“BERPOLEMIK” SANG NABI (Dari Salman Rusdie, Arswendo hingga Sukmawati)


Oleh: Wasid Mansyur 
(Dosen FAHUM UIN Sunan Ampel Surabaya/
Aktivis PW Gerakan Pemuda Ansor Jawa Timur)

Kehidupan Nabi Muhammad Saw adalah teladan sepanjang zaman bagi umat Islam sebab itu secara normatif dalam surat al-Ahzab; 21 Allah Swt mengatakan dengan artinya sebagai berikut: "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah".

Teladan yang baik adalah contoh-contoh prilaku dan ucapan yang dipraktikkan oleh Nabi Muhammad sehingga layak kita tiru sepanjang masa. Pastinya, dengan tetap mempertimbangkan sosial budaya terkini, sekaligus memperhatikan substansi teladan beliau. Ini penting agar kita tidak mudah mengatakan meniru Nabi Muhammad, tapi prilaku kita jauh dari keluhuran pekerti beliau sebab selalu kita masih sering mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan sebagai bagian dari penilai prilaku baik, misalnya dengan suka mengumbar kebencian dan hoax.

Namun, perlu diketahui, dalam perjalanan sejarah sebagai pembawa risalah Islam, Nabi Muhammad  tidak pernah sepi dari penilaian "negatif" sejak masih hidup hingga saat ini; dari penilaian yang kurang tepat secara rasional-etik hingga pada tahapan penghinaan yang meledak-ledak tanpa memperhatikan pihak lain yang beda keyakinan dalam menafsirkan cara cinta pada Nabi Muhammad. Apapun motifnya, selamanya akan tetap ada sepanjang pemahamannya belum utuh kaitan sosok beliau di satu sisi dan masih adanya kebencian yang berlebihan kepada pihak lain di sisi yang berbeda.

Untuk menjadi pelajaran, fakta sejarah menyebutkan beberapa nama yang pernah melakukan penilai kurang etis, untuk tidak mengatakan "negatif" terhadap Nabi Muhammad dengan rentan waktu yang tidak jauh. Pertama adalah Salman Rushdie, penulis terkenal lahir di Mumbai India dan tinggal di Inggris. Kaitan Rushdie dengan penilaiannya terhadap Nabi Muhammad adalah termaktub dalam karya novelnya ayat-ayat setan atau The Satanic Verses. Novel yang ditulis sekitar tahun 1988 memantik amarah publik Muslim sedunia. Bahkan Rushdie mendapat ancaman dibunuh dengan model Sayembara, sekalipun novel ini harus diakui memiliki pembaca yang khas sesuai  gagasan Rushdie.

Mengapa Muslim marah sebab Rushdie sangat membabi buta dalam melakukan penilaian terhadap Nabi Muhammad, termasuk kepada orang-orang yang dekat beliau, misal para istri dan sahabat-sahabatnya. Novel ayat-ayat setan sekalipun dalam konteks literasi baik, tapi ulasannya penuh tafsir kebencian atas kehidupan Nabi Agung, Muhammad Saw, tanpa mengindahkan posisi beliau sebagai teladan terbaik umat Islam di seluruh dunia Islam.

Kedua, Arswendo Atmowiloto. Ia penulis berbakat dan aktif sebagai wartawan di berbagai majalah dan surat kabar. Kealfaannya berkaitan dengan Nabi Muhammad adalah hasil polling  Tabloid Monitor edisi 15 Oktober 1990, yang mengangkat isu soal 50 tokoh yang dikagumi pembaca dengan Arswendo sebagai pimpinan.

Polling ini membuat amarah publik, termasuk tokoh-tokoh Nasional seperti Amin Rais, Nurcholish Madjid dan lain-lain. Pasalnya, hasil polling Tabloid Monitor ini menempat Nabi Muhammad pada peringkat ke 11, di bawah Soeharto, Bj. Habibie, Ir. Soekarno, KH. Zainuddin MZ, dan lain-lain. Akibatnya Tabloid Monitor  terpaksa bubar tanggal 30 Nopember 2019 menteri penerangan era orba Harmoko, dan Aswendo akhirnya masuk penjarah setelah tekan oleh banyak pihak yang marah dengan melakukan protes.

Ketiga, Sukmawati Soekarnoputri. Kasus yang menimpanya adalah pernyataan Sukmawati yang kurang elok membandingkan Nabi Muhammad Saw. dengan Ir. Soekarno, yang disampaikan baru-baru ini di forum diskusi memperingati hari  Pahlawan 10 Nopember. Perbandingan yang kurang pas sebab berada dalam waktu renta sejarah yang berbeda, di samping manafikan posisi Muhammad yang secara teologis memiliki posisi agung sebagai Nabi akhir zaman. Apapun takwil Sumawati, dan sengaja atau tidak atas pernyataan ini, publik sudah terlanjur mendengarkan apalagi di era medsos.

