GUS MUWAFIQ DAN TIPOLOGI PARA PENGKRITIK


oleh: Wasid Mansyur
(Pengurus Wilayah GP. Ansor Jawa Timur) 


Hampir setiap hari, dunia medsos diramaikan oleh pernyataan Gus Muwafiq dalam salah satu ceramahnya, ketika menjelaskan sisi kemanusiaan (al-wajhah al-Basyariyyah) di depan audiennya dari sosok Nabi Agung, Muhammad Saw. dalam peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw 1441 H di Purwodadi Jawa Tengah.

Pernyataan “rembes” salah satunya yang dianggap menjadi pemantik protes banyak kalangan, sekalipun akhirnya dengan legowo dan perasaan bersalah Gus Muwafiq meminta maaf kepada semua umat Islam dengan point-point penegasan yang menarik dan mendalam bahwa:

“Saya Ahmad Muwafiq dengan senang hati saya banyak diingatkan oleh kaum muslimin dan warga bangsa Indonesia yang begitu cinta sama Rasulullah. Saya sangat mencintai Rasulullah, siapa kaum muslimin yang tidak ingin Rasulullah?"…dan demi Allah saya tidak ada sedikitpun menghina Rosulullah. Saya sejak kecil dididik menghargai Rosulullah.

Sisi lain dari kejadian ini harus menjadi kesadaran bersama banyak pihak yang kemudian terdorong untuk membuka kembali kitab-kitab sirah nabawi kaitan dengan kelahiran dan masa kecil Nabi Muhammad, termasuk soal pemahaman akidah tentang sifat jaiz (sifat yang mungkin terjadi) yang mesti ada dalam diri para Nabi, termasuk Nabi Muhamammad, yakni sejauh mana kreteria sifat jaiz dari sisi kemanusiaan yang ada pada Nabi Muhammad?, apalagi  jika dijelaskan dalam konteks generasi milenial.

Karenanya, sangat mungkin apa yang dialami Gus Muwafiq hanya soal “kseleo lidah” (sabqul kalam) dengan pilihan diksi yang kurang pas dinisbatkan pada kanjeng Nabi, sekalipun sejatinya penulis yakin Gus Muwafiq ingin menjelaskan kanjeng Nabi dalam konteks kemanusiaan sebagaimana manusia pada umumnya, lebih-lebih berkaitan waktu kelahiran dan masa kecil Beliau.

Tulisan ini tidak mau menyikapi pro dan kontra sebab banyak share-share medsos juga menjelaskan berikut rujukannya. Coretan sederhana ini hanya ingin mengatakan bahwa mereka (baik kiai, habib atau ustad-ustad milenial) yang mengkritik terpolarisasi dalam menyikapi bukan hanya melihat Gus Muwafiq sebagai individu, tapi juga sebagai aktivis Muslim di lingkungan Nahdlatul Ulama. Polarisasi itu setidaknya ada tiga:

Pertama, pengkritik yang menggunakan medsos dengan tetap santun dan terbuka. Pengkritik ini menyesalkan atas pernyataan Gus Muwafiq, tapi kritik yang dilontarkan tidak berapi-api penuh amarah, apalagi emosional. Mereka yang ada dalam bagian ini mengedepankan diskusi, jauh dari kebencian sehingga kritik yang dibangun adalah saling memberikan pengetahuan soal sejarah Nabi Muhammad dan mendiskusikan hal polemik pernyataan Gus Muwafiq dengan santun, sekaligus ilmiah berbasis etik.

Kelompok ini, lagi-lagi bisa “ngempet’ sebab tidak terseret dalam ruang medsos untuk menggugat atau memaksa Gus Muwafiq mengaku bersalah. Artinya, individu atau kelompok yang masuk kategori ini lebih bisa menahan diri, tidak mau menggunakan kondisi dalam rangka mengangkat popularitas dan lain sebagainya.  

Kedua, pengkritik dengan nada kecewa berat, sekaligus menyerang dengan hal-hal yang sangat individu, misalnya soal rambut gondrong dan lain-lain, yang tidak ada kaitannya dengan masalah. Pengkritik ini mengambil momentum untuk mengkritik keras, apalagi secara sosial politik pengkritik berbeda ideologi atau pilihan dengan cara dakwah yang dilakukan Gus Muwafiq, yang termasuk aktivisnya sebagai kader NU, termasuk pilihan politik perpolitikan bangsa. 

Karenanya, pengkritik model ini banyak ditemukan mengaku NU, tapi cara berbicara dan prilakunya jauh dari metode berpikir (manhaj al-fikr) dan metode bergerak (manhaj al-harakah) dari organisasi NU. NU adalah organisasi Jama’ah plus jam’iyyah. Mungkin dalam konteks jama’ah secara ideologi sama-sama penganut Ahl al-Sunnah wa al-Jam’aah, tapi jangan mengaku NU jika secara jam’iyyah menolak atau tidak senang dengan keputusan NU sebab NU lahir dari semangat jama’ah menuju semangat jam’iyyah. Maka aneh juga, menerima NU secara jamaah, tapi tidak suka secara jam’iyyah, hanya karena beda pikiran.

