MENGENAL LEBIH DEKAT KH. BISRI SYANSURI JOMBANG (1886-1980)



Wasid Mansyur 
(Wakil Ketua PW. GP. Ansor Jatim dan LTN NU Jatim)

KH. Bisri Syansuri, selanjutnya disebut Kiai Bisri Syansuri, adalah tokoh bangsa yang telah berjasa besar bukan saja ikut andil dalam proses dinamika perkembangan pesantren di Indonesia, sekaligus ikut mendirikan NU. Tapi juga berkontribusi besar bagi bangsa ini dari pra-kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan, baik pikiran maupun aksi nyata. Karenanya, generasi terkini layak mengenal lebih dekat tentang beliau dalam rangka menjadikannya sebagai cermin hidup, sejauhmana kita saat ini bisa berbuat untuk kejayaan Islam dan mempertahankan NKRI.

Pastinya, Kiai Bisri  Syansuri menjadi tokoh besar tidak langsung jadi, melainkan melalui proses panjang menapaki rintangan yang dihadapinya dengan keteguhan tekad dan kesabaran untuk mewujudkan mimpi bahwa perubahan harus diciptakan, tak ujuk-ujuk datang dari langit. KH. Abdurahman Wahid (Gus Dur), dalam bukunya Khazanah Kiai Bisri Syansuri; Pencinta Fiqh Sepanjang Hayat, mengambarkan bahwa setidaknya ada dua realitas sosial-budaya yang mempengaruhi perjalanan hidup Kiai Bisri Syansuri, yang dikenal berasal dari Tayu Pati Jawa Tengah.

Pertama, umumnya masyarakat Tayu yang dihimpit ekonomi pas-pasan, untuk tidak mengatakan larut dalam problem kemiskinan. Kalaupun ada jalur perekonomian, tetap saja masih kurang memadai sebab tanah pertanian yang dimiliki cenderung tidak subur, termasuk hasil laut masih dipandang belum mampu merubah kondisi ekonomi disebabkan masyarakat Tayu masih menggunakan model penangkapan tradisional di satu pihak, dan belum ada sistem kepemilikan modal serta pengawaten hasil ikan di pihak yang berbeda sehingga hasil laut cenderung dimonopoli oleh segelintir pemodal besar.

Menariknya sekalipun kemiskinan dianggap bermasalah, tapi Kedua, masih kuatnya tradisi masyarakat yang berpegang pada ajaran Islam yang ketat. Artinya masyarakat Tayu dikenal sebagai masyarakat santri, yang juga dialami oleh hamper semua masyarakat pesisir utara pada umumnya. Cukup realistis, bila kemudian pesisir utara banyak bermunculan pondok pesantren dan kiai-kiai besar yang menjadi rujukan baik tetap bermukim di tempat asli atau memilih berpindah ke tempat lain dalam rangka semangat dakwah Islam di Nusantara, khususnya Lasem atau Sarang.

Gambaran awal kondisi sosial-budaya ini yang melingkupi kelahiran Kiai Bisri Syansuri pada 18 September 1886 M atau bertepatan dengan 28 Dzulhijjah 1304 H dari pasangan Syansuri dan Mariah. Dari data sang ibu, Kiai Bisri Syansuri memiliki titisan keulamaan yang sangat kuat kaitan dengan tradisi pesantren dan keilmuan Islam sebab Ibu Nyai Mariah terlahir dan dibesarkan di Lasem, yang bersambung kenasabannya dengan beberapa ulama besar di Lasem, misalnya Kiai Khalil Lasem, Kiai Ma’sum hingga Kiai Baidhawi.

Karenanya, tekad keluarga agar terus mengantarkan generasi unggul menarik untuk ditelusuri agar tidak mudah menyalahkan keadaan, terlebih dalam mengawal perjalanan hidup Bisri Syansuri, yang tercatat sebagai anak ketiga dari 5 bersaudara, yaitu mas’ud, Sumiati, Muhdi dan Syafa’atun. Tekad keluarga dibuktikan dengan memberikan dukungan penuh terhadap pendidikan Bisri Syansuri mulai dari kanak-kanak hingga masa muda. Bahkan proses pendidikan pesantren yang dilalui selama puluhan tahun tidak saja dekat dengan kelahirannya, tapi  Bisri Syansuri mentahbiskan dirinya sebagai “santri keliling” menuju satu pesantren ke pesantren lainnya di luar daerah demi ilmu dan keberkahan guru yang menjadi tujuan beliau.