Kasus Sukmawati bukan kali ini saja. Ia juga pernah –ditahun-yatahun sebelumnya-- mengatakan dalam puisinya bahwa kidung lebih baik dari suara adzan. Cadar lebih baik dari konde. Sebuah pernyataan yang juga kurang tepat, sebuah perbandingan dan penilaian yang tidak utuh sehingga ada kesan ini bagian dari “penistaan agama” sehingga iapun juga diprotes banyak pihak, sekalipun akhirnya minta maaf.

Disamping tiga orang di atas, fakta sejarah menyebutkan masih banyak orang yang menilai negatif terhadap Nabi Muhammad, bahkan tidak menerima ajarannya, misalnya kontroversi kartunis Kurt Westergaard yang menggambar kartun bom di serban. Atau  ulah politisi Belanda yang tak hanya anti imigran, tetapi juga anti Islam dalam mengadakan kompetisi gambar kartun Nabi Muhammad Saw., yang akhirnya gagal akibat amarah Muslim di belahan dunia. Lantas apa yang kita lakukan dalam konteks kejadian ini?.  

JALAN TENGAH
Sebagai muslim, dalam aktivitas sosial kita diajarkan agar tidak sembrono dalam tindakan apapun, termasuk ucapan. Kepada yang berbeda kita juga diajarkan agar menjaga etika agar tidak mudah menyakiti orang lain sebab menyakiti pihak lain berpotensi akan dibalas, bahkan balasannya lebih besar. Karenanya, menyikapi pernyataan atau apapun namanya yang berpotensi pada “penistaan’ agama perlu keterhatian agar tindakan kita elegan dan memberikan keluhuran hikma, termasuk dalam kasus terkini Sukmawati.

Maka tengah itu menjadi penting, pertama bersikap dengan santai tak perlu mengumbar amarah. Ini menarik agar kita tidak terbiasa menyelesaikan masalah mudah dilarikan ke hukum, tanpa melakukan proses tabayun kepada pelaku. Gus Dur pernah mengatakan, kaitannya dengan kasus Arswendo, apapun polling yang dihasilkannya tidak akan mempengaruhi kemuliaan sosok Nabi Muhammad, apalagi telah ditahbiskan langsung oleh Allah dalam berbagai ayat-ayatNya sebagai Nabi dan Rasul Agung.

Cara Sukmawati membandingkan Nabi Muhammad dengan Ir. Soekarno adalah kurang telat sehingga perlu introspeksi. Mengapa kurang tepat sebab Ir. Soekarno bukanlah individu ma’shum sebagaimana Nabi, sekalipun kita tetap melihat bahwa Ir. Soekarno sangat berjasa dalam mengantarkan bangsa Indonesia merdeka. Berpikir rasional-etis itu penting agar tidak menghasilkan konklusi salah, apalagi dikaitkan dengan radikalisme dan nasionalisme. Lebih dari itu, kita sebagai Muslim tidak harus marah-marah agar persoalan segera clear dan tidak semakin ruwet.

Kedua, harus menjaga harmoni sosial. Ucapan Sukmawati sudah terlanjur menyebar. Sukmawati tidak boleh “keras kepala’ sebab ucapan ini tidak diucapkan dalam ruang kosong atau sendirian (di kamar mandi), tapi dalam ruang terbuka dengan kondisi sosial masyarakat yang berbeda. Karenanya, harus menghargai keyakinan lain sehingga tidak seyogyanya melontarkan gagasan yang menuai polemik di masyarakat.

Kita membutuhkan  tokoh bangsa yang selalu menjaga harmoni dengan tidak mudah mengumbar ujaran yang tidak etis, baik hoax atau menyinggung keyakinan yang berkaitan dengan nilai-nilai agama. Mengapa ini penting sebab tokoh bangsa akan menjadi sorotan publiknya. Jika tokoh bangsanya sudah tidak mengindahkan etika publik. lantas bagaimana masyarakat umum akan melihat dan memaknai.

Akhirnya, kasus seperti Sukmawati tidak perlu terjadi lagi. Apapun alasannya sebab menggangu hubungan harmoni di antara anak bangsa. Terlepas dari itu, selebihnya harus memiliki kerendahan hati agar tidak merasa paling benar sehingga mengabaikan pendapat orang lain. Semoga kita terus belajar dari kasus seperti Sukmawati agar tidak terulang, dan agar semua elemen bangsa lebih kuat untuk fokus dalam penguatan ideologi kebangsaan dari ancaman radikalisme dan nilai transnasional, baik berbasis agama maupun ekonomi. Dan inilah jalan tengah. Semoga.          

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.