengeluh, alih-alih melakukan protes terhadap perintah guru. Semua dilakukan berdasar pada perintahnya,

Riwayat ini layak menjadi renungan bersama, bagaimana ketulusan Zainuddin muda dalam mengabdi kepada Gurunya, Kiai Sholeh Langitan, sebagai berikut:

“ Suatu ketika, Kiai Sholeh mengutus Zainuddin muda untuk berbelanja di pasar Tuban dengan membawa kuda. Zainuddin muda, tanpa banyak pikir, perintah sang guru dilaksanakan. Tapi, sayangnya, Zainuddin muda tidak kembali dalam waktu yang agak lama hingga akhirnya bertemu dengan santri lain agar segera pula, sesuai dengan perintah Kiai Sholeh. Santri lain berkata, naiki kudanya biar cepat sampai ! sebab Mbah Yai Sholeh sudah menunggu lama. Zainuddin muda, sebaliknya menjawab: saya jalan saja sesuai dengan perintah Mbah kiai untuk membawa kuda, bukan dengan menaiki kuda.”

“Akhirnya, sampailah Zainuddin muda ke dalem Kiai sholeh. Tak lama, Gurunya juga tanya: Kok lama Din, apakah kudanya tidak kamu naiki?. Dengan penuh tawadhu’, Zainuddin muda menjawab apa adanya: “panjenengan” guru tidak menyuruh menaiki, tapi membawa kuda.”

Kejujuran dan ketulusan Zainuddin muda memantik ketertarikan Kiai Sholeh untuk menjadikannya, bukan saja sebagai murid, tapi menjadi anak mantu. Akhirnya, tepat pada tahun 1868 Zainuddin muda menikah dengan Nyai Shalihah, salah satu putri Kiai Sholeh. Dari sini, menjadi menarik sebab jejaring keilmuan semakin kuat dengan dipertegas menjadi jejaring biologis hingga kini hubungan itu terus terasa dalam konteks tradisi santri.

Selama 12 tahun, Kiai Zainuddin berada dalam keluarga Ponpes Langitan sebab tepat tahun 1880, beliau pindah ke Mojosari Loceret Nganjuk dan ditahbiskan menjadi pengasuh Ponpes Mojosari hingga tahun 1954. Tahun 1954 ini juga merupakan tahun wafatnya Kiai Zainudin pada Ahad Pahing 21 Ramadhan dengan umur 104. Jadi kepengasuhan Ponpes Mojosari yang diemban diperkirakan selama 74 Tahun.


Rujukan Santri
Selama 74 tahun mengasuh,  Kiai Zainuddin cukup berjasa mengangkap nama besar Ponpes Mojosari Loceret Nganjuk. Hal ini tidak lepas dari kealimannya dalam menguasai ilmu-ilmu keislaman, tapi juga karena ia larut dalam laku-laku tasawuf, seperti zuhud dalam merespon nilai-nilai keduniaan. 

Kondisi ini yang kemudian, Kiai Zainuddin diyakini oleh banyak kalangan sudah sampai pada maqam waliyullah. Banyak keanehan cara berdakwah Kiai Zainuddin, jika dilihat secara dhahir. Sebut saja misalnya, Beliau selalu menjadikan momentum perayaan Maulid Nabi dan Haflah Imtihan Ponpes Mojosari sebagai sarana untuk membangun harmoni bersama masyarakat luas dengan hadirnya pertunjukan wayang kulit, dandutan, pencak silar dan lain-lain.

Sekilas secara dhahir memang kejadian ini layak diperdebatan. Tapi dari sisi bathiniyah, apa yang dilakukan Kiai Zainuddin adalah dalam rangka strategi dakwah, tidak lebih dari itu. Walau, KH. Hasyim Asy’ari awalnya menolak dan melayangkan surat keberatan atasnma masyarakat yang menolaknya, tapi akhirnya juga menerima dengan pertimbangan dimensi bathiniyyah (walaupun melalui mimpi beliau).

Seiring dengan itu, sikap ini mengingatkan penulis ungkapan Ibn Athoillah dalam kitabnya Tajul Arus, 9 yang artinya sebagai berikut:

“Mukmin sejati adalah setiap orang yang memberi nasehat kepada yang lain dalam kondisi sepi dan selalu menutup-nutupi aibnya, ketika kondisi ramai. Dan salah satu pertanda orang itu celaka, selalu melihat kemungkaran orang lain dengan cara menutupi pintu _komunikasi dengannya--  hingga bersikap menghina-hinanya.”

Kemasyhuran Kiai Zainuddin dalam ilmu dan kewaliannya mengantarkan kemudian banyak santri berdatangan untuk belajar dan berharap keberkahan dari Kiai Zainuddin. Sebut saja, misalnya KH. Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Marzuqi Dahlan Lirboyo, KH. Jazuli Utsman Ploso, Kiai Toha al-Islah, Kiai Mashudi Blitas, KH. Mas Ahmad Muhajir Ndresmo,  KH. Jamal Batokan Kediri, KH. Mahrus, KH. Syafawi Ahmad Basyir Jember, dan lain-lain.

Dari sini, dapat dipahami bahwa kontribusi Ponpes Mojosari Loceret Nganjuk, khususnya melalui jalur KH. Zainuddin, cukup besar dalam mewariskan ilmu dan keteladanan dalam memahami Islam melalui praktik-praktik zuhud sebagaimana lazim dalam tradisi tasawuf.

Akhirnya, melalui Kiai Zainuddin –dan Ponpes Mojosari—kita semuanya layak belajar bagaimana Islam itu dipahami dalam bingkai jejaring kesanadan ilmu dan spiritual. Merawat jejaring ini __setidaknya jejaring alumni yang juga memiliki pesantren dimana mana-- akan menjadi sebab nilai-nilai Aswaja (khususnya Aswaja al-Nahdliyah)  akan selamat hingga akhir zaman. Semoga.   

 

 

  

 

 

 

 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.