PUASA, AKTIVASI ENERGI KEBAHAGIAAN
Dr. Chabib Musthofa, M.Si
Wakil Dekan III FISIP UIN Sunan Ampel Surabaya
“Ketika
manusia sebagai makhluk jasmani-rohani berupaya memaknai, memahami, menjalani,
dan menjaga ibadah puasanya secara lahir-batin hanya kepada Allah swt semata,
maka itu semua merupakan aktivasi dari saklar energi kebahagiaan
material-spiritual manusia menuju kebahagiaan yang hakiki yaitu saat sowan
Ilahi Robbi”
Puasa
merupakan ibadah purba yang kaprah dikenal oleh segala entitas bangsa di tiap belahan
bumi ini. Agama-agama dengan kuantitas pengikut yang besar pasti mengenal
ritual puasa dalam doktrin keagamaannya. Allah swt menjadikan puasa sebagai
salah satu pondasi penting dalam rukun agama yang diridlainya, Islam. Melalui
firmanNya sendiri Allah swt menegaskan kewajiban puasa Ramadlan bagi umat Nabi
Muhammad saw sebagaimana Dia telah mewajibkannya pada umat-umat sebelumnya.
Jadi jelas bahwa puasa memang merupakan ritual ibadah tertua dalam sejarah
agama umat manusia.
Umat
Islam meyakini sepenuhnya bahwa tiap perintah dan larangan Allah swt beserta
RasulNya, Baginda Muhammad saw pasti mengandung kebaikan bagi umat manusia.
Apapun yang diperintah --entah itu kemudian berstatus hukum wajib atau
sunnah--, dan yang dilarang –entah itu kemudian berstatus hukum haram atau
makruh--, mengandung rahmat dan kebaikan pada manusia. Puasa Ramadlan
menyandang status hukum wajib ‘ain yang mengikat tiap muslim mukallaf secara
personal. Artinya, status hukum wajib puasa Ramadlan pada tiap muslim mukallaf
tersebut pasti berisi rahasia-rahasia yang sangat berarti bagi manusia,
sehingga Allah sebagai Tuhan Yang Maha Rahman dan Maha Rahim mewajibkan pengabdinya
menyandang atribut kerahmatan dari rahasia puasa Ramadlan tersebut. Lantas
pertanyaannya, bagaimana puasa mampu menjadi rahmat bagi manusia?
Medium
Hibernasi Kemanusiaan
Melalui
Riwayat Imam Baihaqi dari sahabat Anas bin Malik ra, kita mengetahui bahwa iman
terbagi dalam dua bagian penting, yaitu sabar dan syukur. Dalam risalah lain
berjudul Kitab Lathoifit Thoharoh wa Asroris Sholati pada bab Asroris
Shoum halaman 73, Kyai Muhammad Sholih bin Umar atau yang juga dikenal
dengan nama Kyai Sholeh Darat mengutip dawuh Rasulullah saw lain
menyatakan bahwa puasa merupakan separuh dari sabar. Ilustrasinya, bila sabar
merupakan separuh iman sedangkan puasa merupakan separuh sabar, maka puasa
merupakan seperempat iman. Artinya, menjalankan puasa berarti menunaikan
seperempat keimanan.
Sebagai
ritual ibadah yang istimewa, puasa telah menyandang statusnya sebagai
representasi seperempat keimanan seorang mukmin. Melalui kacamata fiqh, tiap
pelaku puasa harus menahan dirinya dari segala perbuatan yang bisa membatalkan
puasa dari mulai masuknya waktu subuh dan berakhir saat masuk waktu shalat
maghrib. Di antara hal-hal yang membatalkan puasa adalah makan, minum, dan bersetubuh.
Makan, minum, dan bersetubuh, ketiganya merupakan tanda paling nyata bahwa
pelakunya merupakan makhluk yang diciptakan lengkap dengan aneka tabiat dan
sifat yang menempel pada anasir jasmaniah. Ketika tiga aktifitas itu dilakukan,
maka ketiganya menjadi pintu keberlangsungan kehidupan jasmani manusia. Pada
saat puasa, ketiga kebiasaan tersebut dihentikan dan bila dilakukan maka
batallah puasanya.
Allah SWT. pasti tidak membutuhkan makan, minum, apalagi berkembang biak. Sebab Allah adalah Pencipta dari segala sesuatu. Amat sangat tidak mungkin Allah
membutuhkan sesuatu seperti makan, minum, dan berkembang biak. Bila ketiga
aktifitas itu menjadi tanda status sebagai makhluk, dan sebaliknya yang tiada
membutuhkan ketiganya adalah tanda sebagai Pencipta, maka puasa sejatinya
merupakan medium hibernasi spiritual dari kemanusiaan untuk mencecap sifat-sifat
ilahiyah yang menciptakannya.
Melalui puasa manusia dipersilahkan secara sadar
melatih dirinya mengendalikan dorongan jasmaniahnya dengan menahan konsumsi, sekaligus
menguatkan dorongan ruhaniahnya dengan mengisi kesempatan dengan peribadatan.