Jejak Singkat “Nyantri”
Menarik menelusuri jejak pendidikan kiai-kiai pesantren adalah tekadnya untuk tidak lelah belajar dengan tidak hanya pada satu guru atau kiai melainkan ke beberapa guru sesuai dengan integritas, kharisma dan kapasitas keahlihan kiai yang menjadi pilihan. Karenanya, belajar bukan hanya butuh guru yang menyambungkan sanad, tapi juga butuh waktu yang lama sebagai mana dilakukan oleh Bisri Syansuri, sebutannya ketika masih sebagai santri.

Catatan Gus Dur, menyebutkan bahwa Bisri Syansuri memulai belajar agama secara tertib, khususnya belajar al-Qur’an pada usia tujuh tahun (bertepatan dengan tahun 1893) kepada Kiai Shaleh di Desa Tayu. Dikatakan tertib sebab belajar al-Qur’an kali ini disertai dengan pendalaman bacaan agar sesuai dengan pakem-pakem yang diajarkan dalam ilmu tajwid. Pasalnya, membaca al-Qur’an yang sesuai dengan tajwid adalah keniscayaan bagi Muslim, apalagi yang dibaca adalah Kalamul Allah, sumber dari ajaran Islam. Belum lagi bila membaca surat al-Fatihah, yang selalu dibaca dalam rangkaian sholat wajib lima waktu.

Berbekal belajar al-Qur’an selama 2 tahun bersama Kiai Shaleh Tayu menjadi modal tersendiri bagi Bisri Syansuri untuk terus mendalami al-Quran. Dengan kemampuan ini Bisri Syansuri kemudian melanjutkan nyantri kepada Kiai Abdul Salam, salah satu Kiai Kajen Pati yang dikenal pada masanya sebagai hafidh al-Qur’an pada tahun 1895. Bersama Kiai Abdul Salam, Bisri Syansuri bukan hanya belajar al-Qur’an, juga belajar tata cara bahasa Arab, tafsir al-Qur’an, fiqh hingga mengkaji kumpulan hadith Nabi Muhammad Saw.

Didikan Kiai Abdul Salam selama enam tahun memberikan arti tersendiri bagi perkembangan kepribadian Bisri Syansuri. Pasalnya, dalam kehidupan pesantren Kiai Abdul Salam menerapkan model keteladan beragama dengan keras mengikuti aturan yang ditetapkannya, sekalipun tanpa mengabaikan prinsip-prinsip akhlakul karimah. Interaksi Kiai-Santri berjalan secara alamiah sehingga keteladan tumbuh tanpa paksaan, tapi memberikan bekas yang sangat penting bagi kehidupan Bisri Syansuri, yang mulai menginjak masa remaja tahun 1901.

Semangat Bisri Syansuri menuntut ilmu tidak pernah kendor, bahkan terus haus pengetahuan. Semangat ini yang mengantarkan pengembaraan ilmu beliau berlanjut keluar dari Jateng hingga sampai ke pesantren Demangan Bangkalan, asuhan Syaikhana KH. Khalil ibn Abdul Latif Bangkalan. Sebelumnya, sempat belajar sejenak kepada Kiai Syu’aib Sarang dan Kiai Khalil Kasingan. Pilihan merantau ke pesantren Demangan cukup beralasan sebab sosok guru kali ini sangat masyhur kharisma dan kealiman di seantaro komunitas santri Nusantara, khususnya Jawa dan Madura.

Dalam diri Syaikhana Khalil terdapat perpaduan ilmu yang sangat kuat, yakni kedalaman mempraktikkan fiqh beriringan dengan praktik tasawuf atau dunia ketarekatan. Kemasyhurannya sebagai kekasih Allah (waliy Allah) menjadi pemantik tersendiri bagi Bisri Syansuri untuk terus belajar, apalagi dalam sanad keilmuannya, Syaikhana Khalil masih murid dari Syaikh Nawawi al-Banteni, salah satu ulama Nusantara yang muncer di Makkah dan menjadi rujukan para santri dari Nusantara, bahkan Asia Tenggara.

