Menjaga Kearifan Pesantren Di Tengah Pandemi

Oleh: Wasid Mansyur
Alumni Lembaga Pesantren al-Khoziny Buduran Sidoarjo

“Yang harus dipikirkan, bukan saja santri kembali. Tapi, juga keselamatan 
pengasuh dan keluarga dari penularan covid 19.”


Dampak pandemi covid 19 sampai kepada semua lini kehidupan, termasuk pendidikan pesantren. Karenanya, dalam salah satu kesempatan diskusi online Ramadhan 1441 H bersama Komunitas Baca Rakyat (Kobar), 19 Mei 2020,  ada kesimpulan menarik yang layak menjadi renungan bersama bahwa new normal adalah keniscayaan sebab masa depan pandemi belum bisa dipastikan kapan berakhir, sementara pendidikan pesantren paska Ramadhan harus berjalan seperti biasa dengan dimulai keharusan para santri kembali ke pesantren dari berbagai daerah di Indonesia.

Di samping itu, kesimpulan lain dari diskusi tersebut juga menyebutkan bahwa ada lokalitas pesantren yang unik di setiap pesantren, sekalipun mayoritas satu dalam konteks ideologis; setidaknya sama-sama berparadigma kuat bahwa kitab kuning ala Aswaja menjadi hal penting dalam pendidikan pesantren. Karena keunikan ini, keterlibatan semua stake holder di negeri ini menjadi keniscayaan sebab keberadaan pesantren bukan saja soal pendidikannya, tapi juga pembentukan karakter, menumbuhkan kemandirian hingga ada pergerakan ekonomi kerakyatan, terkhusus bagi masyarakat dekat pesantren.

Pada konteks yang berbeda, diskusi yang diinisiasi TV 9 tidak kalah menariknya, apalagi dengan judul cukup tegas dan sedikit “profokatif”: “Santri Kembali ke Pesantren, Negara Harus Hadir”, Sabtu Pagi, 6 Juli 2020.  Salah satu simpulan, dari diskusi online yang melibatkan KH. Reza Ahmad Zahid, KH.M. Zaki Hadzik, dan Hj. Khofifah Indar Parawansa selaku Gubernur Jawa Timur, adalah Negara dan insan pesantren akan berkolaborasi untuk menjaga pesantren dengan melibatkan semua, terkhusus ketika para santri akan kembali ke pesantrennya masing-masing.

Lebih dari itu, pesantren sudah saatnya tidak lagi fokus melakukan proses pendidikan an sich, tapi juga menyiapkan hal-hal yang menjadi keniscayaan di tengah pandemi covid 19 dan keniscayaan bersahabat dengannya melalui logika new normal. Sebut saja misalnya, memperhatikan protokol kesehatan, semakin riil membumikan teologi kebersihan, termasuk mulai berpikir serius bagaimana semua kebutuhan pokok santri bisa dipenuhi oleh pesantren dengan melakukan pemanfaat ladang tersisa secara inovatif untuk bertani.

Pastinya, semua pesantren tidak bisa disamakan, menyesuaikan kondisi pesantrennya masing-masing. Tapi, hal-hal yang bersifat umum berkaitan dengan covid 19 dan kembalinya santri ke pesantren pasti sama; sama berprinsip pada kaedah dar’u al-mafasid muqaddamun ‘ala jalbi al-mashalih, menolak kerusakan harus didahulukan dari pada menarik kemanfaatan. Tidak hanya berpikir pendidikan pesantren segera berjalan, tapi sekaligus bagaimana pentingnya kehati-hatian untuk menjaga agar tidak ada proses penularan, yang secara tehnis sesuai dengan lokal masing-masing. 

Pertanyaannya kemudian, mengapa perlu semua harus berpikir prioritas untuk pesantren kaitannya dengan new normal?. Bukannya aktivitas yang lain juga sama pentingnya?. Tulisan ini bukan ingin mempertentangkan, tapi kondisi pesantren lebih besar pergerakannya bukan saja satu isu sebagaimana aktivitas lainnya, misalnya maal dan pasar. Maka new normal pesantren di tengah pandemi tidak bisa hanya dipikirkan oleh insan pesantren, tapi semua harus terlibat dengan melihat modal sosial dan modal kapitak yang dimiliki pesantren cukup besar berkoneksi dengan kegiatan masyarakat yang lain.

