KH. Fatah Yasin; Dari Santri hingga Politisi


Wasid Mansyur
(Pemerhati Sejarah Tokoh, Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya)

Dalam konteks sejarah pertumbuhan dan perkembangan NU, nama KH. Fatah Yasin memang tidak setenar nama para pendiridan penerus NU lainnya, semisal KH. Hasyim Asy’ari. KH. Wahab Hasbullah, KH. Ridwan Abdullah, KH. Bisri Sansuri, dan lain-lain, atau para generasi pelanjut NU, seperti KH. Idham Khalid, KH. Wahid Hasyim, KH. Syaifuddin Zuhri, KH. As’ad Syamsul Arifin dan lain-lain. Pasalnya, tokoh-tokoh yang tenar, bisa jadi karena posisi dalam struktur NU sangat strategis sebagai penentu, atau bahkan disebabkan karena banyak para penulis mengungkapkan sejarahnya dengan mempertimbangkan isu-isu yang melibatkannya dalam lipatan sejarah bangsa sangat penting untuk dijadikan obyek penelitian.

Namun, walau begitu, sejarah Kiai Fatah Yasin, layak diketahui sebab _diakui atau tidak_ ia ikut memberikan warna tersendiri dalam proses perkembangan NU, khususnya dalam konteks perpolitikan nasional. Bahkan mengenalnya menjadi bagian dari upaya membangun kesadaran bahwa NU berdiri dan berkembang digerakkan oleh para kiai-kiai yang tulus bersinergi dalam satu ikatan ideologis Ahl al-Sunnah wa al-Jam’ah, sekaligus rela dalam satu komando sesuai dengan intruksi pimpinan.

Butuh kerja keras memang menulis tokoh, apalagi belum ada tulisan yang mengungkapnya secara detail. Begitulah, kondisi dalam menulis Kiai Fatah Yasin, semua data tentangnya berserakan layaknya puzzle sehingga butuh kesungguhan menatanya agar enak dibaca. Pastinya dengan mempertimbangakn dimensi sinkronis-diakronis yang lazim digunakan dalam penulisan sejarah, yakni berkaitan dengan ruang dan waktu, sekaligus kronologi kejadian yang berkaitan dengan peran Kiai Fatah Yasin sepanjang hidupnya. 

..........................................

Lahir dan Keluarga

Abdul Fatah Yasin, selanjutnya disebut Fatah Yasin yang dalam ejaan lama tertulis Fatah Jasin, merupakan tokoh santri sebab dari sejak lahir dan tumbuh berkembang berada dalam lingkungan tradisi pesantren dan NU. Tercatat, ia lahir pada tanggal 26 Juni 1915 di salah satu Kampung Lama Kota Surabaya, tepatnya Jln Kawatan Gg. 6/4 Surabaya dari pasangan KH. Jasin atau KH. Yasin Kawatan dan Nyai Hj. Darsiyah (Hj. Sofiah).

Dari sini, dapat dipahami; Pertama, dilihat dari orang tuanya, khususnya Kiai Yasin –yang lahir tahun 1898__merupakan salah satu kiai yang masih memiliki hubungan dekat dengan keluarga besar KH. Abdul Kahar. Jaringan santri ini yang mengantarkan Kiai Yasin layak menjadi salah satu Pengurus NU Kota Surabaya Periode 1939, bahkan sebelumnya  tercatat sebagai A’wan dalam PBNU generasi awal, dimasa kepemimpin Rais Akbar Hadratusysyek Kiai Hasyim Asyari serta wakilnya KH Dahlan Ahyad dengan Katibnya KH. Wahab Hasbullah dan Naibnya KH. Abdul Halim Majalengka, sementara Tanfidziyahnya ketika itu adalah H. Hasan Dipo dan sekretarisnya M. Sidik Sugeng.

