KENISCAYAAN MENJADI MUSLIM RAMAH (Catatan Dari Kitab Mishbah al-Dhulam)

Wasid Mansyur
Dosen FAH UIN Sunan Ampel Surabaya


Menjadi Muslim yang sebenarnya, bukanlah sekali jadi, melainkan butuh proses panjang yang berliku-liku agar terbebas dari jebakan kehidupan penuh tipuan, yakni tarikan hidup antara  gerak simbolik yang belum bebas dari kuasa egoisme dan nafsu menuju gerak total substantif yang dengan penuh kesadaran menjadikan Allah SWT sebagai titik pijak semua energi dan perbuatan dari sifatNya, rahman dan rahim. Baik yang berhubungan denganNya maupun dengan makhlukNya.

Tulisan sederhana ini sengaja dirancang mengambil judul “Keniscayaan Menjadi Muslim Ramah”. Judul yang pastinya akan membedakan dengan model Muslim yang selalu menggunakan jalan amarah, kekerasan, radikalis, dan mengutamakan simbol sebagai tolak ukur kebenaran dalam berdakwah. Pijakan tulisan ini adalam petuah-petuah Sufistik dari Syekh Nawawi al-Bantani (W. 1314 H) ---salah satu maha guru ulama Nusantara—dalam kitabnya Misbah al-Dhulam (lentera kegelapan), Syarh al-Nahj al-Atam fi Tabwib al-Hikam.

Perlu diketahui, Kitab Misbah al-Dhulam merupakan karya menarik dari beberapa karya Syekh Nawawi. Kitab ini adalah Syarh atau penjelas dari kitab Hikam ibn Athaillah al-Sakandari dengan menggunakan versi kitab Najm al-Atam karya Syekh Ali ibn Hisam al-Din (886 H - 975 H). Karya Syekh Ali adalah model dari Kitab Hikam Ibn Athaillah dengan bentuk tematik yang dapat memudahkan pembaca. Gaya tematik ini yang menjadi alasan Syaikh Nawawi mau memberikan penjelasan (syarh) atas Hikamnya ibn Athalillah, mengingat sudah banyak syarh lain yang ditulis oleh para ulama sebelumnya.

Karenanya, ketika Kitab Misbah al-Dhulam dengan versi terbaru menyebar di medsos, yang dicetak oleh penerbit Daru Turath Ulama Nusantara, penulis langsung komunikasi agar dikirim. Lagi-lagi penasaran, ingin melihat kecenderungan Sufisme Syaikh Nawawi dalam memaknai teks kitab Hikam sebab setiap pemikir atau pen-syarh dipastikan memiliki karakteristik masing-masing, apalagi selama ini penulis lebih banyak mengenal Syaikh Nawawi sebagai mufassir dengan karyanya Marah Labib li Kasyfi Ma’na al-Qur’an al-Majid atau ahli fikih dengan ---salah satu-- karyanya adalah kitab Nihayatu al-Zain bi Syarh Qurrat al-‘in. Kitab pertama, penulis sempat mengaji kepada Allah Yarham KHR. Abdul Mujib Ibn Abbas Buduran Sidoarjo dan yang kedua mengaji Kepada Allah Yarham KH. Nurul Huda Nawawi  Buduran Sidoarjo.          

Tidak begitu lama setelah pemesanan, kitab Misbah al-Dhulam yang tuntas ditulis tahun 1305 H, akhirnya nyampai di rumah. Dari bacaan dengan gaya maraton atas karya ini atau meminjam istilah menggunakan tehnik speed reading ---dari 26 November 2020 hingga tuntas 12 Desember 2020--, penulis banyak menemukan narasi sufistik ala Syaikh Nawawi yang layak diketahui dan diamalkan, khususnya berkaitan dengan pentingnya menjadi Muslim ramah di tengah komunitas yang majemuk.

 

Menyayangi, Bukan Menyakiti

Mayoritas ulama menyepakati bahwa tasawuf dan syariat adalah dua jalan yang tidak untuk dipilih, mengabaikan yang lain. Tapi, keduanya harus ber-iringan dan berkelindan dalam praktik keagamaan Muslim setiap hari. Dimensi Simbolik agama penting, tapi substansi juga sangat penting sebab kolaborasi keduanya akan memudahkan Muslim untuk bergerak secara istiqamah mendekat menuju makrifatullah.

Dalam Konteks seperti ini kitab Hikam ibn Athaillah dipahami oleh Syekh Nawawi. Misalnya, ketika Ibn Athaillah mengkategorikan ilmu yang bermanfaat:

العلم إن قارنته الخشية فلك, وإلا فعليك

“Ilmu yang disertai rasa takut __kepada Alllah SWT_, maka akan bermanfaat bagi pemiliknya. Dan menjadi mala petaka, bila ilmu tidak mengantarkan rasa takut kepadaNya.”

Syekh Nawawi mengatakan (hal: 5): untuk mencapai hal itu, maka setiap Muslim harus mempelajari ilmu yang bermanfaat sebagai media interaksi dengan yang lain di satu sisi. Dan di sisi yang berbeda berkaitan dengan sifat-sifat jiwa. Oleh karenanya, yang harus dilakukan pertama kali adalah memahami Aqidah Ahl al-Sunnah wa Al-jama’ah agar terhindar dari kesimpangsiuran pemikiran, untuk tidak mengatakan pemikiran sesat. Bagi Syekh Nawawi, jalan ini ---ilmu dan memperbanyak  dzikir--- adalah jalan terbaik yang memudahkan pelakunya mencapai makrifatullah.