Ketiga, kritik dengan nada kasar, sambil bentang spanduk hujatan dengan demo di jalan-jalan, semacam aktivis jalanan. Peristiwa seperti ini tidak saja dilakukan kepada Gus Muwafiq, tapi juga kepada pihak-pihak lain yang beda pendapat dalam memahami Islam dan kaitannya dengan visi kebangsaan. Aktivis jalanan ini seringkali menggunakan simbol agama untuk melakukan aksinya sebagaimana ketika mengkritik Gus Muwafiq, yang ujung-ujungkan bergerak mempidanakan ke polisi.

Pengkritik model ini sekali lagi selalu menggunakan bahasa hukum sebagai jalan akhir, sambil berteriak takbir dan sejenisnya. Siapakah kelompok ini, setidaknya jika disebutkan dengan tegas mereka yang tidak suka dengan visi dakwah Gus Muwafiq, sekaligus organisasi di mana Gus Muwafiq berproses (baca: NU). Mendemo dan mempolisikan Gus Muwafiq sejatinya adalah target antara untuk menjatuhkan hal-hal yang berkaitan dengannya, bisa NU atau bisa jadi NKRI biar terus ribut.

Ini model para pengkritik, dan sangat mungkin bisa sama dalam konteks yang sama seperti yang dialami Gus Muwafiq sebagai muballigh dan aktivis NU. Selebihnya dimana posisi kita?, yang mungkin masuk sebagai pengkritik. Atau kita sama sekali tidak masuk tiga kategori di atas, ketika memilih diam dengan alasan agar tidak ikut meramaikan suasana. Bukannya dalam konteks tertentu diam adalah emas. “Ngunu ae kok repot”, meminjam istilah Gus Dur (lahul fatihah).


Cinta dan Pemaaf
Itulah kilasan gambaran tentang tiga tipologi para pengkritik Gus Muwafiq. Pastinya, kita sadar berada di era medsos, yang tentunya banyak orang yang mengambil keuntungan di tengah percikan api perbedaan orang lain. Percikan api, tidak segera diambilkan air. Tapi malah menyediakan bersin agar api keramaian menjadi besar di alam maya, yang kemudian berpengaruh pada mental dan prilaku kita di alam nyata.

Kita layak menjadi pemaaf, bukan pendendam. Pemaaf adalah sifat Nabi Muhammad, termasuk kepada lawannya. Mungkinkan kita mencintai Nabi Muhammad, tapi prilaku kita selalu menjadi pemarah dari pada pemaaf. Layaklah kita belajar  dari cerita Zaid ibn Sa’nah, seorang pendeta Yahudi, ahli Taurat yang akhirnya masuk Islam karena kelembutan sikap pemaaf dari Nabi Agung, Muhammad Saw.

“Konon suatu ketika, Zaid ibn Sa’nah memperlakukan Nabi Muhammad dengan ucapan dan sikap yang tidak pantas di depan para sabahat, yang sebenarnya berkaitan dengan hutang piutang yang jatuh tempo. Serentak, sahabat Umar ibn Khattab yang dikenal pemberani dan keras menghadang dan meminta ijin kepada Nabi Muhammad untuk memenggal Zaid ibn Sa’nah atas perlakuan tersebut. Serentak, Nabi mengatakan jangan dilakukan wahai Umar. Lantas Nabi Muhammad memerintahkan kepada Umar untuk mengambil 40 sha’ kurma untuk membayar utang kepada Zain ibn Sa’nah 20 sho’ kurma, dan 20 sho’ yang lain sebagai ganti rugi atas rasa takut yang dibuat olehmu, wahai umar.”

Dalam kasus yang berbeda Nabi Muhammad pernah mengingatkan kepada Siti Aisyah, ketika berkata kepada orang Yahudi,  dengan pernyataan yang sangat tegas agar senantiasa bersikap lembut kepada siapapun, sebagaimana disebutkan:

مَهْلاً يَا عَائِشَةُ، إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الأَمْرِ كُلِّهِ -وفي رواية : وَإيَّاكِ وَالْعُنْفَ وَالْفُحْشَ
“Sesungguhnya Allah senang agar bersikap lemah lembut dalam semua urusan. dalam riwayat lain : jauhkan kekerasan dan kejelekan (baik prilaku maupun ucapan)”.

Dua cerita di atas layak menjadi pelajaran bagi kita semua, yang mencintai Nabi Muhammad. Cinta bukan soal pernyataan mulut, tapi perlu penegasan ucapan dan prilaku agar meneladani kepada yang dicinta, yakni Nabi Agung Muhammad Saw. Yang salah satunya, menjadi pemaaf, dan jauhi sikap kasar dan pemarah. Sungguh sangat mungkin Nabi Muhammad akan tidak suka, melihat umatnya mencintai beliau, tapi mengumbar amarah dan emosi dimana-mana, termasuk dijalan nyata dan media sosial.

Saatnya membumikan sikap pemaaf dari kanjeng Nabi Muhammad. Jika tidak, maka benarkah kita betul-betul mencintai Beliau, ketika melihat yang berbeda selalu diselesaikan dengan kasar, pidanakan, atau dengan kata-kata yang tidak mencerminkan sebagai Muslim. Semoga kebencian berlebihan dijauhkan dari kita semua, sehingga bisa melihat yang lain dengan lembut dan santun, bukan marah apalagi jika dikaitkan dengan kepentingan duniawi. Semoga. Amin.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.