FAIR PLAY


Wasid Mansyur
Dosen FAHUM UIN Sunan Ampel Surabaya, 
Aktivis PW GP Ansor Jawa Timur

Dalam salah satu kesempatan, penulis menyaksikan permainan sepak bola yang dimainkan oleh anak- di area depan rumah. Hiburan depan rumah ini menarik, bukan saja karena gratis, tapi sekaligus "ngemong" anak sendiri yang juga ikut main sepak bola, dan melihat secara langsung permainan mereka kaitannya kaitan bagaimana mereka bermain dalam kerja-kerja tim dan menjaga sportivitas dalam menggiring bola.

Pemandangan seperti ini hampir terjadi setiap liburan Sabtu atau Minggu. Jika tidak siang hari, terkadang di malam hari, setelah mereka semua keluar dari masjid dekat rumah sehabis sholat Isya’ berjama'ah. Itulah dunia anak-anak, kalau sudah maunya, tidak mengenal siang atau malam. Walau, model permainan seperti ini, menurut penulis lebih baik dari pada anak-anak terdiam di rumah sambil menggerakkan jari bersama HP dalam waktu berjam-jam. Padahal, efek negatifnya bermain HP terlalu lama sangat jelas, bukan saja kepada fisiknya, tapi juga pada mentapnya; setidaknya dalam membangun mental hedonis-individualis.

Namun, pada hari yang berbeda, permainan bola ini menjadi aneh sebab permainannya menjadi dua. Yang satu lebih dekat rumah, sementara yang lain permainan sebab bola agak jauh dari rumah. Alhasil, penulis penasaran, sambil mengintrogasi anak sendiri dan teman dekatnya, bagaimana hal ini bisa terjadi? Mereka serentak menjawab, ada "kecurangan" dan "kekerasan" permainan, Buy (sebutan yang lazim kepada penulis). Akupun, menjawab: santai-santai, ojo tukaran. Harus segera damai yaaa hhhhhh. 

Inilah salah satu di antara fenomena dalam dunia sepak bola, walau kelasnya kecil di lingkungan RT. Ketidaklaziman dalam permainan bola disinyalir menjadi salah satu pemantik kerenggangan komunikasi antar mereka, walau tidak begitu lama sebab pemainnya adalah anak-anak. Namanya anak-anak, semua mudah terlupakan, dan semua akan mudah menyatu seiring perjalanan waktu, asal orang tua tidak ikut intervensi.

Namun, kejadian seperti ini bisa menimpa semua orang dalam realitas berbeda, tidak harus dunia sepak bola. Bahwa apa yang disebut fair play itu penting dalam realitas kehidupan sosial, apalagi dalam realitas sosial yang beragam baik suku, agama maupun ras. Bahkan, dalam rumah tanggapun, fair play adalah salah satu kunci yang mengantarkan rumah tangga akan melahirkan saling kerjasama dalam menyelesaikan problem sesuai dengan kapasitas masing-masing dan kesepakatan domistik yang ditanam diawal proses membangun rumah tangga.

Betapa, banyak rumah tangga hancur (broken home), ketika fair play sudah tidak menjadi role model dalam membangun rumah tangga sesuai dengan kesepakatan antar pasangan. Setiap individu selalu ingin menjadi pemenang, tanpa mempertimbangkan hak dan kewajiban masing-masing. Itu artinya, sejatinya pemenang dalam konteks ini, tidak lain adalah mereka yang konsisten pada alur yang telah disepakati, misalnya untuk saling menghargai hak dan kewajiban masing-masing.

Itulah pentingnya fair play dalam kehidupan. Tanpa fair play, dapat dipastikan kerumitan dalam hidup akan lebih besar, daripada kenyamanannya. Karenanya, fair play dalam konteks sosial adalah interaksi antar sesama dalam bingkai aturan yang disepakati sebab kehidupan sejatinya adalah dunia permainan yang bingkai dengan keteratusan sistem.

