MAULID NABI DAN MASA DEPAN KITA



Wasid Mansyur

(Dosen FAHUM UIN Sunan Ampel Surabaya,
dan Aktivis PW GP Ansor Jawa Timur)

 

Semalam, tepat tanggal 12 Rabiul Awal versi kalender Hijriyah atau Qomariyah, hampir semua masjid dan musholla merayakan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. Ritual keagamaan tahunan ini tidak ada intruksi dari siapapuan, tapi umat Islam di Indonesia tergerak secara mandiri-mandiri atas kesadaran menghormati kehadiran sosok penuh teladan sepanjang masa, yaitu Sang Nabi, selanjutnya disebut.

Banyak cara yang dilakukan, walau inti dari peringatan ini lebih banyak melantunkan sholawat, sekaligus membaca sejarah Sang Nabi dari beragam versi. Ekspresi ini tidak lepas dari kecintaan kepada Sang Nabi sehingga dalam peringatannya juga mengeluarkan materi yang tidak sedikit. Biarpun ada yang “mendebat” keabsahannya, yakinlah yang merayakan ada dalam kegembiraan bersama-sama sambil membaca sholawat, sekaligus makan bersama dan mendapat “berkat” ketika pulang. Pastinya, momentum ini sekaligus menjadi sarana merajut silaturrahim antar tetangga, yang secara sosial dapat memantik harmoni tanpa terasa atau tanpa dipaksakan.  

Cukup sudah menjadi dalil yang dinukil dari kitab sirah Sang Nabi atau kitab yang membahas kaitan kelahiran Sang Nabi, bagaimana Abu Lahab saja –yang masih paman Sang Nabi-- merespon kabar kelahiran Sang Nabi dengan penuh kegembiran sehingga ekpresinya diluapkan dengan memerdekakan budaknya yang bernama Tsuwaibah. menjadi sebab ia dibebaskan oleh Allah SWT dari siksanya setiap hari Senin, hari kelahiran Sang Nabi. Karenanya, sikap gembira dengan merayakan Maulid Nabi tidak lepas dari harapan itu, yakni semoga keberkahannya senantiasa mengalir sehingga kita selalu Bahagia di dunia, lebih-lebih di akhirat kelak berharap syafaatnya.

Namun, kita yang merayakan tidaklah seperti Abu Lahab, yang tetap menjadi kafir bahkan kebencian berlebihan terhadap dakwah yang dilakukan keponakannya sendiri, yakni Sang Nabi, mengantarkan kisahnya diabadikan dalam surat al-Lahab. Ia –yang bernama asli Abdul ‘Uzza ibn Abdul Mutthalib— berkolaborasi bersama istrinya selalu mengganggu Sang Nabi, bahkan selalu menterornya untuk dibunuh, walau berkali-kali gagal.

Berpijak dari sini, maka tidak cukup ekspresi cinta dan gembira hanya dilakukan secara fisik, tanpa ada gerak batin sehingga menjadi aksi nyata untuk melakukan apa yang diteladankan oleh yang “dicintai: (al-Mahbub). Apa artinya cinta, bila kemudian tidak ada keselarasan dalam batin sehingga ada kekerasan terstruktur dikemudian hari. Maka cinta sejati adalah adanya upaya menyamakan frekwensi antara fisik dan batin untuk selalu terkoneksi dengan yang “dicintai” (al-Mahbub) dalam merawat sinergi kebahagiaan.


Hadirkan Sang Nabi

Salah satu makna dari peringatan Maulid Nabi adalah upaya menghadirkan Sang Nabi dalam realitas kekinian. Kesadaran ini yang akan mengantarkan masa depan kehidupan kita selalu ada koneksi, setidaknya melalui upaya membumikan nilai-nilai profetik yang diwariskan sepanjang masa hidup Beliau. Kaitan dengan ini, penulis teringat penjelasan Imam Ibn Athaillah al-Sakandari dalam kitabnya, Ta’jul al-Arus al-Hawi li Tahdizb al-Nufus, walau dengan redaksi  berbentuk doa, yang artinya “Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu untuk senantiasa mengikuti jejak Rasul-Mu Saw, baik  ucapan maupun perbuatan(Allah humma inni as’aluka al-Mutaba’ah li rasulika fi al-aqwal wa al-Af’al).

Kalimat ini sejujurnya, berkaitan dengan pembagian Ibn Athaillah bahwa mengikuti Sang Nabi harus termanifestasikan dalam gerak nyata/indrawi (al-Jaliyyah) dan gerak tidak nyata/non indrawi (al-Khafiyyah). Pembagian ini dalam perspektif Ghazalian sering disebut gerak dhahir dan gerak batin. Keduanya penting sehingga harus tergerak bersama-sama dalam setiap aktivitas kehidupan kita agar kualitas hidup ini semakin bermakna. Bukan hanya bermakna secara individul, tapi juga bermakna secara sosial.

Satu misal, jika membaca sholawat itu setiap perayaan Maulid Nabi adalah gerak “Jaliyyah”—meminjam istilah ibn Athaillah, dan memang dianjurkan dengan beragam faedah yang diperoleh sebagai ekspresi cinta dan mengikuti perintah Sang Nabi. Maka, gerak “Khafiyyah” adalah ada upaya perenungan dan refleksi diri sejauh mana kita mengikuti jejak keteladan Sang Nabi di masa-masa yang akan datang. Keberadaan gerak “Jaliyyah” penting secara individu sebagai efek rindu, tapi sepanjang belum ada gerak “Khafiyyah” yang membumi, maka manfaat sosialnya belum dirasakan.

Ibn Athaillah mengingatkan bahwa salah satu upaya membumikan teladan Sang Nabi sebagai respon cinta dan gembira mengikuti jejaknya adalah “menghindari untuk berlaku dhalim kepada orang lain, baik kaitan dengan kehormatan maupun nasab. Jalan ini yang akan mengantarkan seseorang lepas dengan mudah menuju ma’rifatNya”. Karenanya, kita bisa bangga dengan capaian kesalehan dengan menjalankan apa yang diperintahkan, tapi sepanjang kesalehan itu masih diiringi menyakiti yang lain sama halnya “kita sedang menyimpan uang, tapi di tempat yang berlobang”.

Akhirnya, mari kita tatap masa depan kita melalui peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW 1444 H dengan cara berusaha agar gerak pikir dan prilaku kita selalu dalam keseimbangan, antara gerak fisik yang hanya mengarah pada kepuasan individu, menuju gerak reflektif yang berujung secara aksi dalam pembumian nilai-nilai kemanusiaan sebagaimana diajarkan Sang Nabi, tanpa dhalim kepada siapapun. Semoga kita selalu sehat dan bahagia mengikuti jejak Sang Nabi, kapan pun dan di mana pun. Amin… 

--------

*photo dikutip dari WAG Alumni Adab 99, Acara Maulid Nabi Muhammad Saw di salah satu desa di Sumenep dan di Masjid Sunan Ampel Wisma Tropodo Waru Sidoarjo

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.