PUASA, ZAKAT DAN KEPEKAAN SOSIAL



Dr. H. Muhammad Shodiq, M.Si
Dosen FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya


Setiap datang bulan Ramadhan umat Islam senang menyambutnya. Shalat tarawih di masjid sangat meriah dan Tadarus Al-Qur’an terdengar di mana-mana. Orang mengadakan buka bersama di kantor, perusahaan, restoran dan di cafe dan keluarga saling silaturrahim, sekalipun di musim pandemi covid 19 tidak seramai pada tahun-tahun sebelumnya karena masyarakat harus memperhatikan anjuran protokol kesehatan.

Di samping aktivitas itu, di dalam bulan Ramadhan kita juga diingatkan kaitan kewajiban membayar zakat fitrah dan zakat maal, sekalipun yang disebutkan terakhir tidak harus dilakukan pada bulan Ramadhan. Kewajiban yang mengajak kita semua umat Islam, khususnya yang memiliki kelebihan harta agar berbagi harta kepada yang berhak sebagaimana disebutkan dalam fikih.

Tulisan ini tidak akan mengungkap detail soal zakat, tapi mencari titik singgung hubungan puasa dan zakat dalam menguatkan kesadaran dalam kesalehan sosial. Maksudnya ada semangat yang sama antara kewajiban puasa dan zakat dalam menguatkan kepekaaan sosial pelakunya, di samping kewajiban melaksanakannya bagian dari ritual ibadah.

Menguatkan Kesadaran
Satu ayat yang seringkali dibaca oleh penceramah dalam menjelaskan puasa  Ramadhan adalah QS. al-Baqarah, ayat 183 yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa.”

Sekilas ayat ini menunjukkan bahwa puasa yang kita lakukan dibulan suci Ramadhan ---di samping juga tradisi orang terdahulu—bertujuan dalam rangka agar pelakunya tergolong sebagai orang-orang muttaqin. Pastinya, dengan makna takwa yang sangat luas, bukan saja soal urusan pribadi atau yang dikenal dengan kesalehan individu.

Oleh karenanya, bila dikaitkan dengan ayat yang lain dalam surat yang sama Q.S. al-Baqarah, khususnya ayat-ayat pertama (ayat 3-5). Disebutkan setidaknya ada 5 indikator orang bisa tergolong bagian dari muttaqin, yaitu beriman kepada yang ghoib dan kesediaan menjalankan shalat, dan dimensi horizontal berupa kesediaan untuk menginfaqkan sebagian hartanya kepada yang berhak, mengimani al-Qur'an serta kitab-kitab sebelumnya dan meyakini  akhirat. 
           
Melihat korelasi penjelasan ayat di atas, maka sangat jelas sekali bahwa puasa yang dilakukan setiap Muslim memiliki semangat yang sama dengan kewajiban zakat (yang dalam hal ini masih bagian dari makna infak), yakni bertujuan bukan hanya menguatkan kesalehan individual tapi juga kesalehan sosial; tepatnya kepekaan kepada sesama. Lapar, ketika berpuasa mendidik kepekaan pada yang lain, sementara semangat berbagi dalam kewajiban zakat mendidik pelakunya sadar bahwa kita tidak hidup sendiri sehingga perlu berbagi.

Oleh karenanya, mari kita gunakan puasa dan kewajiban zakat sebagai pendorong agar kita makin semangat dan sadat agar kita melihat tetangga sekitar kita, apalagi di tengah pandemi covid 19. Pastikan, mereka, khususnya yang tidak mampu, telah menerima uluran tangan dari kita yang mungkin lebih mampu sebagai wujud meraih ketakwaan sesungguhnya.     

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.