New Normal Pesantren
Kalimat yang dikutip diawal tulisan ini: “Yang harus dipikirkan, bukan saja santri kembali. Tapi, juga keselamatan pengasuh dan keluarga dari penularan covid 19” adalah salah satu obrolan ringan penulis di WAG dengan beberapa santri dan kiai yang sama-sama satu almamater. Karenanya, inti dari kutipan ini jangan sampai, ketika santri kembali ke pesantren akan melahirkan klaster baru kaitan dengan jumlah masyarakat yang terpapar covid 19.

Karenanya, new normal pesantren memastikan komunitas pesantren harus membuka diri dengan siapapun, misalnya selalu berkoordinasi dengan stake holder yang menjadi gugus depan penanganan covid 19 di daerahnya masing-masing. Sebenarnya, sikap ini nampak sekali dari lembaran informasi yang disebarkan oleh para pesantren kaitan mekanisme atau SOP santri kembali ke pesantren yang menyebar di berbagai media sosial (medsos). Keterbukaan menjadi jalan silaturrahim sehingga berkah dalam menangkap penyebaran covid 19 atau corona.

Pilihan ini adalah prinsip tengah-tengah; prinsip yang menjadikan kuasa mutlak Tuhan harus tetap bersanding dengan usaha manusia. Siapapun kaitan dengan pandemi covid 19 atau corona harus menghindar, termasuk dengan cara do’a. Tapi, kitapun juga tetap yakin bahwa Kuasa Allah tidak bisa diintervensi oleh siapapun, Ia dengan KuasaNya pasti akan menghilangkan. Hanya soal momentum dan waktu agar mahlukNya terus terlatih dalam syukur dan sabar.

Lebih dari itu, new normal pesantren harus menjadi pemantik agar pemerintah serius dimanapun berada. Insan pesantren adalah bagian dari komunitas bangsa yang tidak bisa dilepaskan dari proses kebangsaan ini, bahkan ikut memberikan kontribusi bagi pewatakan berbangsa dan bernegara. Karenanya, berpikir prioritas bagi Negara untuk berperan mendampingi proses keberlangsung pesantren di tengah pandemi adalah keharusan yang tidak boleh ditawar-tawar, baik pusat maupun daerah.

Ungkapan 'Izzu al-Din ibn Abdus Salam –dalam Shajaru al-Ma’arif wa al-Ahwal, 189-- menarik untuk dipikirkan bahwa maratib al-Ma’unah ‘ala al-Khairat makhudatun min rutab tilka al-khairat. Fal-ma’unah ‘ala afdhali al-khuyur afdhalu al-ma’unah, “Hirarki memberikan pertolongan dalam kebaikan bergantung pada hirarki kebaikan itu. Karenanya, memberikan pertolongan pada hal yang terbaik adalah termasuk pertolongan terbaik.”

Kutipan ini sederhananya, jika dikaitan dengan kebijakan pemerintah, bahwa kebijakan pemerintah sebagai amanah akan terasa sangat besar manfaatnya bila berpikir pada skala prioritas dan berpikir hal yang lebih besar manfaatnya. Memang selain pesantren penting diperhatikan kaitan dengan new normal, tapi melupakan pesantren sama artinya pemerintah “buta’ terhadap kenyataan dan kontribusinya bagi bangsa ini.

Akhirnya, pesantren di era new normal harus serba hati-hati kaitan pandemi covid 19, sekalipun tidak perlu takut berlebihan. Tak lama lagi kearifan pendidikan pesantren, mau atau tidak mau, akan dimulai demi masa depan santri dan generasi bangsa. Karenanya, apapun yang terjadi, Allah sebagai penggerak sejati tetap tidak bisa di intervensi sehingga layak kita terus berharap semoga –atas Kuasa dan KehendakNya-- pendidikan pesantren berjalan lancar, sekalipun harus arif dan penuh kesabaran beradaptasi dengan kepastian hidup di era new normal. Semoga semua sehat, lahir dan batin. Amin.  

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.