MUHAMMMAD: SANG PENGAJAR SEJATI (2/terakhir)


Melanjutkan tulisan sebelumnya yang mengupas soal kepribadian Nabi Muhammad Saw sebagai pengajar dengan karakter luhurnya berinteraksi dengan para murid-muridnya –dari kalangan sahabat-- dalam setiap majelis ilmu yang diasuh beliau. Intinya interaksi dengan ramah dan teduh telah mewarnai perjalanan beliau sebagai pengajar di depan para sahabatnya sehingga hasilnya para sahabat itu menjadi kader-kader tangguh yang meneruskan dakwah beliau.

Karenanya, pada kesempatan kali ini akan diulas mengenai metode pengajaran yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad ketika mengajarkan ajaran dan nilai-nilai Islam kepada umatnya. Pengungkapan ini penting sebab mengutip ungkapan Arab yang masyhur berbunyi:
الطَّرِيْقَةُ أَفْضَلُ مِنَ اْلمَادَّةِ
"Metode lebih penting dari materi"

Maksudnya, jika tidak berlebihan, sebaik apapun SAP atau RPP yang kita buat sebagai orientasi pengajaran dalam satu semester, misalnya, jika tidak didukung oleh metode pengajaran yang jitu, beragam dan menggembirakan, tetap saja kurang menghasilkan makna yang maksimal, kecuali menghabiskan materi pengajaran sesuai dengan waktu dan jurnal yang ditentukan setiap masuk. Sementara, target kemampuan intelektual, apalagi pengamalan belum bisa menjamin sesuai yang dimaksud.

Jadi, metode mengajar ala Nabi Muhammad dimaksudkan untuk mengenal lebih dekat bagaimana cara mengajar beliau dengan kondisi audiens atau murid yang berbeda karakter, sekaligus berbeda daya akalnya dalam menangkap pengetahuan yang disampaikan beliau. Perbedaan pola menjadi niscaya agar pengajar tidak monoton dan tetap menjadikan proses belajar-mengajar dengan penuh kegembiraan. Bukan malah "nyumpek ne, kata orang Jawa. Kalau sudah “nyumpek ne”, murid bukan hanya stress di ruang kelas, tapi sekaligus mendorong dia malas untuk berangkat ke majelis ilmu alias lebih memilih bolos.

“Propetic Learning”
Sebelumnya, yang dimaksud dengan metode  propetic learning adalah metode pembelajaran yang dipraktikkan atau telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad kepada umatnya sebagaimana disebutkan dalam hadithnya atau atsar sahabatnya; baik di ruang majelis ilmu, atau di ruang bebas dalam konteks beliau tetap memberikan pengajaran kepada audiensnya, yakni para sahabat-sahabatnya, termasuk kepada non-Muslim.

Oleh karenanya, salah satu metode propetic learning itu, menurut Abu Guddah (hal. 26-28), adalah mengajarkan ilmu plus memberikan contoh pengamalannya. Nabi Muhammad tidak akan pernah mengajarkan, sebelum mencontohkan terlebih dahulu sehingga para sahabat dapat dengan mudah memahami dan meniru beliau. Terlalu banyak berwacana tentang teori-teori dalam mangajar akan menjemuhkan, bahkan tidak sedikit membuat audiens mengantuk.

Abu Guddah menambahkan, memberikan contoh adalah bentuk praktis dari pengamalan ilmu. Karenanya, metode ini bukan saja memberikan kemudahan dalam memahami, tapi sekaligus menyebabkan pengetahuan itu sulit hilang sebab melekat dalam praksis kehidupan. Oleh karenanya,  kemulian orang kaitannya dengan ilmu adalah bukan saja pandai secara intelektual, yang dalam kultur akademik diukur dengan nomerik. Tapi, lebih dari itu bagaimana murid mampu dengan ilmunya yang diperolehnya untuk mengamalkan dengan baik dan berstandar secara keilmuan sehingga dapat memberi kemudahan serta pencerahan pada orang lain.

Cara ini dapat ditemukan dalam hadith riwayat Muslim, yang artinya secara bebas sebagai berikut:

"Suatu ketika Nabi masuk di sebuah masjid, menemukan ludah. Lantas beliau menggosoknya untuk dibersihkan. Setelah itu, Nabi berkata kepada para Sahabat: Siapa di antara kalian yang senang Allah berpaling. Semua sahabat khusuk, dan akhirnya sebagian menjawab semua tidak mau Allah berpaling dari dirinya.
Lantas Nabi menjelaskan, makanya jangan meludah ke arah kiblat atau arah kanan. Meludahlah arah kiri dibawah kaki kiri. Jika tidak memungkinkan gunakan baju sambil Nabi memberikan contoh tatacara meludah dengan menggunakan baju.

Selanjutnya, metode propetik itu berupa senda-gurau. Artinya, mengutip penjelasan Abu Guddah (hal. 60) sesekali Nabi Muhammad mengajarkan Islam dengan santai dan dalam kegembiraan bergurau. Meskipun tetap dalam konteks mengajarkan Islam dengan benar. Cara kenabian ini penting, jangan sampai kita mengajar dengan materi yang sangat berbobot, menjadi kurang bermakna hanya karena penyampaiannya yang monoton dan membosankan.

Guru, dosen atau sejenisnya yang bertugas mengajar, maka cara ini harus menjadi perhatian agar murid tidak menjadi korban sehingga tidak sedikit bosan, yang ujung-ujungnya mengantuk. Dan tidak sedikit pengajar merasa terganggu dan akhirnya marah-marah. Salah satu contoh Nabi Muhammad kaitan metode bergurau, menurut Abu Guddah, disebutkan dalam riwayat al-Bukhari, yang arti bebasnya sebagai berikut:

"Suatu ketika Anas ibn Malik kedatangan Nabi. Sementara Anas memiliki adik kecil dengan nama Abu Umair, yang sedang bermain burung kutilang dan mati. Ketika itu, nabi melihat dia sangat sedih. Lantas beliau bertanya kepada para sahabat, kenapa dia kok sedih?. Sahabat menjawab: burung kutilangnya mati. Lantas Nabi Muhammad merespon, wahai Abu Umair apa yang dilakukan burung kutilang?, (hingga mati, sambil tertawa, penerjemah)."

Maknanya, melihat kejadian Abu Umair dan burung kutilangnya, Nabi Muhammad tidak lantas menegaskan dia bersalah dengan menggunakan dalil-dalil agama, tapi dengan cara bergurau agar Abu Umair tidak larut dalam kesedihan. Bisa dibayangkan stresnya Abu Umair, jika Nabi terus berwacana agama untuk menyalahkannya, padahal ia masih kecil.  

Pada akhirnya, masih banyak cara mengajar Nabi Muhammad, yang intinya pengajar harus membaca potensi diri dan audiesnnya. Jangan karena ego pengajar, lantas murid menjadi korban. Potret murid yang beragam karakter harus menjadi modal pengajar agar lebih pandai mencari model, sekaligus memberikan keteladanan, sehingga tujuan pendidikan terpenuhi. 

Pastinya, tegas Abu Guddah (hal, 78), cara mengajar Nabi penuh dengan kesempurnaan sebab beliau adalah manusia palipurna, yang sulit memancarkan kesedihan dan kegelisahan kepada orang lain. Terlebih dalam setiap majelis ilmu yang diasuhnya. Semoga kita bisa belajar dan menjadi pengajar teladan. amin (dsw)

   

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.