TENTANG KHIDMAH

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, kata khidmah diartikan kegiatan, pengabdian, dan pelayanan. Tapi, bila dirunut kata ini identik berasal dari bahasa Arab, yang telah diindonesiakan, yakni dari akar kata khadama-yakhdumu-khidmatan, yang artinya melayani, membantu, memberikan pelayanan dan lain-lain. karenanya, dari makna akar bahasa ini, muncul makna istilah Khidmah, yakni usaha yang dilakukan seseorang dengan kegiatan apapun dengan tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi yang lain, baik dalam konteks perorangan maupun pemerintahan (orang banyak)/qiyamu al-insan binasyathimma lishalini ghairihi min al-afrad aw al-jumhur.

Dari pengertian ini, maka dapat dipahami, bahwa khidmah tidak muncul secara tiba-tiba, dan tanpa alasan. Khidmah lahir dari satu proses kesadaran total dari pelakunya bahwa pemenuhan kemaslahatan individual haruslah bersambung dengan kemaslahatan bagi orang banyak. Secara eksistensial, kesadaran ini lahir dari kenyataan bahwa individu hidup berkelindan dengan kehidupan orang lain yang saling membutuhkan. Semakin tinggi tinggi hubungan timbal balik individu dengan yang lain dalam hal saling mewujudkan kebutuhan, maka semakin tinggi nilai-nilai kemanusiaan itu berproses.

Logika berpikir Khidmah ini menarik bila meminjam pemaknaan Imam Qusyairi dalam kitabnya Nahwu al-Qulub kaitan dengan fi'il lazim dan fi'il muta'addi, ia mengatakan dengan penjelasan yang berbeda dengan makna yang lazim dipahami oleh kalangan Ahli Nahwu sebagai berikut:

أفعال العبد على قسمين: لازم و متعد. فالازم ما تكون بركاته على صاحبه مقصورة، والمتعدى  ما تتعدى خيراته إلى الغير.

“Perbuatan seorang hamba ada dua. Yatu lazim dan muta’addi. Lazim adalah perbuatan yang keberkahannya hanya dinikmati oleh pelakunya. Berbeda dengan muta’adi, yang diartikan sebagai perbuatan yang kebaikannya berdampak kepada orang lain.”  

Lebih jauh lagi, kata Khidmah mengingatkan penulis pada Hizmetnya Gulen, salah satu tokoh gerakan dan pemikir Turki Kontemporer. Hizmet –dalam koteks Gulen’s movement-- adalah gerakan sipil yang tidak berpikir diri sendiri, tapi berpikir nilai-nilai kemanusiaan universal. Semua gerakan ini lahir dari spirit keagamaan dalam rangka melahirkan realitas kebudayaan dalam kebersamaan sebab kesalehan tidak berpikir individual, tapi juga berpikir universal. Untuk mendalami kaitan dengan ini, bisa membaca atau mencari tahu, setidak misalnya melalui “seach mbah google” kaitan dengan Gulen’s Movement dan pengaruhnya dalam konteks global.

Dari pemahaman ini, maka membunuh, melakukan kejahatan atau bahkan menebarkan politik identitas harusnya sudah tidak tumbuh dalam realitas kehidupan sebab semuanya berpotensi menggerus nilai-nilai spirit Khidmah. Ujung-ujungnya Khidmah harus berdampak pada kemaslahatan orang banyak, bukan diri sendiri atau kelompoknya. Karena berkaitan kemaslahatan, maka Khidmah menjadi jalan keabadian bagi pelakunya dan hal yang terkait dengannya (makhdum fihi) juga akan berdampak abadi.

Sejauh mana kemaslahatan itu dirasakan oleh orang lain dan berkelanjutan, maka sejauh itu eksistensi anda akan dirasakan dalam keabadian hidup sebab khidmah. Khidmah berpikirnya adalah menjadi “fiil muta’addi”, bukan “fi’il lazim” sebab fi’il muta’addi memiliki dampak kepada orang lain atau dalam kacamata sosial fiil muta’dilah yang mampu memberikan nuansa perubahan.

Pengabdian NU

Perayaan 1 Abad NU yang puncaknya pada tanggal 7 Februari 2023 di Delta Sidoarjo menarik dilihat dari perspektif Khidmah atau pengabdian. Artinya, keberhasilan NU bertahan sampai umur 100 tahun dengan menghitung kelahirannya berdasar kalender hijriyah tanggal 16 Rajab 1344 H, tidak lepas dari pikiran khidmahnya yang diwariskan oleh para muassis NU, bahkan tidak sedikit para muharriknya dari generasi ke generasi bergerak di NU dengan semangat Khidmah atau pengabdian.

