GOLPUT DAN MARTABAT DEMOKRASI

  


Wasid Mansyur
Dosen FAHUM UIN Sunan Ampel Surabaya,
Wakil Ketua PW GP Ansor Jawa Timur

Dalam salah satu kesempatan penulis hadir dalam acara Informal Meeting Badan Eksekutif Mahasiswa Se-Jatim yang diadakan di Gedung Gelanggang Mahasiswa (GeMa) IAIN Sunan Ampel Surabaya (UINSA, sekarang) sekitar tahun 2003, ada salah satu aktivis menanyakan kepada Allahyarham KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) kaitannya dengan masa depan demokrasi di Indonesia. Pertanyaannya kurang lebih sebagai berikut: “buat apa sistem demokrasi masih kita dipertahankan Gus, sementara faktanya atas nama demokrasi kekuasaan bisa juga dijatuhkan?

Pertanyaan ini adalah bentuk keresahan para aktivis kaitannya dengan kondisi terkini tentang demokrasi di negeri ini, pasca lengsernya Gus Dur pada 23 Juli 2001. Pasalnya, naiknya Gus Dur dilakukan secara demokratis, ternyata juga harus dijatuhkan dengan cara atas "Nama Demokrasi", walau sampai wafat apa yang dituduhkan kepada beliau tidak dapat dibuktikan. Gus Dur yang dikenal sebagai sosok demokratis, akhirnya juga menjadi korban dari segerombolan "Pembegal Demokrasi". Kita semua, khususnya mantan aktivis, tahu betul dan tidak akan pernah melupakan, siapakah gerangan para gerombolan "Pembegal Demokrasi" yang turut melengserkan sang Guru Bangsa, Gus Dur.

Namun, tidak sangkal, walau menjadi korban pelengseran, Gus Dur tetap mengatakan bahwa Sistem Demokrasi  adalah sistem politik paling ideal di negeri ini sehingga dalam kondisi apapun sistem ini harus dipertahankan. Jangan pernah bergeser kepada sistem politik yang lain sebab demokrasi telah memberikan ruang berproses bagi semua elemen anak bangsa tanpa pandang asal usulnya, dan melalui politik demokratis semua berada dalam posisi yang sama di depan hukum. Walau secara individu Gus Dur sangat kecewa, Gus Dur mengajarkan kepada kita bahwa apapun kondisinya ketidaksempurnaan demokrasi jangan dijadikan alasan untuk mengatakan bahwa demokrasi sudah tidak pas sebagai pilihan sistem berpolitik. Salah satu alasannya mengutip kaedah "Ma la yudraku kulluhu, La yutraku kulluhu", sesuatu yang tidak ditemukan semua, jangan ditinggalkan semuanya. 

Oleh karenanya, bersamaan dengan momentum Pemilu 2024 yang mencoblos secara serentak pada Rabu tanggal 14 Februari 2024, apa yang disampaikan Gus Dur layak menjadi renungan bersama agar kiranya kita menempatkan pesta demokrasi ini menjadi medium penting bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Bukan saja pada soal keberlangsungan  prosesnya. Tapi, pesta demokrasi melalui pemilu ini harus menjadi medium untuk menghadirkan bagaimana memanusiakan manusia dengan sebenar-benarnya sebagaimana selalu disampaikan oleh Gus Dur dalam berbagai forum, ketika masih hidup. lahul fatihah.

.............

Berkaitan dengan pemilu 2024, pertama, jangan pernah menjadi Golongan Putih (Golput). Memang golput adalah hak setiap orang sebab sebagai konsekwensi dari negara demokrasi, kebebasan setiap orang harus dijunjung tinggi baik tidak memilih alias golput atau memilih. Karenanya, tidak elok, untuk tidak mengatakan tidak boleh, orang memaksa apalagi mengintimidasi orang lain untuk memilih calon tertentu dalam setiap pesta demokrasi. Hargai hak individu untuk memilih dan berilah kebebasan agar kiranya kualitas demokrasi semakin bermartabat.

Golput memang hak setiap individu, tapi ia bukan solusi untuk mengatasi problem kebangsaan. Pasalnya, pemilu adalah wasilah untuk memilih calon pemimpin bangsa masa depan. Sementara memilih (tidak golput) adalah langkah kongkrit mensukseskan Pemilu. Jika mengutip ungkapan dalam Qawaidul Fiqhiyah, "al-wasail hukmul maqasid" (wasilah berkedudukan sama hukumnya dengan tujuan), maka dapat disimpulkan bahwa golput adalah pilihan terburuk dalam setiap pesta demokrasi sebab golput tidak memiliki ketegasan sikap, apalagi bila karena golput, akhirnya terpilih calon pemimpin yang tidak ada komitmen membumikan kemaslahatan bagi agama dan bangsa.

Kedua, menjaga kualitas demokrasi. Pemilu adalah elemen penting dari nilai-nilai demokrasi sehingga manfaatkan dengan tidak golput demi masa depan bangsa. Lebih dari itu, kualitas demokrasi harus dijaga dengan menjaga kualitas pemilu berjalan dengan baik; baik dibuktikan dengan jumlah pemilih yang banyak di satu sisi dan pemilu berjalan dengan tidak adanya intimidasi, manipulasi suara dan penyakit sosial lainnya yang ada dalam setiap pemilu.

Karenanya, netralitas penyelenggara pemilu menjadi penting, bahkan menjadi keharusan, khususnya KPU, Bawaslu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Jika, netralitas tidak betul-betul dilakukan, dapat dipastikan kualitas pemilu menjadi masalah, termasuk demokrasi kurang -atau bahkan tidak- bermatabat. Mengingat, dana triyunan yang digunakan untuk kelancaran pemilu adalah dana negara untuk kepenting bangsa, bukan untuk kepentingan yang menguntungka perorangan atau kelompok.

Akhirnya, mari pesta demokrasi pada pemilu 2024 ini, kita sikapi dengan riang gembira dengan memilih sesuai dengan hati nurani dan keyakinan bahwa yang kita pilih baik DPR, DPD hingga Capres-Cawapres benar-benar mengantarkan bangsa ini lebih baik, khususnya bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Pastinya, butuh perenungan, memilah dan berdoa sesuai keyakinan agar kiranya yang kita pilih benar dan tepat sebab kualitas memilih memiliki hubungan dengan kualitas martabat demokrasi. Mengingat perkataan Alexis de Tocqueville: The health of a democratic society may be measured by the quality of functions performed by private citizens, Kesehatan masyarakat demokratis dapat diukur dari kualitas fungsi yang dilakukan oleh warga negara. “Selamat Mencoblos. Semoga Damai Selalu”. 

.....

Gambar dikutip dari:
https://inanegeriku.com/kata-kata-bijak-menginspirasi-damai-dalam-pemilihan-umum/


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.