Sebagai penjelas, posisi A’wan di NU adalah bagian dari Syuriyah sehingga dalam hal-hal tertentu A’wan ini ikut terlibat dalam pengambilan kebijakan dalam rapat pleno atau permusyawaratan organisasi yang lebih tinggi, seperti Munas, Konbes, dan Muktamar. Karenanya, posisi Kiai Yasin ketika itu cukup diperhitungkan pikiran-pikirannya sehingga ia sebagai A’wan PBNU bersama kiai-kiai sepuh lainnya, seperti KH. Amin Praban, KH. Bisri Syansuri, KH. Dahlan Abdul Kahar, KH. Mas Alwi Ibn Abdul Aziz, KH. Nahrawi Thahir, KH. Amin Abdus Syukur dan lain-lain.

Sementara Nyai Hj. Darsiyah (Hj. Sofiah), Ibu Fatah Yasin, adalah perempuan yang berasal dari Maspati Surabaya dan pindah ke Kawatan. Dalam masa hidupnya, Ibu Hj. Darsiyah dikenal sebagai perempuan “akas” dan “ulet” dalam bekerja. Pada masa penjajahan, perempuan sulit untuk mengakses pekerjaan, tapi kondisi ini tidak menyulutkan ia untuk tidak bergerak dan tetap berinovasi untuk memilih sebagai pengerajin batin. Dalam perkembangannya, ia tercatat sebagai salah satu perempuan sukses sebagai pengerajin dan penjual batik pada masanya.

Walau begitu, kesuksesan yang dialami Ibu Nyai Darsiyah tidak membuatnya sombong, bahkan apa yang dilakukannya ikut menggeliatkan perekonomian masyarakat sekitar dengan melibatkan banyak perempuan di daerah Kawatan dan sekitarnya untuk bekerja bersamanya, terutama para janda yang suaminya menjadi korban perang. Bagi Ibu Nyai Darsiyah, kesuksesan harus dirasakan bersama yang lain agar keberkahan terus mengalir. Salah satu keberkahan itu adalah para karyawannya sempat naik Haji untuk memenuhi rukun Islam yang kelima bersama Ibu Nyai Darsiyah dalam satu rombongan melalui perjalanan kapal laut.

Dari penjelasan singkat ini, dapat dipahami bahwa pernikahan Kiai Yasin dengan Nyai Hj. Darsiyah adalah pernikahan tetangga dekat, tepatnya sama-sama berada dalam lingkaran keluarga besar Kawatan, yang dikenal ketika itu sebagai salah satu kampung lama dan menjadi maskas perjuangan para penjajah. Pasalnya, di kampung ini juga terdapat Gedung Sekolah Nahdlatul Wathan, yang dulunya menjadi tempat Perkumpulan Nahdlatul Wathan atau kemudian dikenal dengan Perguruan Nahdlatul Wathan; sebuah lembaga yang telah melakukan proses kaderisasi untuk membangun semangat nasionalisme dan penguatan ajaran Ahlus Sunnah wa al-Jama’ah. 

Karenanya, kampung kawatan, khususnya Gang VI Surabaya menjadi jujukan para tokoh-tokoh generasi awal penggerak NU, semisal KH. Abdul Wahab Hasbullan, KH. Mas Mansur (sebelum akhirnya masuk Muhammadiyah), KH. Ridwan Abdullah. Kiai Mas Alwi Abdul Aziz, KH. Abdul Kahar, KH. Burhan dan lain-lain. Bahkan, dimasa-masa genting jelang peperangan di Surabaya, wilayah ini menjadi maskas pelatihan ala-militer pasukan Hizbullah dari berbagai daerah, khususnya Kota Surabaya, yang disiapkan untuk berperang melawan penjajah, tepatnya jelang perang Surabaya tahun 1945. 

Dengan begitu, maka dapat dipahami juga bahwa Kiai Fatah Yasin bersama adik-adiknya, yakni Hj. Nafisah, Hj. Rohmah, H. Alwi Yasin, Ibrahim, Yusuf, dan H. Moesa Yasin, hidup dan berkembang dalam spirit kampung Kawatan sebagai kampung santri, pengusaha, santri Aktivis, santri politisi hingga santri sebagai pejuang Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dan pejuang NKRI. Karenanya, cukup beralasan bila kemudian kehidupan Kiai Fatah Yasin tidak bisa dipisahkan dari tradisi santri hingga akhirnya tercatat sebagai santri aktivis, santri pejuang dan santri politisi.