Menariknya, di pondok Demangan, Bisri Syansuri tidak hanya dapat ilmu dan sinaran kharisma Syaikhana Khalil. Tapi sekaligus, mempertemukan para santri-santri lain yang menjadi tokoh penting pesantren, NU dan pejuang bangsa di kemudian hari, terkhusus berteman akrab dengan Abdul Wahab Hasbullah, santri yang berasal dari Jombang.  Bukan hanya sekedar teman, tapi dalam waktu kemudian Abdul Wahab menjadi saudara ipar sebab Bisri Syansuri menikah dengan adiknya, yang bernama Nur Khadijah.

Setelah dipandang cukup nyantri di pesantren Demangan Bangkalan selama 5 tahun, Bisri Syansuri meneruskan pengembaraan ilmu ke pesantren Tebuireng Jombang asuhan pendirinya –sekaligus pendiri NU—Hadhratusy Syaikh Kiai Hasyim Asy’ari tahun 1906. Pilihan yang sangat penting menyambungkan sanad ilmu, sekaligus sanad pergerakan dimasa-masa yang akan datang untuk memperjuangkan spirit Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam bingkai organisasi NU dan kecintaan pada bangsa (hubbu al-wathan).

Di pondok pesantren Tebuireng –yang dijalani selama enam tahun mulai tahun 1906 hingga 1912, Bisri Syansuri bukan saja menimbah ilmu dari sang Guru, Kiai Hasyim, tapi juga larut dalam tradisi keilmuan yang sangat kuat. Mengingat, Kiai Hasyim cukup mendukung tradisi baca-tulis, sekaligus adanya forum ilmiah antar para santri Tebuireng. Tercatat angkatan Bisri Syansuri adalah angkatan terbaik didikan Kiai Hasyim, yang juga banyak melahirkan kiai-kiai besar di pesantren Jawa, misalnya Abdul Manaf Kediri, As’ad Syamsul Arifin, Ahmad Baidhawi Banyumas, Abdul Karim Sedayu, Nahrawi Malang, Abbas Jember, Ma’shum Ali Maskumambang Sedayu, dan lain-lain. 

Tradisi ilmu yang kuat di Tebuireng, khususnya dalam forum fiqh, sangat membentuk keteguhan dan nalar pikir Bisri Syansuri dalam memaknai tradisi berfiqh dan kaitannya menghadapi isu-isu kekinian. Keteguhannya dalam berfiqh seringkali menjadi pemantik perdebatan dengan teman yang lain, tapi kematangan keilmuan beliau mengantarkan tetap menghargai segala perbedaan khususnya di lingkungan pesantren. Dari Kiai Hasyim, Bisri Syansuri memperoleh ijazah beberapa kitab yang sah untuk diajarkan, dari kitab fiqh al-Zubad hingga bukhari dan Muslim. 

Tahapan selanjutnya, Bisri Syansuri meninggalkan tanah airnya menuju Makkah untuk menimbah ilmu ke beberapa Syaikh yang cukup dikenal pada masanya. Sepanjang dua tahun di Makkah, Beliau juga ikut menyaksikan proses pendirian cabang Syarikat Islam, yang diyakini ikut membangun kesadaran pentingnya berorganisasi dalam kehidupan sebagaimana beliau ikut serta mendirikan NU, dan terlibat dalam pendidirian beberapa organiasi embrio berdirinya NU, misalnya Nahdlatut Tujjar, Taswirul Afkar, dan lainnya.

Sumber sejaran menyebutkan, beberapa guru yang turut ditimba ilmu-ilmunya oleh Bisri Syansuri adalah Syaikh Muhammad Baqir, Syaikh Muhammad Sa’id Yamani, Syaikh Ibrahim Madani, dan Syaikh Jamal Maliki. Termasuk Bisri Syansuri berguru juga kepada guru-guru Kiai Hasyim, yakni Syaikh Ahmad Khatib Padang, Syaikh Syu’aib Daghistani, dan Syaikh Mahfud Termas. Pada tahun 1914, Bisri Syansuri Kembali ke Nusantara, dengan memilih menetap di Jombang mengikuti putusan diskusi dengan keluarganya, sekaligus permintaan keluarga istrinya, Nyai Nur Khadijah.

