TOKOH SEBAGAI CERMIN KEHIDUPAN (1)

Wasid Mansyur


Tidak ada sesuatu yang tidak mengalami perubahan dalam kehidupan. Pasalnya, apapun yang masih dianggap dunia ia akan pasti mengalami perubahan seiring masih adanya faktor yang berlawanan atau karena ruang dan waktu yang sudah tidak bisa bersahabat, untuk tidak mengatakan sudah tidak “nyambung’ dengan kebutuhan terkini. Termasuk dalam hal ini, adalah naik turunnya keimanan, keteguhan dalam memegang prinsip, tantangan menyikapi prinsip ideologis di tengah perubahan dan perkembangan ideologi nasional hingga global yang sudah mulai bergerak berubah demi masa depan kemanusiaan.

Untuk itu, agar setiap pilihan berubah itu terus memiliki dampak positif, maka perlu memang setiap saat melakukan refleksi aksi dan aksi refleksi yang tiada henti, ya semacam logika berpikir tesa-anti tesa-sintesa dan seterusnya. Tidak terasa memang, terkadang situasi nyaman, kebutuhan terpenuhi atau merasa menang di semua medan laga, menjadi sebab seseorang atau organisasi larut dalam “hedonitas” berproses yang hanya mempertimbangkan kepentingan sempit untuk diri atau kelompoknya, kurang mempertimbangan kepentingan besar sebagai tujuan, sebut saja misalnya mengutamakan kepentingan kemanusiaan sejati dalam harmoni dan keteraturan sistem kehidupan dalam ruang sosial.

Dalam organisasipun demikian, termasuk dalam konteks ini adalah Gerakan Pemuda Ansor. Perubahan hidup yang sangat cepat menuntut lahirnya model baru berorganisasi agar Gerakan Pemuda Ansor yang lebih bersahabat dengan kondisi kekinian, walau tetap menjaga jati diri organisasi tidak tergadaikan. Karenanya, perjalanan spiritual yang dilaksanakan oleh PW GP Ansor Jatim tanggal 7-8 Maret 2024 jelang datangnya bulan Ramadhan ke beberapa makam l para pejuang di beberapa tempat di Jatim dan Jawa Tengah, serta sowan plus nimba ilmu ke beberapa tokoh menjadi penting untuk dimaknai dalam rangka “ngechas” spirit bergerak, sekaligus membangkitkan ingatan sejarah serta belajar strategi bagaimana tokoh-tokoh pejuang dulu mampu membumikan kemaslahatan bagi sesama.

..............

Pentingnya Cermin  

Betapun cermin itu penting, minimal agar kita semakin “elegan” dalam hidup, untuk tidak mengatakan “tambah ganteng”. Tidak kagetan, apalagi terus mudah reaksioner dalam memandang yang berbeda. Memang bahasa agama mengingatkan bahwa salah satu makna dari tradisi berziarah, termasuk tradisi ziarah menjelang Ramadhan, adalah pengingat kematian (tudzakkirah al-mauta), apalagi makam yang di ziarahi adalah makam para tokoh yang telah berjasa bagi bangsa ini. Maka hubungan tokoh dan mengingat kematian merupakan gerak pemantik yang aktif bukan pasif agar kiranya kita terus bercermin sehingga mendapat hikmah untuk meneladani apa yang dilakukan oleh beliau-beliau.

Kita harus sadar memang, tidak mungkin sama dengan para pejuang, apalagi realitas yang dihadapi berbeda dan tantangannyapun berbeda. Namun, spirit nilai dan teguh perjuangan dalam memegang prinsip layak kita teladani _sebaga sumber inspirasi_ dengan menempatkan mereka sebagai cermin kehidupan (mirror of life). Bukanlah salah satu manfaat bercermin adalah agar kita semakin rapi dan ganteng, berbeda dengan tanpa cermin atau cermin yang digunakan adalah cermin kotor. Teringat ungkapan, "life is like mirror. Smile at it, and it smiles back at you" (hidup seperti cermin. Tersenyumlah, dan ia akan tersenyum kembali). Begitu juga, teringat ungkapan Imam Syafi’i:

أُحِبُّ الصَّالِحِيْنَ وَلَسْتُ مِنْهُمْ # لَعَلِّى أَنْ أَنَالَ بِهِنْ شَفَاعَةً

Aku mencintai orang-orang shalih, meskipun aku bukan bagian dari mereka. Aku hanya berharap memperoleh syafaat dengan mencintai mereka”

Misalnya, ketika hari pertama sowan berziarah ke makam KH. Wahab Hasbullah, Makam Sultan Hadiwijoyo hingga Habib Anis ibn Alawi, maka menziarahi mereka tidak lain dalam rangka mengingat kematian sebab kita pasti mati, sekaligus menjadikan mereka sebagai cermin spirit dalam berjuang dan berdakwah. Do’a tahlil yang dibacakan adalah potret kecintaan kepada mereka agar kiranya keberkahan itu terus mengalir, setidaknya bisa memetik hikmah dan teladannya sebagaimana fungsi cermin.

Sebut saja, mengapa bercermin dengan, Pertama kepada sosok KH. Wahab Hasbullah, selanjutnya disebut Mbah Kiai Wahab. Pasalnya, Mbah Kiai Wahab adalah pejuang dan pahlawan nasional. Kontribusinya bagi bangsa ini sulit diragukan sebab sejak sebelum kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan gerak hidupnya totalitas untuk mengabdi bagi komunitasnya sendiri (baca: pesantren dan NU) maupun untuk bangsa. Tidak ada kata lelah, ia terus bergerak mewujudkan mimpi-mimpi keislaman ala Aswaja dan keindonesiaan. 