 .............................

Pendidikan

Menengok pendidik Gus Fatah Yasin, selanjutnya disebut, adalah penting dalam rangka untuk mencari tahu sejauh mana ia dipengaruhi oleh para guru-guru dalam memahami Islam dan keteguhan dalam membela bangsa. Peran para guru ini yang meletakkan dasar-dasar nilai perjuangan dalam hidup sehingga perjuangan yang dilakukannya bukan saja panggilan nurani, tapi sekaligus panggilan untuk meneruskan sanad ilmu dan sanad perjuangan para guru, termasuk orang tua.

Mulanya Gus Fatah Yasin kecil dididik oleh ayahnya sendiri Kiai Yasin dan ibunya. Dalam lingkungan keluarga ini, ia mengenal dasar-dasar Islam seperti cara membaca al-Qur’an dengan baik yang sesuai dengan pakem-pakem ilmu tajwid, tata cara sholat dan lain-lain. Bekal dasar pengetahuan Islam ini menjadi bekal yang sangat penting bagi pertumbuhan Gus Fatah Yasin di masa-masa pendidik selanjutnya sebab pengetahuan Islam dengan baik, tidak mungkin sempurna, jika tidak ada nilai-nilai dasarnya yang ditanamkan sejak dini, lebih-lebih dipraktikkan menjadi pembiasaan.

 Lingkungan kampung Kawatan yang dikenal religius __sebagai kampung santri__ diyakini juga ikut membentuk mentalitas Gus Fatah Yasin sejak kecil. Artinya, anak-anak yang semasanya sudah terbiasa larut dalam nilai-nilai pembiasaan Islam dengan baik, di samping bermain-main seperti biasanya sehingga secara alami Gus Fatah Yasin terpengaruh oleh apa yang dilihat dari kesehariannya.

Selanjutnya, menurut riwayat, Gus Fatah Yasin diarahkan oleh orang tuanya untuk belajar ke Pesantren Demangan Bangkalan asuhan Syaikhana Khalil Bangkalan. Tidak ada kejelasan kapan dan berapa lama, ia belajar kepada sosok yang dikenal waliyullah dan sebagai salah satu maha gurunya para Ulama Nusantara. Tapi, bila dilihat dari kelahiran Gus Fatah Yasin tahun 1915 dan meninggalnya Syaikhana Khalil tahun 1925, menunjukkan bahwa Gus Fatah Yasin belajar pada usia kanak-kakak/remaja dan tidak lama belajarnya.

 Walau tidak lama, diakui atau tidak, pengaruh Syaikhana Khalil sangat kuat dalam perkembangan Gus Fatah Yasin. Apalagi, gaya kepemimpinan Syaikhana Khalil dalam memimpin pesantren dan mengkader santrinya dikenal sangat unik, walau tetap berpijak pada pakem-pakem umum yang berkembang dalam dunia pesantren, seperti pengkajian kitab kuning dan lain-lain. Salah satu keunikan Syaikhana Khalil adalah model pendekatan “Linuwih”.

Sebut saja diantaranya menguji mental santri dengan cara-cara unik seperti memperlakukan KH. Abdul Wahab Hasbullah dengan teriakan singa di hadapan santri-santri Demangan hingga akhirnya ia ditangkap oleh para santri. Bahkan, tidak segan-segannya santri tertentu diusir pulang sebelum dia belajar. Pastinya berdasar _dengan mata batin Syaikhana Khalil_ bahwa santri itu dipandang cukup ilmu sehingga lebih baik pulang menyebarkan ilmu di tengah masyarakat.  Jadi, walau bersama gurunya, Syaikhana Khalil tidak lama, tapi setidaknya keberkahannya tetap mengalir kepada Gus Fatah Yasin.