 

Demokrasi Riang Gembira

Tahun 2024, pesta demokrasi akan digelar dengan dilaksanakannya Pemilihan Umum. Sengaja, penulis menggunakan kata pesta sebab ia ada agenda lima tahunan yang harus disikapi dengan riang gembira sebagaimana kita ikut melihat atau terlibat dalam pesta, bukan dengan sikap yang menyedihkan, apalagi menakutkan. Hal ini penting, agar kiranya semua tidak hanya berpikir soal proses ber-Pemilu, tapi perlu berpikir sejauh mana pemilu kali ini memberikan warna konkrit bagi kemaslahatan bangsa secara menyeluruh.

Agar kegembiraan berdemokrasi ini benar-benar terwujud, maka fair play harus menjadi standar konkrit bagi semua pihak, terlebih para kontestan yang merebut suara rakyat, KPU, BAWASLU dan Pemerintah. Pastinya, standar itu berpijak pada aturan main yang telah disepakati, khususnya kaitan dengan semua proses pelaksanaan pemilu hingga netralitas apatur negara yang mengawal semua proses-proses berdemokrasi pada pemilu 2024.

Kaitan dengan ini, penulis teringat ungkapan Ibnu Khaldun dalan bukunya Muqaddimah ibnu Khaldun sebagai berikut:

إنّ تنظيم الحياة الاجتماعية وتصريف أمور الملك يتطلّب الرجوع إلى قوانين سياسية مفروضة يسلمها الكافة وينقادون إلى أحكامها.

"Sesungguhnya mengatur kehidupan sosial dan menggerakkan kekuasaan dibutuhkan kembali pada undang-undang yang disepakati dan diterima semua kalangan dan tunjuk pada keputusan itu.”

Oleh karenanya, apa yang disepakati dari proses pesta demokrasi 2024 harus menjadi payung bersama semua pihak, terlebih para elite-elite politik yang terlibat langsung dalam kontestasi pemilu 2024. Elite politik harus memberikan pelajaran dan teladan, bagaiman menjadi pemenang yang menjunjung tinggi Fair Play dalam setiap proses mulai kampanye hingga penghitungan dan penetapan.

Kemenangan yang lahir dari proses-proses yang tidak fair akan melahirkan nilai-nilai demokrasi yang tidak baik dalam konteks sejarah politik kebangsaan. Bahkan, menyisakan kerenggangan antar anak bangsa. Bukankah, demokrasi yang dalam pemilu yang tidak fair play akan menjauhkan kualitas pembumian substansi demokrasi itu sendiri, bahkan bisa memantik kerenggangan antar anak bangsa dalam waktu yang cukup lama sebagaimana terjadi pada pemilu-pemilu sebelumnya yang memunculkan istilah Kadrun vs Cebong.

Akhirnya, mari kita fair play dalam semua lini kehidupan sosial, budaya dan politik. Upaya mewujudkan fair play tidak lain bergerak dalam semua lini kehidupan sesuai dengan nilai-nilai yang disepakati bersama sebagai standar pemandu bagi kemaslahatan bagi semua orang. Jadilah pemenang yang bermartabat, agar demokrasi lebih bermartabat. Kontestasi Politik bukanlah abadi, yang abadi adalah persaudaraan antar sesama anak bangsa. (*) 

----------

gambar dikutip dari: https://www.google.com/search?q=POLITIK+2024+kartun&sca_esv=586929607&rlz=1C1ONGR_enID1028ID1028&tbm=isch&sxsrf=AM9HkKkZxAdXlbnCGRkmz3IlreZfduEvrA:1701426635163&source=lnms&sa=X&ved=2ahUKEwji1MyRhO6CAxXi1DgGHXOJBTEQ_AUoAXoECAEQAw&biw=1920&bih=963&dpr=1#imgrc=SNwcz1HPaT1t4M

   

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.