Begitulah perjalanan singkat pendidikan Bisri Syansuri. Selama kurang lebih 21 tahun beliau menimbah ilmu dari beberapa guru, baik di Nusantara maupun di Makkah. Kematangan ilmunya dan ketangguhan sanad ilmunya sulit diragukan oleh siapapun. Karenanya, kelak dikemudian hari beliau lebih dikenal dengan nama KH. Bisri Syansuri Jombang sebagai pendiri dan pengasuh pondok pesantren Manba’ul Ma’arif Denanyar Jombang, pendiri NU, dan pejuang melawan penjajah. 

Teguh Prinsip dan Pejuang Tangguh
Perjuangan Kiai Bisri Syansuri bagi pesantren NU dan bangsa tidak datang tiba-tiba, melainkan dibentuk oleh cara pandang atau bisa dikatakan paradigma beliau dalam memahami Islam, khususnya menempatkan fatwa-fatwa fiqh sebagai prinsip yang melandasi pikiran dan kerja-kerjanya dalam melakukan proses-proses berkehidupan, baik bersama santri dan masyarakat atau dengan NU dan komunitas lain dalam bingkai kebangsaan.

Karenanya, ketika beliau meninggal pada hari Jum’at tanggal 25 April 1980, bertepatan dengan umur 94, banyak pihak merasa kehilangan dengan sosok mulia Kiai Bisri Syansuri. Perasaan kehilangan sebenarnya biasa, tapi beliau mewariskan banyak karakter dalam beragama dan berbangsa, yang sulit tergantikan dalam periode-periode berikutnya. Beliau dikenal tegas dalam prinsip, tapi teduh dalam bergaul. Berikut beberapa komentar kiai dan tokoh nasional, ketika Kiai Bisri meninggal sebagaimana dimuat di majalah Aula Edisi bulan April tahun 1980.

Komentar pertama datang dari KH. Mahrus Ali Kediri. Kiai Mahrus mengatakan tentang sosok Kiai Bisri Syansuri sebagai Kiai yang sangat kuat kewiraiannya. Pasalnya, Kiai Bisri Syansuri tidak berani bertindak memutuskan atau melakukan sesuatu hal kecuali, bila beliau menemukan nash yang memastikan kebolehannya. Ini dilakukan dalam rangka agar sepanjang hidupnya dijauhkan dari praktik syubhat; sebuah prinsip kehati-hatian agar terhindar dari hal apapun yang tidak jelas halal-haramnya, yang dalam kondisi terkini sulit menjadi perhatian serius secara bersama kebanyakan Muslim.

Tidak kalah pentingnya dari komentar Kiai Mahrus adalah komentar  Prof. Mitsuo Nakamura, Ph.D, peneliti dari Jepang. Nakaramura mengatakan tentang sosok Kiai Bisri Syansuri sebagai salah satu pendiri NU yang memiliki prinsip kemandirian. Karenanya, warisan prinsip beliau menjadi tantangan tersendiri bagi kader-kader NU, khususnya dari kalangan NU muda. Prinsip kemandirian berpikir telah menjadi karakter Kiai Bisiri Syansuri dengan berpikir ala fiqih yang sangat kuat, tidak mudah mengekor pendapat orang lain.

Begitu juga, Hamka mengomentari tentang sosok Kiai Bisri Syansuri, ketika berada di atas pemakamannya. Hamka memandang bahwa kesalehan Kiai Bisri Syansuri sulit diragukan. Setiap saat bertemu, beliau selalu membawa tasbih ketika berjalan, sambil melantunkan dengan lirihnya kalimat jalalah. Karenanya, saya secara pribadi, tegas Hamka, merasa kecil di hadapan beliau yang selalu menjaga agar hatinya terus terkoneksi dengan Allah Swt, kapanpun dan dimanapun beliau berada.

Tidak ketinggalan sebagai bentuk perasaan kehilangan atas meninggalnya Kiai Bisri Syansuri datang dari AR. Fahruddin, Ketua PP Muhammadiyah. Pak AR. Fahruddin mengatakan: “saya merasa kehilangan tokoh/ulama Islam”. Pastinya, perasaan ini muncul sebab prilaku dan sepakterjang Kiai Bisri Syansuri mampu menjadi jembatan komunikasi yang terus saling menghargai dan selalu menjaga harmoni dalam menyikapi berbagai persoalan keumatan dan kebangsaan bersama Muhammadiyah.