Sepeninggal Syaikhana Khalil 1925, Gus Fatah Yasin muda tidak mau berdiam diri, dengan semangat nya ingin terus belajar agama, iapun akhirnya memilih Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari Jombang, pengasuh pesantren Tebuireng dan pendiri NU, sebagai gurunya sesuai dengan arahan ayahnya Kiai Yasin. Di pesantren ini, nuansa keilmuan Gus Fatah Yasin terus mengalami peningkatan, ini tidak lepas berkat kealiman dan kharisma yang ada dalam diri Kiai Hasyim Asy’ari. Apalagi, beliau adalah salah satu ulama yang memegang sanad kitab-kitab hadis, khususnya Hadih Bukhari yang diperolehnya dari Syekh Mahfud al-Termasi.

 Di pesantren Tebuireng, Gus Fatah Yasin bertemu dengan santri-santri lainnya yang berasal dari seantaro negeri ini. Pertemuan ini, bukan hanya sebatas pertemanan di pondok pesantren, melainkan berlanjut menjadi pertemanan ideologis sesama santri ketika mereka sama-sama keluar menjadi alumni dari pesantren Tebuireng. Jejaring sesama santri-santri Tebuireng ini mengantarkan posisi Gus Fatah Yasin selalu berkelindan dalam gerak dan perjuangan gurunya sebagai pejuang nilai-nilai Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah di satu sisi dan pejuang NKRI di sisi yang berbeda.

 Itulah perjalanan singkat pendidikan Gus Fatah Yasin hingga akhirnya iapun pada saatnya juga harus kembali pulang dan meneruskan perjuangan yang telah dilakukan para Gurunya, yakni kembali ke Kampung Kawatan Surabaya. Dari kampung Kawatan ini juga, Gus Fatah Yasin mulai bergerak meneruskan apa yang dititahkan oleh para guru dan leluhurnya di tengah hiruk pikuk kota Surabaya, mengingat posisi Kawatan secara geografis berada di tengah jantung Kota Surabaya, yang ketika itu menjadi rebutan penjajah, bahkan menjadi pusat pertempuran tahun revolusi 1945.

Selanjutnya, Gus Fatah Yasin menghabiskan masa lajangnya dengan menikah salah satu putri kampung Kawatan yang bernama Nyai Hj. Latifah Zein. Perlu diketahui Hj. Latifah masih keluarga dari KH. Kahar dan KH. Burhan, bahkan Kiai Zein sendiri tercatat sebagai salah satu anggota Hizbullah pada masanya. Di samping itu, Ia juga menikah dengan nyai Hj. Khodijah yang berasal dari Bandung. Dari pernikahan ini, Gus Fatah Yasin hidup, selanjutnya disebut dengan Kiai Fatah Yasin,  dalam masa perjuangan, baik bersama keluarga, maupun berjuang sebagai panggilan Islam dan bangsa sebagaimana juga dilakukan oleh para leluhur serta guru-gurunya. 

......................... 

 Aktivis dan Politisi

Kondisi bangsa yang berada pada masa penjajahan, dimana realitas anak bangsa tidak dapat menikmati kehidupannya dengan baik di negerinya sendiri. Di sisi yang berbeda, pertarungan ideologis terus terjadi sebelum dan sesudah kemerdekaan, terlebih lagi berdirinya NU sejak awal tidak lepas dalam upayanya mempertahankan ideologi Ahl al-Sunnah wa al-Jamaah di tengah penetrasi ideologi lain yang basis agama, seperti ideologi Islam ala kaum modernis, atau berbasis non agama, seperti ideologi PKI dan nasionalis murni.

Kenyataan ini yang kemudian memantik Kiai Fatah Yasin terdorong untuk aktif terlibat dalam berbagai kegiatan dengan terlibat langsung pada kegiatan-kegiatan  NU sebagaimana di kampung Kawatan, banyak tokoh-tokoh senior sebagai pendiri dan penerus NU masih hidup dimasanya. Pergumulannya, dengan para aktivitas memberikan kesadaran pada dirinya bahwa “berorganisasi adalah menyatukan frekswensi kekuatan” dengan orang-orang yang seideologis. Aktivisme Kiai Fatah Yasin sulit terbendung, kesehariannya di samping hidup bersama keluarga, iapun terus berinteraksi dengan para aktivis NU lainnya sehingga namanya mulai dikenal baik.