Tokoh-tokoh Muassis itu, sebut saja misalnya Hadratus Syeikh Kiai Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah, KH. Bisri Sansuri (Jombang) KH. Faqih Maskumambang (Gresik), KH. Muntaha (Ndoro Muntaha Bangkalan), KH. As’ad Syamsul Arifin (Situbondo), KH. Hasan Dipo (Surabaya), KH. Raden Asnawi (Kudus), KH. Raden Hambali (Kudus), KH. Ridwan Mujahid (Semarang), KH. Nawawi (Pasuruan), KH. Abdul Halim (Cirebon), KH. Ridwan Abdullah (Surabaya), KH. Ahmad Dahlan Ahyad (Surabaya), KH. Mas Alwi ibn Abdul Aziz (Surabaya) daan lain-lain.

Generasi muassis adalah generasi yang mendirikan NU. Berpikirnya bukan sekedar melahirkan NU, tapi juga membesarkan NU dengan fasilitas yang sangat sederhana dibandingkan fasilitas hari ini. Tanpa semangat Khidmah atau pengabdian, betapa sulitnya NU berkembang, apalagi berpikir untuk rugi secara materi. Misalnya, KH. Wahab Hasbullah harus berkeliling mendirikan cabang-cabang NU di berbagai daerah di seantaro Nusantara sehingga harus meninggalkan keluarga berhari-hari, bahkan tidak sedikit kekayaannya terkuras.

Sebagai bagian dari khidmah di NU, para muassis meneladankan Khidmah kepada NKRI sesuai prinsip NU kaitan hubungan Islam dan nasionalisme. Tidak sedikit siksaan diterima, bahkan harus mengorbankan nyawa atas nama jihad dan pengabdian sebab pengabdian yang total melampaui pelakunya untuk berpikir diri sendiri, melainkan sudah berpikir bagaimana selalu memberikan manfaat bagi yang lain.

Begitu juga generasi penerusnya hingga sampai saat ini. Masih banyak ditemukan para muharrik NU berpikir ikut NU dalam rangka pengabdian, sekaligus keyakinan “gandol sarung” kiai agar selamat, yakni mengikuti jejak pikiran dan warisan keteladanan Khidmah muassisnya. Artinya, di desa-desa, khususnya setingkat MWC misalnya, masih banyak ditemukan kader-kader NU yang ikhlas bergerak tanpa batas siang dan malam. Bahkan dalam acara-acara besar NU, semua kader ikut “bantingan” mengeluarkan uangnya dengan harapan agar kegiatan NU semarak, dan kecipratan keberkahan hidup.

1 Abad NU adalah buah panjang dari gerak Khidmah. Karenanya, potongan kalimat Rais Am PBNU KH. Miftachul Akhyar yang tersebar di media sosial: “untuk menggelorakan semangat cinta dan mawaddah disertai menyatukan roh dan jasad” adalah kalimat penuh makna dalam konteks berkhidmah. Tanpa kecintaan dan tanpa adanya persambungan nilai atau dimensi roh dan jasad, betapa sulitnya khidmah itu akan terwujud lestari. Teladan khidmah muassis, menurut penulis, adalah semangat cinta pada perjuangan dalam bingkai kesatuan dimensi roh dan jasad.

Akhirnya, khidmah adalah pengabdian untuk berpikir kemaslahatan yang lebih besar. Pelakunya akan dikenang sepanjang hayat oleh generasi setelahnya. Para muassis yang berkhidmah bagi NU dan bangsa adalah contoh konkrit, bahwa eksistensi beliau-beliau masih ada sebab nama-namanya selalu disebut-sebut dalam setiap kegiatan NU, bahkan selalu dikirimi “fatihah.” Jadi, bila ingin bermanfaat dan dikenang, mari mentalitas berkhidmah menjadi jalan hidup kita dimanapun dan dalam posisi apapun kita sebagaimana khidmah muassis bagi NU dan Bangsa, sekaligus khidmah NU bagi Islam Aswaja dan Bangsa. Itulah salah satu jalan yang bisa merawat keabadian apapun dalam hidup. Semoga diberi keberkahan umur dalam berkhidmah. Amin..

 


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.