Begitulah komentar beberapa tokoh atas meninggalnya Kiai Bisri Syansuri. Masih banyak komentar lain, pastinya semua sepakat bahwa Beliau memiliki karakter yang unik, sebagai muassis NU dan pejuang yang setia dan tegas dalam memegang prinsip luhur yang diadopsi dari tradisi fiqh atau mengutip Gus Dur sebagai Pencinta Fiqh sepanjang hayatnya. Keteguhan Kiai Bisri Syansuri dalam memegang prinsip ini mewarnai perjalanan NU, apalagi beliau tercatat pernah menjabat Rais A’am PBNU menggantikan kakak iparnya, KH. Wahab Hasbullah yang meninggal lebih dulu pada tanggal 29 Desember 1971.

Teguh dan keras menerima fatwa-fatwa fiqh, bukan berarti Kiai Bisri Syansuri tidak menerima perbedaan, untuk tidak mengatakan menolak pendapat lain. Perbedaan antar umat Islam selalu beliau hargai sebagai dinamika, bukankah dalam fiqh juga diajarkan dalam setiap masalah selalu ada fihi qaulani atau fihi aqwalun. Tapi beliau tetap sangat teguh memegang pendapat yang paling berat dengan semangat agar tidak mudah terjebak memilih pendapat paling rendah. Terlebih fakta dan praktiknya, hukum fiqh nampaknya selalu ditawar-tawar dengan mempertimbangkan keragaman pendapat di satu sisi dan kenyataan yang dihadapi umat di sisi yang berbeda.

Begitulah keteguhan prinsip bersikap Kiai Bisri Syansuri hingga mempengaruhi perjuangan beliau dalam mengelola pesantren, ikut serta mendirikan serta mengawal NU berproses dan terlibat berjuang melawan penjajah. Ketika fatwa resolusi jihad ditetapkan, yang notabenenya muncul dari dialektika teks-teks fiqh, Kiai Bisri Syansuri tersadarkan diri bahwa nasib bangsa ini tidak bisa diselesaikan dengan diam. Aktivisme di luar pesantren semakin giat, sekalipun beliau masih memantau perjalanan pondok pesantren Manba’ul Ma’arif Denanyar sebagai medan dakwah.

Tercatat dalam sejarah bahwa Kiai Bisri Syansuri pernah menjadi kepala Staf Markas Oelama Djawa Timur (M0DIT) yang mulanya berada di wilayah Waru-Sidoarjo atau dekat kota Surabaya, sekarang timur jalan keluar bis Bungurasih Surabaya. Markas ini menjadi titik koordinasi dengan para pejuang santri dari berbagai kelompok daerah, sebuat saja misalnya koordinasi dengan laskar Hizbullah dan sabilillah. Pastinya, markas ini bukan saja menjadi tempat bermusyawaroh mengatur strategi pertempuran dengan penjajah, tapi sekaligus menjadi tempat pengemblengan para santri yang siap mati untuk mempertahankan sejenggal tanah sekalipun agar kembali tidak dikuasai penjajah. Markas ini mendapat pengawasan penuh dari sang Guru sebagai Komando awal, KH. Hasyim Asy’ari.

Baru setelah Kiai Hasyim Asy’ari meninggal pada tanggal 25 Juli 1947 M bertepatan dengan 7 Ramadhan 1366 H, Kiai Bisri Syansuri di angkat sebagai ketua Hizbullah dan Sabilillah wilayah Jawa Timur yang selanjutnya bermarkas di Jombang sebab markas lainnya di Malang telah dikuasai oleh Belanda. Lagi-lagi tekad Kiai Bisri Syansuri untuk ikut andil perang sulit dipisahkan dari  fatwa resolusi jihad sebagai pemompa semangat, di samping kesadaran beliau muncul untuk memperjuangkan nasib masyarakat miskin akibat ekonomi penjajah yang menindas.

