Spirit Moderasi Syekh Nawawi al-Bantani

Wasid Mansyur
Pegiat Nahdlatut Turost dan Aktivis PW LTN NU Jawa Timur

 

Kali ini, penulis ini akan mengungkap sosok Syekh Nawawi al-Bantani; maha guru ulama Nusantara yang sangat berjasa besar dalam membangun ikatan emosional dan ideologis dalam bingkai jejaring ulama, sekaligus ikut terlibat serius menanamkan prinsip-prinsip moderasi beragama sebagaimana ditemukan dalam beragam karyanya.

Untuk tujuan ini, penulis sengaja memilih karya KH. Zulfa Musthofa dengan judul Tuffah al-Qoshi wa al-Dani fi Tarjamati Al-Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani (karya jauh dan dekat, Tentang Biografi Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani). Perjumpaan penulis dengan Kiai Zulfa di arena Muktamar NU 34 di Lampung, walau sebagai Romli (Rombongan Liar), tepatnya di forum “Nahdlatus Turos” ---bertempat di arena Muktamar NU kampus UIN Raden Intan, mendorong harus memiliki buku ini hingga akhirnya didapat diarena bazar Muktamar NU. 

Buku yang ditulis dengan bahasa Arab tentang Syekh Nawawi melengkapi tulisan-tulisan sebelumnya tentang beliau. Walau ada tulisan berbahasa Arab, hanya sebatas komentar dengan penjelasan yang sangat pendek. Buku yang ditulis sebelumnya, misalnya karya Chaidar (Sejarah Pujangga Islam Syekh Nawawi al-Banteni, 1978), Samsul Munir Amin (Sayyid Ulama Hijaz: Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani, 2009) dan Amirul Ulum (Penghulu Ulama di Negeri Hijaz; Biografi Syaikh Nawawi al-Bantani, 2015).

………………..

Setelah membaca dari halaman per-halaman, tulisan Kiai Zulfa dirasa memiliki pembeda, sekaligus ciri khas yang menarik. Pertama, kaitan dengan luaran karya ini. Luaran yang dimaksud bahwa karya Kiai Zulfa ditulis dengan aksara Arab fushha sehingga layak dibaca serius oleh kalangan santri atau mereka yang memiliki kemampuan menguasai bahasa Arab.

Artinya, inilah cara baru menuliskan Syekh Nawawi dengan bahasa Arab, walau sebenarnya cara ini menjadi problem bagi pembaca yang kurang memahami  bahasa Arab. Tapi, menurut penulis, cara ini layak ditempuh sebagaimana biasa dilakukan oleh para santri-santri (Baca: Ulama Nusantara) tempo dulu sebagai potret dari penulisnya yang menguasai bahasa Arab dan materi yang diulas. Apalagi, kiai Zulfa adalah sosok “santri tulen” yang lulus dari pesantren murni dengan kemampuan bahasa Arab di atas rata-rata. Kerenkan lulusan pesantren?.

Kedua, buku ini sangat mengambarkan penulisnya tegas dalam mepotret Syekh Nawawi dalam perspektif ideologis. Jika buku-buku sebelumnya, hanya mengulas tentang beliau secara biografis dan bagaimana jejaring alumninya, Kiai Zulfa berbeda dan berani mengatakan bahwa kontribusi besar Syekh Nawawi adalah pelopor lahirnya para santri yang berdakwah dan berjuang bagi bangsa dalam semangat moderasi Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.

Pernyataan ini bisa dilihat dari sisi alumninya di satu sisi dan kitab-kitabnya disisi yang berbeda. Syekh Nawawi boleh meninggalkan kita, tapi nilai-nilai moderasi berbasis Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah telah terinternalisasi dalam rasa, pikiran dan tindakan kiai-santri di Nusantara melalui jejaring alumninya. Dari jejaring ini, penulis merasakan bagaimana aura intelektual-ideologis dari sosok Syekh Nawawi sampai hari ini cukup dirasakan; setidaknya dengan banyaknya karya-karya beliau yang masih menjadi rujukan para santri dalam mengkaji Islam; mulai akidah, fikih hingga akhlak-tasawuf.

Bisa disebutkan, karya Syekh Nawawi yang sempat penulis ikut mengaji di pesantren dulu adalah Tafsir Marah Labib, Nihayah al-Zain, Bahjatul Wasail, dan lain-lain selalu menjadi kajian rutin. Bahkan, sanad keilmuan pesantren tidak lepas dari jejaring Santri Syekh Nawawi, misalnya penulis ngaji ke KHR. Abdul Mujid Abbas Buduran Sidoarjo dari KH Zubair ibn Dahlan (Ayah KH. Maimoen Zubair) Sarang dari  KH. Faqih Maskumambang dari Syaikhona Kholil dari Syekh Nawawi al-Bantani.

Percikan nilai-nilai moderasi Syekh Nawawi sangat jelas, dengan tetap mempertahankan nilai-nilai ketuhanan di satu sisi dan nilai-nilai kemanusiaan di sisi yang berbeda. Satu misal, Kiai Zulfa mencontohkan bagaimana sikap kita menjawab femonena penutupan Masjid di tengah pandemi Covid 19 yang sulit dibendung.

Simpang siur soal ini penutupan masjid sempat ramai di masyarakat, bahkan terkadang direspon dengan akal tidak sehat yang selalu mengait-ngaitkan dengan penguasa tertentu. Padahal, jauh sebelum datangnya pandemi Covid 19, Syekh Nawawi telah berkomentar kaitan dengan keharusan penutupan masjid, jika ada wabah dan sejenisnya. Kiai Zulfa, mengutip penjelasan Syekh Nawawi dalam Kitab Marah Labib, ketika menafsirkan ayat 102 Surat al-Nisa’ (wa liya’khudu Hizdrahum wa aslihtahum) sebagai berikut:

“Bahwa ayat ini menjadi dalil kaitan menghindar dari dharar yang sudah menjadi sangkaan kuat. Karenanya, mendahulukan kesembuhan dari wabah atau menghindar dari tembok yang condong (roboh) adalah wajib” (lihat: 200).

Dari sini, sangat jelas bahwa menutup masjid adalah keharusan, jika potensi Covid 19 sangat jelas akan terjadi, bila sholat berjama’ah dilakukan di masjid. Pikiran ini menarik dan ditulus, tidak ada kaitannya dengan kepentingan politik tertentu. Tapi, berdasar pada prinsip moderasi Islam, bahwa kesunnahan sholat Jama’ah di Masjid atau kewajiban sholat Jum’at, jangan kemudian menjadi jalan kita berlaku ekstrem dengan mengatakan bahwa penutupan masjid adalah bentuk kemunafikan, dan lain-lain, apalagi penularan corona sangat memungkinkan terjadi pada masa awal-awal terjadinya pandemi Covid 19.

Jadi, inilah menariknya buku tulisan Kiai Zulfa. Dari buku ini, kita bisa paham bagaimana posisi Syekh Nawawi sangat besar jasanya dalam melahirkan para alumni yang kuat secara ideologis, bagi upaya membumikan moderasi Islam ala Aswaja al-Nahdliyah dan semangat membela NKRI sebagaimana dicontohkan oleh para murid-murid. Bacalah buku ini, anda akan tahu bahwa ulama Nusantara adalah salah satu referensi otentik dalam memahami Islam sehingga layak kita baca karya-karyanya serta kita teruskan teladannya dalam mencintai bangsa ini. Selamat membaca.*

 

 

 

 

                                        

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.