Ia merupakan salah satu inisiator, pendiri dan penggerak berdirinya NU dan GP Ansor sejak masa-masa sulit hingga dua organisasi ini berkembang pesat dan diperhitungkan perannya dalam skala nasional hingga global. Bahkan, Ia merupakan sosok kharismatik yang sangat diperhitungkan oleh lawan politiknya. Menariknya, di samping piawai dalam berorganisasi, Ia tak pernah lepas menggunakan gerak spiritual  ala komunitas pesantren dalam setiap momentum besar untuk menopang keberhasilannya, seperti rutin membaca burdah dengan cara-cara tertentu, apalagi ketika Mbah Kiai Wahab melakukan bargaining politik NU kepada Ir Soekarno pasca pemilu 1955, mengutip penjelasan KH. Roqib Wahab Hasbullah ketika memberikan Ijazah tatacara membaca Burdah sebagaimana diajarkan oleh sang ayah, KH. Wahab Hasbullah.

Cermin pada Mbah Kiai Wahab mengajarkan bahwa piawai dalam berorganisasi itu penting, tapi menopangnya dengan gerak-gerak spiritual akan mengantarkan sukses dan penuh keberkahan dalam berorganisasi. Bukankah, apa yang dilakukannya sampai hari ini masih terasa berkahnya baik bagi NU, GP Ansor hingga bangsa Indonesia. Semakin kita sering berziarah untuk bercermin, akan memantik dapat meneladani model berorganisasi ala Mbah Kiai Wahab Hasbullah, Sang Guru bangsa dari pesantren Tambakberas Jombang.

Kedua, sosok Sultan Hadiwijaya atau Joko Tingkir, putra Kiai Ageng Kebo Kenongo. Ia dikenal sebagai Raja Pajang Pertama, yang diperolehnya bukan karena warisan orang tua melainkan karena prestasi dan kemampuan dalam mengabdi kepada "negara". Sebagai pendekar yang tangguh, ia tidak pernah menggunakan cara-cara picik dalam berkuasa, apalagi membabi buta menghabisi lawan politiknya dengan hanya untuk mewujudkan kepentingan kekuasaan.

Etika "Menang tanpa Ngasorake" telah menjadi prinsip Joko Tingkir ketika berkuasa. Padahal kekuasaannya selama tahun 1558-1582 tidak sepi dari intrik-intrik politik yang membahayakan bagi keutuhan bangsa, termasuk mengancam kekuasaannya jatuh. Tapi, ia tetap menampakkan sebagai negarawan dalam berkuasa dengan cara mengajak mereka yang berbeda untuk bersatu memikirkan keutuhan bangsa daripada sekedar kepentingan jangka pendek. 

Maka, bercermin kepada Joko Tingkir bertujuan agar sejauhmana kita berbuat untuk persatuan bangsa sebagaimana yang dilakukannya. Tidak harus menjadi sepertinya, tapi komitmen menjaga persatuan dalam konteks keragaman bangsa adalah salah satu kunci keteladanan dan keberhasilannya sebagai sang pendekar Muslim Nusantara yang berkuasa dalam waktu lama, bahkan telah melahirkan banyak turunan yang muncer sebagai raja dan sebagian menjadi ulama sehingga sampai hari ini makamnya tidak pernah sepi di ziarahi, tepatnya di area makam Butuh, Gedongan, Plupuh, Dusun II, Gedongan, Kec. Plupuh, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah. 

Ketiga, Sosok Habib Anis ibn Alwi al-Habsyi Solo. Nama Habib Anis menjadi tujuan sebab sepanjang hidupnya, Habib Anis yang dikenal pecinta ilmu sangat dekat hubungannya dengan NU. Perannya tidak bisa dianggap enteng dalam melahirnya santri-santri pecinta NU, walau dirinya sendiri tidak pernah tercatat sebagai tokoh NU. Habib yang lahir pada tanggal 5 Mei 1928 di Garut Jawa Barat dan meninggal pada pada hari Senin, tanggal 6 November 2006 atau 14 Syawal 1427 H pukul 12.55 WIB, merupakan putra dari Habib Alwi bin Ali Al-Habsyi dan cucu dari Al-Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi (Muallif Simtuddurar) yang hijrah dari Hadramaut Yaman ke Indonesia untuk berdakwah. Sedangkan ibunya bernama Khadijah. Ketika berumur 9 tahun keluarga Habib Anis pindah ke Solo sampai akhirnya menetap di kampung Gurawan, Pasar Kliwon Solo.

Kharismanya luar biasa sampai hari ini tetap dirasakan oleh masyarakat luar sehingga makamnya ada dekat area Masjid Al-Riyadh tidak pernah sepi, apalagi setiap perayaan haul yang datang ribuan muhibbin membanjiri area dekat Masjid al-Riyadh. Bercermin kepada Habib Anis, mengajak kita betapa cinta ilmu itu sangat penting, baik larut sebagai pembelajar atau menjadi pengajar yang istiqamah. Cinta ilmu, sekali lagi akan menjadi jalan futuhnya pengetahuan dan laku seseorang mengantarkannya menjadi wali sehingga terus memberikan keberkahan, walau sudah meninggal. 

Akhirnya, jangan pernah melupakan cermin kehidupan agar kita tetap berusaha menjadi manusia terbaik. Memang tanpa bercermin kita tetap sebagai manusia, tapi setidaknya dengan bercermin kita terbiasa mengakui kekurangan diri sendiri dan ada waktu refleksi untuk melakukan perubahan diri menuju hidup yang lebih baik. 







Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.