Sebagai aktivis muda, ia merupakan salah satu tokoh yang menjadi perhatian para tokoh senior lainnya sebab kesabaran dan istiqamahnya dalam berorganisasi, bahkan ia sangat piawai dalam berpikir, di samping karena jaringan sesama alumni pesantren Demangan Bangkalan dan pesantren Tebuireng sehingga nyaman dengan orang-orang seperjuangan dan seideologis. Itu semua tidak lain, karena keterbukaan wawasan Kiai Fatah Yasin dalam membaca realitas kehidupan, apalagi dalam banyak riwayat disebutkan bahwa dalam rangka mengasah kemampuan berpikirnya, tidak jarang Kiai Fatah Yasin akrab dengan bacaan-bacaan buku latin dalam berbagai isu, termasuk isu-isu kaitan dengan pertanian dan persoalan agraria.

Dengan begitu, ketokohan Kiai Fatah Yasin mulai diperhitungkan oleh para tokoh lainnya sehingga jabatan organisasi, baik di NU maupun kekuasaan politik, mulai diserahtrimakan sebagai wasilah untuk ikut membesarkan NU, sekaligus sebagai sarana pengabdian dan perjuangan dalam dakwah serta membela negara.

Pertama, jabatan organisasi NU. Kiai Fatah Yasin menjabat sebagai ketua umum Persatuan Tani Nadlatul Ulama (Pertanu) dari tahun 1946 hingga 1973. Perlu diketahui, sebagai salah satu banom NU, Pertanu didirikan pada tanggal 14 Februari 1946/12 Rabiul Awal 1365 H, dan para masa awal ini Kiai Fatah Yasin secara langsung didapuk sebagai Ketua Umum. Menariknya, pada muktamar pertama Pertanu di Balai Wartawan Gedung Kris Semarang,  tercatat KH. Mujib Ridwan Surabaya ikut berkontribusi menyempurnakan lambang Pertanu dengan membuat bola dunia yang berada dalam dalam lambang Pertanu.

Tantangan Kiai Fatah Yasin di Petanu tidak lain mengorganisir para petani NU di seluruh Indonesia agar bergerak bersama kaitan dengan ketahanan pangan. Pastinya, tidak mudah menyatukan mereka, apalagi tantangan ideologis yang dihadapi Pertanu belum selesai sebagaimana dialami organisasi induknya. Karenanya, Pertanu bertugas menguatkan ideologi internal para petani di satu sisi, di sisi yang sama menyatukan tekad untuk menolak gerakan ideologi lain yang bertindak arogan kepada petani.    

Sebut saja, misalnya masa-masa, maraknya “penyerobotan tanah” yang dilakukan organisasi tertentu diyakini ikut membuat peran Kiai Fatah Yasin _melalui Pertanu_ sangat dinanti-nanti sehingga dibantu dengan kekuatan NU dan Banom-banom lainnya, seperti Ansor dan Banser, gerakan “penyerobotan tanah” petani dapat dibendung, untuk tidak mengatakan gerakan ini tidak meluas. Sayangnya, dalam perkembangannya organisasi Pertanu harus gulung tikar seiring dengan keputusan pemerintah untuk melebur semua organisasi petani dalam organisasi baru yang bernama HKTI pada tahun 1973.    

Kedua, jabatan kekuasaan politik. Jabatan ini diperoleh tidak mudah sebab beririsan dengan konflik panjang NU dengan Masyumi hingga akhirnya, NU keluar dan mentahbiskan dirinya sebagai Partai Politik. Sejak menjadi partai politik ini, secara politik NU mulai diperhitungkan sebab bisa menentukan sendiri kader-kadernya untuk dididtribuskan dalam kekuasaan, yang sebelumnya selama ikut Masyumi seringkali dirugikan, untuk tidak mengatakan selalu ditlikung dengan berbagai alasan, padahal dukungan suara NU cukup besar bagi kebersaran partai Masyumi.