Pasca perang fisik, Kiai Bisri Syansuri terus mengawal perjalanan NU dan pondok pesantren Denanyar, termasuk tetap aktif dalam ruang perpolitikan bangsa. Catatan sejarah menyebutkan, Kiai Bisri Syansuri menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), meskipun pada akhirnya beliau keluar setelah dewan ini dibubarkan dan diberhentikan oleh presiden dengan mengganti anggota baru menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR).

Karenanya, sikap keluar Kiai Bisri Syansuri cukup beralasan sebab apa yang dilakukan oleh presiden secara fiqh tidak diperbolehkan. Pasalnya, DPR dipilih secara langsung oleh rakyat, maka dengan membentuk anggota baru berarti mendholimi suara rakyat. Berbeda dengan pendapat KH. Wahab Hasbullah, pemerintahan tidak boleh vakum sehingga keterwakilan NU dalam dewan menjadi penting agar institusi Negara berjalan stabil, mengikuti tawaran presiden ir. Soekarno. Keduanya berbeda, tapi Kiai Bisri Syansuri sangat menghargai keputusan tersebut, apalagi Kiai Wahab Hasbullah adalah pimpinan tertinggi NU. Sebagai bentuk kesetiannya, Kiai Bisri Syansuri tidak melarang putrinya, Nyai Hj. Sholihah mengikuti jejak Kiai Wahab  Hasbullah.

Hampir semua keputusan Kiai Bisri Syansuri sepanjang hidupnya dalam memberikan sumbangsih untuk mengurai problem pesantren, NU dan bangsa selalu mempertimbangkan fatwa-fatwa fiqh. Di samping yang telah disebutkan, misalnya sikap mendirikan pondok putri bersama istrinya Nyai Hj. Khodijah sekitar tahun 1920, sikap memperbolehkan program Keluarga Berencana (KB) dengan prasyarat tertentu, RUU perkawinan, dan lain-lain. Artinya, pertimbangan prinsip maslahah bagi semua, yakni bagi nahdliyin, umat Islam umumnya dan rakyat Indonesia selalu diperhatikan dengan tetap teguh pada kaedah berpikir ala fiqh.

Kiai Bisri Syansuri boleh meninggalkan kita sebab memang yang hidup akan selalu berakhir untuk berpindah pada alam berikutnya, dan tidak ada mahluk hidup yang abadi. Tapi, semangat ketegasan, kehati-hatian, sekaligus kelenturan dalam menyikapi perbedaan, yang beliau praktikkan layak diteladani agar kita tidak mudah terjebak dalam hidup invidualis dan materialis. Jaga kesalehan beragama dan ketaatan berbangsa dengan sebaik-baiknya melalui sinergi tanpa henti dengan para kiai pesantren dan NU sebagaimana beliau lakukan sepanjang hidup hingga meninggal dan dimakamkan di area Makam pondok pesantren Manba’ul Ma’arif Denanyar.

Akhirnya, pesan Kiai Bisri Syansuri, ketika memberikan sambutan Iftitah pembukaan Mu’tamar NU ke -26 di GOR Semarang menarik untuk direnungkan untuk diamalkan bersama sebagai warga NU dan anak bangsa. Beliau mengatakan: “setiap perjuangan itu harus di dasari dengan keikhlasasn dan semata-mata mencari ridlo Allah SWT.” Maka, keikhlasan, menafsirkan pesan beliau adalah kunci bagi umat Islam, terkhusus bagi kader NU yang turut berkomitmen berdakwah ala Ahl al-Sunnah wal al-Jama’ah al-Nahdiyah. Semoga kita dapat mengamalkan pesan beliau sebab keikhlasan melahirkan kebersihan hati. Amin.   
 
Dirancang dari beberapa Sumber:
·   KH. Abdurrahman Wahid, Khazanah Kiai Bisri Syansuri: Pencinta Fiqh Sepanjang Hayat (Jakarta: Pensil 324, 2010).
·  KH. Abdussalam Shohib, dkk, Kiai Bisri Syansuri; Tegas Berfiqih, lentur bersikap (Surabaya: Pustaka Idea, 2015).
·    Buletin NU Jawa Timur, Aula Nomor. 3 TH. II JUM-AWAL 1400 H/April 1980 M
·   Photo dikutip dari Pameran Photo KH. Bisri Syansuri dalam agenda Haul Muassis Pondok Pesantren Manba’ul Ma’arif Denanyar Jombang tahun 2020






Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.