PELAJARAN DARI KASUS SUGIK NUR



Sugik Nur Rahardja, yang biasa dikenal Gus Sugik atau Sugik Nur, akhirnya divonis 1 tahun 6 bulan penjara atas ulahnya melakukan penghinaan kepada NU, yang didakwah dengan pasal 45 ayat (3)jo. Pasal 27 ayat (3) UU No. 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, melalui putusan hakim ketua Hakim Slamet Riyadi, (Kamis 24 Oktober 2019).

Putusan ini menjadi menarik bagi kita semua sebagai pelajaran hidup agar hati-hati dalam berucap. Sugik Nur adalah salah satu contoh bagaimana ujaran kebencian sangat berbahaya bagi kehidupan sosial, baik secara individu maupun maupun hubungan secara luas. Pembiaran terhadap ujaran kebencian pada skala tertentu akan menjadi penyakit akut sosial yang akan menghilangkan sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan,

Karenanya, UU ITE layak menjadi landasan kehidupan sosial agar semua orang tidak sembarangan dalam berucap, apalagi menggunakan kata-kata kasar yang tidak pantas dalam ruang publik, termasuk melalui media sosial (medsos). Medsos adalah ruang sosial baru yang harus dijaga bersama agar tidak disusupi –dengan sengaja atau tidak-- oleh pihak, baik individu maupun atas nama kelompok.

Lebih dari itu, menurut Fattahul Anjab dari Pecinta Majelis Dzikir Rijalul Ansor Jawa Timur, kasus Sugik Nur layak menjadi pelajaran kita, khususnya bagaimana pentingnya berdakwah dengan cara-cara yang sejuk dan harmoni. Apa yang disampaikan Sugik Nur bukanlah materi ceramah, tapi lebih banyak terdorong oleh nafsu kebencian kepada pihak lain, yang berbeda pendapat. Sungguh disayangkan, apalagi dia termasuk salah satu juru dakwah (da’i).

Anjab menambahkan, agama ini mengajarkan kebaikan dan kesantunan, termasuk dalam berdakwah. Maka, sangat fatal kesalahannya, bila seseorang menggunakan kebencian kepada orang lain, tapi dalam konteks tertentu selalu mengatasnamakan dakwah. Bukankah para pendakwah terdahulu (misalnya Wali Sanga), selalu mengedepankan kesantunan dan keteladanan, bukan hanya mencari pengikut banyak melalui medsos dan lain-lain. Tugas mulia pendakwah adalah mengajak agar semakin dekat kepada Allah SWT, bukan malah menjauh dariNya dengan menebarkan kebencian.

Akhirnya, “mulutmu harimau-mu”. Bepijak ungkapan  ini, maka jaga mulut agar tidak menerkam diri sendiri. Jaga jari-jarimu agar tidak menampar dirimu. Pasalnya, semua anggota tubuh yang dijadikan oleh Allah tidak untuk membenci kepada yang lain, tapi agar kita menebar kasih dan menolong kepada sesama. Semoga semua bisa belajar, tegas Anjab menambahkan. (li)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.