Pasca pemilu 1955, NU berada pada posisi ketiga dalam perolehan suara, sebuah prestasi luar biasa. Capaian ini yang kemudian, banyak kader-kader NU mulai menginjakkan kakinya; mulai sebagai anggota konstituante, Menteri dalam Kabinet dan lain-lainnya, tidak terkecuali nama Kiai Fatah Yasin ikut terpilih sebagai perwakilan dari Partai NU.

Beberapa jabatan penting yang pernah diemban Kiai Fatah Yasin adalah Menteri Sosial (Era Kabinet Ali Sastroamidjojo II Tahun 1956-1957), Menteri Muda Penghubung Alim Ulama; mulai dari Kabinet Djuanda Karya (1957-1959), Kabinet I (1959-1960), Kabinet II (1960-1962), dan Kabinet III (1962-1963). Sebagai Menteri yang berangkat dari NU, maka tugas-tugas Kiai Fatah Yasin tidak saja mengembankan tugas-tugas kebangsaan, tapi juga memastikan tugas-tugas yang diembannya adalah manifestasi dari nilai-nilai perjuangan NU, khususnya dalam konteks hubungan Islam dan kebangsaan.

Salah satu yang masih tercatat dari keberhasilan Kiai Fatah Yasin adalah mendirikan “Majelis Ulama Pusat”, sebuah majelis yang mempertemukan berbagai ulama dari organisasi-organisasi Islam di Indonesia, berdasarkan SK NO.Kpts/003/VI.Mpal/1962 yang ditanda-tangani langsung KH. Fatah Yasin (sebagai ketua), KH. Abdul Wahab Hasbullah (sebagai Anggor dan Anggota DPA), KH. Idham Kholid (sebagai Anggota dan menjabat Wakil Ketua MPRS), dan lain-lain.

Itulah, catatan singkat perjalanan aktivitas sosial dan politik yang dilakukan oleh Kiai Fatah Yasin sepanjang hidupnya. Setelah tidak menjabat sebagai menteri, hari-hari Kiai Fatah Yasin lebih banyak berkumpul dengan keluarga, sambil tetap aktif dalam organisasi sosial keagamaan, khususnya NU.  Bukan hanya itu, ia menjadi jujukan para tokoh dan para aktivis, sekedar silaturrahim hingga meminta pertimbangan kaitan dengan isu-isu keagamaan dan kebangsaan, terlebih bidang yang pernah dan masih digeluti Kiai Fatah Yasin.

Hari-hari terus berjalan dari detik ke detik sehingga perjalanan Kiai Fatah Yasin tidak muda lagi dan tenaga serta pikirannya juga tidak sehebat masa mudanya. Dalam kondisi ini, akhirnya perjalanan Kiai Fatah Yasin berakhir seiring waktu wafat telah tiba, pada tanggal 3 Mei 1980 dalam usian ke 64. Selanjutnya, beliau dimakamkan di Pekaman Tembok Surabaya, dimana diarea ini banyak tokoh pergerakan dan tokoh NU juga dimakamkan, seperti KH. Yasin, KH. Ridwan Abdullah, KH. Thohir Bakri, KH. Abdullah Ubaid (dua tokoh pendiri GP Ansor), KH. Abdul Kahar, Kiai Abdurrahim (salah satu pendiri Jamqur atau Jamiyyah Qurra wa al-Huffadz, dan lain-lain.    

Akhirnya, semoga tulisan singkat tentang KH. Fatah Yasin, tokoh NU dari Kampung Kawatan Surabaya, memberikan inspirasi bagi kita bagaimana pentingnya menyambungkan energi keilmuan dan perjuangan dengan para Ulama terdahulu, yang dikenal alim, kharismatik, dan larut dengan tradisi zuhud, sekaligus memberikan teladan dalam sabar mengabdi untuk NU dan bangsa. Selamat Ulang Tahun Ke-109. Lahul fatihah…
..........
Diolah dari berbagai sumber dan wawancara dengan ahli waris. 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.