Pengendalian jasmani dengan menahan konsumsi bermuara pada pengurangan dorongan
syahwat melakukan kemaksiatan, seiring dengan penguatan aspek ruhaniah dengan peribadatan
menapaki ketaatan. Jadi, puasa menjadi ruang hibernasi kemanusiaan dari pribadi
senang kemaksiatan menuju pribadi yang hobi ketaatan.
Spiritualisasi Puasa
Keterangan
yang masyhur diketahui oleh seluruh umat Islam tentang kebahagiaan pelaku puasa
adalah dawuh Rasulullah Saw. yang menegaskan bahwa bagi mereka disediakan dua
kebahagiaan, yaitu saat berbuka puasa dan pada saat berjumpa dengan Tuhannya. Melalui
penulisan yang padat tapi kaya literatur, Imam Ahmad Ibn Hajar al-Haitami dalam
kitabnya berjudul Ithaf Ahlul Islami bi Khususiyatis Shiyami menjelaskan
bahwa yang dimaksud kebahagiaan saat berbuka puasa adalah bersikap tawassuth
–atau bisa dimaknakan tidak berlebihan-- dalam berbuka dengan makanan yang
tersedia, sedangkan yang dimaksud dengan kebahagiaan saat bertemu Tuhannya
adalah penyaksian keluasan pahala dan anugerah yang Allah swt berikan pada
orang yang berpuasa.
Penjelasan
tentang dua tipologi kebahagiaan orang yang berpuasa versi Imam Ahmad Ibn Hajar
al-Haitami ini dapat kita maknakan dalam dua hal. Pertama, penyikapan
spiritual saat berbuka puasa melalui pintu sabar dan syukur yang tersublimasi
dalam sikap tawassuth. Sabar dalam berbuka artinya berusaha meletakkan
buka puasa sebagai ibadah pembatal puasa dan tiap fasilitas konsumsi sebagai
bagian dari tangga peribadatan pada Allah swt, bukan malah meletakkan berbuka
puasa sebagai pelampiasan overdosis atas syahwat jasmaniah setelah mengalami
pengekangan dan pelatihan.
Syukur dalam berbuka artinya berusaha menjadikan
buka puasa sebagai bagian dari tasbih dan tahmid lahir-batin
kepada Allah swt atas anugerahNya menaqdirkan kita mampu serta mau berpuasa,
serta berkonsumsi dengan proporsional tanpa berlebihan. Bahkan Kyai Sholeh
Darat mengajarkan untuk membesarkan sikap batin khouf dan roja’
saat berbuka puasa. Khouf dalam makna takut atas segala kekurangan
lahir-batin selama melaksanakan puasa, dan roja’ dalam makna selalu berharap
atas rahmat dan ampunan Allah swt.
Kedua,
pemahaman spiritual bahwa pisowanan dan permusyahadahan menghadap Allah
swt di akhirat kelak merupakan nikmat terbesar dari keluasan rahmat dan
anugerah Allah swt bagi orang yang berpuasa. Keyakinan atas kepastian anugerah
kebahagiaan “inda liqo-a Robbihi” (saat sowan Rabnya) merupakan garansi
segala rahmat, anugerah, dan nikmat manusia di hari akhir nanti.
Selain itu, klausul
“ashshiyamu liy wa ana ajzi bihi” (puasa itu untukKu [Allah] dan Aku
[Allah] yang mengganjarnya) merupakan penegasan bahwa Allah dengan segala sifat
serta asma’ Jamaliyah, Kamaliyah, dan JalaliyahNya tentu lebih penting dari
setiap anugerah yang terlintas dalam aneka kilatan imajinasi manusia. Bila
Allah swt telah menggaransi akan menerima hambanya yang berpuasa untuk
diijinkan sowan ke hadiratNya kelak dan Allah swt sendiri yang menentukan
kalkulasi anugerah atas puasa tersebut, lantas apa yang lebih membahagiakan
selain itu?
Aktivasi
Energi Kebahagiaan
Berangkat
dengan pemaknaan di atas, maka paling tidak ada dua replikasi puasa dalam
tradisi keberislaman kita secara riil. Pertama, puasa menjadi medium
aktivasi potensi diri manusia sebagai makhluk spiritual melalui riyadloh
jasmani-rohani. Secara material puasa melatih syahwat jasmaniah manusia untuk
tunduk pada segenap aturan yang menyelamatkan dan membebaskan, sedangkan secara
immaterial puasa melatih potensi rohaniah manusia untuk mengembangkan keimanan
dan ketaatan kepada Allah swt. Kedua, puasa menjadi pelatihan
kebahagiaan hidup di dunia-akhirat melalui penguatan sikap sabar dan syukur
yang saling berkelindan dan termanifestasi secara ekspresif dalam sikap tawassuth.
Ketika
manusia sebagai makhluk jasmani-rohani berupaya memaknai, memahami, menjalani,
dan menjaga ibadah puasanya secara lahir-batin hanya kepada Allah swt Tuhan
seru sekalian alam, maka itu semua merupakan aktivasi dari saklar energi
kebahagiaan material-spiritual manusia menuju kebahagiaan yang hakiki yaitu
saat sowan Ilahi Robbi. Wallahu a’lam.
Leave a Comment