MERAWAT MAKNA TRADISI KUPAT


Wasid Mansyur
(Dosen FAH UIN Sunan Ampel Surabaya, 
aktif di PW Gerakan Pemuda Ansor dan PW LTN NU Jawa Timur)

Tradisi Kupat telah lama ada mewarnai proses dakwah Islam di Nusantara. Sebuah praktik unik perayaan keagamaan lokal, yang memiliki hubungan erat dengan rangkaian panjang pelaksanaan ibadah di bulan suci Ramadhan dan hari raya Idul Fitri. Karenanya, tradisi kupat sering diidentikkan dengan “Riyoyo Kupat”, kata orang jawa atau “Telasan Topak” atau “Telasan Pettok”, kata orang Madura.

Ciri khas lokalitas ini yang memastikan bahwa tradisi Kupat sulit ditemukan padanannya di beberapa negara Muslim, termasuk Arab yang merupakan asal-muasal lahirnya Islam. Pastinya, semua terjadi disebabkan adanya hubungan agama dan kebudayaan lokal yang sangat kental sehingga praktik kupatan menjadi praktikkan lokal dengan inovasi yang beragam dibeberapa daerah di Indonesia, misalnya dalam tradisi kupatan, sebagian menyebut, bukan saja Kupat yang terbuat dari daun kelapa muda/janur dan beras, tapi juga ada makanan lokal yang dikenal dengan “lepet” yang tersaji dari kombinasi ketan, daun kelapa janur dan garam dengan beragam bentuk sesuai kearifan lokal masyarakatnya.

Untuk itu, tradisi ini sarat dengan makna filosofis. Sebut saja misalnya, kata “kupat” selalu dikaitan dengan kata “kafat”, yang dalam bahasa Arab bermakna “cukup”. Artinya, tradisi Kupat adalah potret bahwa rangkaian puasa telah cukup, setelah kaum Muslim berpuasa Ramadhan, berhari raya dan ditutup dengan puasa enam hari dibulan Syawal. Pastinya, bagi mereka yang belum berpuasa syawal –dingatkan bahwa anda semua-- belum bisa dikatakan cukup atau sempurna hingga layaklah dilakukan dihari lain selama bulan Syawal.

Di samping itu, makanan “lepet” bisa dikaitkan dengan kata “lepat”, yang dalam Bahasa jawa bermakna: kesalahan, misalnya  amati penggunaan kata lepat, kulo ingkang lepat, kulo nyuwun pangapura (saya yang bersalah, saya minta dimaafkan). Jadi makanan lokal lepet adalah simbol permohonan maaf satu pihak kepada pihak yang lain agar tidak lagi ada kegundahan dalam batin atas khilaf yang dilakukan baik sengaja maupun tidak disengaja.
Dari makna filosofis ini, maka dalam tradisi Kupat bukan saja sekedar perayaan ramai-ramai, bila dibandingkan dengan perayaan lain yang hanya sekedar huru-hara untuk mengambarkan sikap hedonis. Karenanya, cukup beralasan bila kemudian masih banyak –dan layak dipertahankan oleh—masyarakat mempertahankan tradisi ini sebagai ritual tahunan mengiringi pelaksanaan puasa Ramadhan, dan hari raya Idul Fitri.

Sebagai Ibadah Sosial
Dari pemahaman di atas, maka tradisi Kupat sarat dengan ibadah sosial sebab lebih banyak berkaitan dengan upaya merajut kehidupan sosial secara harmoni dengan siapapun, khususnya dengan tetangga terdekat. Rajutan sosial yang diharapkan secara alami melahirkan kehidupan penuh damai antar sesama di tengah-tengah individualisme sulit terelakkan dalam kehidupan era digital.

Semangat ini nampak sekali dalam praktiknya, ketika kupat, lepet, dan sayur-sayurnya telah masak, maka antar tetangga saling berbagi dengan cita rasa berbeda-beda. Bahkan tidak sedikit, semua masakan diletakkan di masjid atau mushallah/langgar/surau dan masyarakat berkumpul untuk berdo’a bersama untuk para leluhur. Setelah itu, semua makan bersama-sama dengan penuh kegembiraan.
Karenanya, tradisi Kupat layak dipertahankan sebagai bentuk sarana ibadah. Imam al-Izzu ibn Abdus Salam mengatakan dalam kitabnya “Syajarat al-Ma’arif wa al-Ahwal wa Shalih al-Aqwal wa al-ahwal”, hal 174 dan 176:
 الوسائل تشرف بشرف المقاصد
(Perantara menjadi mulia karena Tujuannya Mulia)
لا يخفى ما في إرفاق الجيران من الإحسان
(jelas bagian dari Ihsan adalah berbagi kebaikan kepada tetangga)

Berpijak pada dua perkataan ibn Abdus Salam, maka dapat dipahami bahwa praktik tradisi Kupat yang selalu dilakukan oleh masyarakat Muslim Indonesia adalah media atau perantara untuk berbagi kepada sesama, sekaligus simbol rasa syukur. Karenanya, tradisi Kupat dipandang sebagai bagian dari ibadah, dengan mempertimbangkan tujuannya. Bukankah tujuan adalah hal terpenting dalam praktik keberagamaan.

Prinsip memperhatikan maqasid dalam berIslam adalah penting agar kita sebagai Muslim tidak mudah terjebak pada simbol atau praktik yang nampak dalam kehidupan. Karenanya, jangan hanya sebab simbol tidak sama atau tidak ada dalilnya yang jelas, lantas kita mudah menyalahkan tradisi, padahal tidak semua tradisi bertentangan dengan agama.

Di samping itu, berpijak pada perkataan Ibn Abdus Salam, Ihsan bukan hanya ibadah individual. Ihsan bisa ada dalam praktik berbagi kebaikan kepada tetangga (orang lain). Itu artinya, semangat berbagi dalam tradisi Kupat menjadi bagian dari upaya membumikan tradisi Ihsan, yang sangat diperhatikan oleh Nabi Muhammad Saw. mengiringi praktik keimanan dan keislaman.

Akhirnya, mari rawat tradisi Kupat ini sampai kapanpun. Dengan begitu, kita telah menjaga warisan mulia dari para leluhur. Dikatakan mulia sebab didalamnya, kita diajarkan tentang pentingnya kepedulian, menjaga harmoni, dan melarang segala bentuk individualisme atas nama apapun, termasuk atas nama simbol agama. Semoga kita sehat dan terus berharmoni dengan siapapun.
....
* photo potretan kupatan di rumah Ibuk di Bendulmerisi Wonocolo Surabaya 


  


1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.