RESOLUSI JIHAD


Oleh: Wasid Mansyur

“Mengapa semua datang kepada saya?, Kok tidak datang kepada Kyai yang lain, tegas Kyai Subeki”
……………….

Membincangkan Resolusi Jihad akan menggiring kita pada tahap fakta sejarah yang tidak boleh dilupakan oleh setiap anak bangsa, terlebih kalangan santri kaitannya dengan kewajiban jihad fi sabilillah bagi setiap individu Muslim, jihad dalam rangka melawan untuk mempertahankan Negara kesatuan Republik Indonesi dari upaya hegemoni kembali sekutu dan NICA (Nederlandsch Indië Civiele Administratie).

Dari akar katanya, Kata“resolusi” adalah semacam tuntutan/keputusan yang ditetapkan dalam sebuah rapat. Sementara, “jihad” bisa diartikan sebagai perang. Artinya, Resolusi Jihad dimaksudkan sebagai tuntutan dan keputusan hasil rapat bahwa perang adalah wajib, khususnya bagi kalangan Muslim. Hal ini, tidak lepas dari puncak dari sikap Kyai dan santri merespon prilaku dhalim para penjajah, yang telah lama menyakiti dan merampas hak-hak kemanusiaan sebagai anak bangsa yang semestinya berhak mengatur diri sendiri.

Resolusi Jihad NU menjadi jalan menyatukan kesamaan sikap dan aksi yang dimulai dari rapat yang digelar oleh NU dengan dihadiri oleh pengurus NU dari berbagai konsul-konsul se-Jawa dan Madura di kantor Hoofdbestuur Nahdatoel Oelama (HBNO) jalan Bubutan VI No. 2 Surabaya pada tanggal 21-22 Oktober 1945. Karenanya, harus diakui bahwa Resolusi Jihad mampu membunuh perasaan takut para santri untuk bertempur melawan para penjajah, sekalipun harus mengorbankan harta dan nyawa.

Surabaya, ketika itu, menjadi tempat dan pusat pertempuran sehingga tidak sedikit para Santri dan Kyai dalam komando laskar-laskar atau perorangan ikut berbondong-bondong larut dalam pertempuran, bukan hanya warga Surabaya dan sekitarnya. Tapi, juga datang dari propinsi lain. Selebihnya, resolusi ini membangkitkan kembali perlawanan di berbagai daerah, misalnya Ambarawa dan Semarang.

Memang persenjataan para Kyai dan santri tidak se-modern penjajah. Hanya tekad dan keberanian para Kyai-Santri serta didukung adanya Kyai-Kyai sakti yang menjadi pemompa semangat, sekaligus memberikan asmak-asmak tahan tembak menjadikan Kyai-Santri larut, tanpa rasa takut sedikitpun. Keberanian dan tekad jihad melawan penjajah akhirnya cukup membutuhkan waktu 8 hari pasca Resolusi Jihad, pimpinan penjajah Brigadir Jenderal Aulbestin Walter Sothern Mallaby harus menjadi tumbal arek-arek Suroboyo.

Terbunuhnya Mallaby, membuat Inggris marah, tapi arek-arek Suroboyo tidak kendor sedikitpun dari ancaman balik hingga perang terus terjadi tampa henti, bahkan menurut Agus Sunyoto; arek-arek Suroboyo makin ganas dan brutal, meskipun dengan pilih strategi mundur-maju dan tetap bertempur melawan. Dan tercatat tanggal 10 November 1945 menjadi pertempuran yang sangat hebat dan mengerikan hingga kelak pertempuran ini diabadikan menjadi “Hari Pahlawan”.

Menariknya, Kyai-Kyai yang terkenal memiliki asmak-asmak kekebalan dan doa-doanya yang dikenal mujarab juga menjadi sasaran para santri untuk dimintai barokahnya agar setiap perang yang dilakukan benar-benar diberi pertolongan oleh Allah, selamat dan mendapat kemenangan yang gemilang. Salah satunya adalah komentar Kiai Subeki di awal tulisan ini, yang diurai oleh Kyai Syaifuddin Zuhri dalam buku “Guruku orang-orang Pesantren”, ketika ikut mengantarkan para pendekar NU dan laskar Hisbullah, yaitu KH. Wahid Hasyim, KH. Masykur, dan KH. Zainul Arifin. Bagaimana Kyai Subeki sangat kelelahan melayani permintaan doa hingga akhirnya –dengan mempertimbangkan kesehatan beliau—adik Kyai Subeki (Kyai Nawawi dan Kyai Mandur) dan cucunya Kyai Ali turun gunung mengganti posisi beliau. Sesekali Kyai Subeki keluar jika dibutuhkan.

Hal serupa juga terjadi di beberapa daerah di Jawa Timur dan sekitarnya, di mana para santri yang siap berperang dan mati sebagai bentuk kepatuhan mengawal Resolusi Jihad NU dalam rangka membuktikan cinta bangsa (hubbul wathan) mendatangi para kiai-kiai untuk meminta keberkahan do’a dan sangu asmak-asmak kekebalan. Tekad santri sudah bulat, “Pertahankan NKRI, sekalipun harus mempertaruhkan kematian”, Merdeka atau mati, dan 'isy kariman aw mut syahidan (hidup mulia atau mati sahid).

Akhirnya, mari jadikan momentum Hari Santri 2019 sebagai pengingat kita semua, khususnya santri; ingat tentang Resolusi Jihad, ingat perjuangan para Kyai-santri, dan ingat NKRI.  Atas jasa beliau-beliau kita bersyukur hingga dapat menikmati situasi damai atas capaian kemerdekaan dari penjajah. Dan jangan kotori hasil perjuangan beliau dengan gerakan-gerakan –atas nama apapun-- yang mengancam keutuhan NKRI. Dengan situasi damai, kita bisa beraktivitas dan ibadah dengan damai tanpa ada perasaan was was ada teror. Kepada beliau-beliau, alfatihah.

1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.