Karenanya, menjadi Muslim ramah tidak cukup hanya praktik agama secara simbolik (Syari’at/Dhahir), tapi juga substansi (tasawuf/Batin), yang berhubungan dengan pembersian jiwa dari penyakit batin dan menjaga agar interaksi dengan orang lain terbangun dengan kebaikan dan maslahah. Semangat berpikir seperti ini yang kemudian menjadi alasan Syekh Nawawi mengatakan:

فالأدب أن يرحم المذنبين ويحلم على الظالمين ويصفح عن الجاهلين ويحن إلى المسيئين ويرأف بعباد الله تعالى أجمعين.

“Maka bagian tatakrama adalah mengasihi mereka yang berbuat dosa, sabar menghadapi yang dhalim, menghindar dari orang-orang bodoh, merindukan pelaku kekerasan, dan mengasihani semua hamba Allah SWT.”

Tidak ada orang ---apapun, nasab, status sosial dan pangkatnya-- yang diberikan oleh Allah otoritas untuk mengetahui akhir dari kehidupan orang lain, baik akhir yang baik (husnul khatimah) atau akhir yang buruk (su’ul khatimah). Kalaupun ada sebagian orang mengetahui hal-hal ghaib, tapi tak mungkin mengetahui semua rahasia keseluruhan orang lain. Karena memang semua rahasia ini adalah bagian dari kelembutan sifat Allah agar setiap individu terus berhati-hati, dan tidak mudah menyerah menghadapi tantangan hidup serta tidak mudah bangga terhadap capaian.  

Jika ada orang yang merasa sudah sempurna agamanya, bahkan sudah merasa banyak tahu tentang yang ghaib hingga disebut Wali oleh masyarakat. Tapi, tidak memiliki sikap ramah kepada mahluk Allah, maka dapat dipastkan hal ini menjadi fitnah dan menjadi sebab hidupnya terbebani. Melihat orang maksiat terasa berat sebab ada perasaan paling baik. Alih-alih mengajak kepada kebaikan dan bertaubat, ia malah lari dan memutus hubungan dengan pendosa, tegas Syekh Nawawi.

Menjadi Muslim ---yang sesungguhnya-- adalah mengasihani kepada siapapun, yang baik atau yang tidak baik. Bukan membenci dan mencaci maki kepada yang berbeda. Yang tidak baik (pelaku dosa) sekalipun, perlu penyikapan yang sabar dan istiqamah sambil mengajak untuk kembali berbuat
baik. Selebihnya, yang baik senantiasa mendoakan dengan penuh ikhlas agar Allah memberikan jalan kebaikan hingga berakhir dengan baik.

Karenanya, Syekh Nawawi meriwayatkan sebuah cerita kaitan agar kita tidak mudah mendoakan orang lain jatuh dalam kenistaan hidup, walau ia pelaku maksiat. Cerita yang dimaksud:

“Suatu ketika Allah menampakkan kepada Nabi Ibrahim As kerajaanNya di langit dan bumi. Ketika Nabi Ibrahim melihat pelaku dosa, seraya Ia berdoa kepada Allah.  Lantas Allah mengabulkannya dan pelaku maksiat ini akhirnya meninggal. Ini dilakukan berkali-kali kepada orang lain, dan doanya selalu dikabulkan. Lantas Allah mengingatkan ---melalui wahyuNya—wahai Ibrahim, doamu mudah dikabulkan.

Karenanya, jangan mudah mendoakan hamba-hambaKu yang bermaksiat. Pasalnya, mereka tidak lepas dari tiga kategori. Sebagian kelak akan bertaubat dan Saya menerima pertaubatannya, Sebagian Aku mengeluarkan darinya angin sepoi-sepoi yang bertasbih kepadaKu, dan Sebagian yang lain ia akan dibangkitkan kepadaKU. Jika Aku berkehendak, maka Aku mengampuninya atau aku akan menyiksanya.

Cerita Nabi Ibrahim tersebut mengingatkan kita sebagai Muslim dipenghujung tahun 2020 kaitan prilaku sebagian Muslim –termasuk dari kalangan agamawan--- yang masih gemar menggunakan simbol-simbol agama untuk kepentingan jangka politik jangka pendek mengabaikan nilai-nilai Islam yang merahmati. Parahnya, teriakan takbir dikumandang bukan menjadikan dia merasa kecil, tapi malah merasa sombong berlagak paling hebat. Pertanyaannya, benarkah perjuangan yang dilakukan salami ini karena Allah?, atau karena menuruti nafsu. Sementara fakta di lapangan yang muncul dari para penghamba simbol adalah prilaku kekerasan dan narasi kebencian.


Akhirnya, mari menjadi Muslim dengan penuh kegembiraan, walau yang dihadapi kita berbeda-beda. Jangan merasa sempurnah sebab bisa jadi kesempuaan yang dipersepsikan tidak ada apa-apanya dihadapan Allah. Jangan mudah menyalahkan bahkan memvonis orang lain. Bisa jadi dalam prosesnya ia mengalami perubahan dan hidupnya berakhir dengan baik, sementara yang mudah menyalahkan makin tidak jelas. Semoga kita selalu menjadi Muslim dalam kegembiraan untuk menebar kerahmatan dan penuh cinta kepada siapapun. Amin…






1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.