In Memoriam Ustadz Muntaha; Pribadi Menyenangkan dan Penuh Senyum

 


Wasid Mansyur
(Dosen Fakultas Adab dan Humaniora)
  

Kabar mengaget pada pagi hari pukul 03.39, ketika penulis membuka  HP di group WAG Info Intern Fahum, yang mengabarkan bahwa Drs. H. Muntaha, M.Ag meninggal dunia, salah satu dosen senior Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Jurusan Bahasa dan Sastra Arab. Jum’at 16 Juni 2023. Tugasnya telah selesai untuk kembali kepada Sang Rabbi ‘Izzali, Allah Swt, tapi kebaikannya selama hidup layak ditiru agar kita terus mengambil ibrah dalam setiap ujian hidup dan mati.

Tulisan sederhana ini dalam rangka menyebut kebaikan ustadz Muntaha, pada hari ke-4 dari meninggalnya. Hal ini setidaknya dalam rangka mengikuti pesan Nabi Muhammad SAW yang agar yang hidup selalu menyebutkan kebaikan orang yang telah meninggal, sekaligus anjuran untuk menjauhi untuk menyebut keburukannya (udzkuruu mahaasina mawtaakum, wa kuffuu ‘an masaawiihim)

Biasanya, penulis memanggilnya dengan sebutan “ustadz”, maklum ia masih dosen, ketika penulis menyelesaikan S-1 sekitar tahun 1999 hingga 2004. Darinya, penulis  mengenal beberapa materi kaitannya Bahasa dan Sastra Arab, misalnya materi insya’. Dalam perjalanannya, iapun menjadi kolega sesama dosen, tapi status sebagai dosen tidak akan berubah sebab tidak ada mantan dosen atau ustadz, lahul fatihah.

Di samping itu, ustadz Muntaha memiliki kelebihan dalam membaca al-Qur’an, khususnya dalam menirukan suara ‘ala Sudais, yang biasanya selalu terdengar ketika yang bersangkutan bertugas sebagai Khatib di Masjid Raya Ulul al-Albab, Kampus A. Yani UIN Sunan Ampel Surabaya. Biasanya, sebagai Khatib, ia juga didapuk sebagai imam sholat Jum’at sehingga pilihan suratnya adalah surat-surat yang memang diajurkan sebagaimana disebutkan kitab-kitab fikih, yaitu Surat al-A’la dalam raka’at pertama dan surat al-Ghasiyah dalam rakaat yang kedua. Bacaannya, tidak berubah dari tahun ke tahun, yakni menirukan gaya suara Abdulrahman ibn Abdulaziz al-Sudais, imam Masjid al-Haram Makkah al-Mukkarramah.  

…………..

Ustadz Muntaha adalah pribadi yang menyenangkan dengan senyumnya, itulah yang menurut catatan penulis sepanjang berinteraksi lama dengan yang bersangkutan, baik sebagai guru, teman dan kolega sesame dosen. Salah satu hal yang menyenangkan darinya adalah enak menjadi lawan bicara, apalagi pembicaraannya selalu disertai nasehat-nasehat, khususnya bagi kalangan yang lebih muda.

Secara pribadi, beberapa tahun belakang ini, pertemuan dengan ustadz Muntaha sering terjadi di pojok area Gedung Lama Fakultas Adab dan Humaniora, sebelum akhirnya berpindah ke Kampus Gunung Anyar UIN Sunan Ampel. Ruang publik pojok, memang menjadi lintasan para dosen dari berbagai jujusan di Fakultas Adab dan Humaniora, apalagi dekat kamar mandi dan mushalla fakultas. Karenanya, yang berkumpul di ruang pojok juga lintas jurusan dari dosen biasa hingga dosen yang menjabat (DT) atau -bahkan- guru besarpun tidak jarang juga ikut nimbrung sebagai sarana silaturrahim dan mengurangi sedikit kepenatan pasca mengajar, termasuk peserta aktif adalah Kiai Muntaha sebelum atau sesudah mengajar.

Di ruang pojok ini, dari ustadz Muntaha, penulis banyak mendapatkan beragam pengetahuan di luar persoalan materi perkuliahan. Mulai bagaimana pentingnya menjaga silaturrahim antar dosen muda dan dosen senior dan pentingnya menjaga komunikasi dengan yang lain. Bahkan, persoalan perkutut menjadi bahan materi perbincangan dengan ustadz Muntaha sebab sudah dikenal bahwa ia ada penyuka burung perkutut yang luar biasa sehingga tidak jarang kepakarannya dalam perkutut ditularkan kepada yang lain, termasuk para pemula.  

Tidak hanya persoalan itu, persoalan kepiawaiannya menirukan suara Sudais juga dijelaskan dengan detail, ketika penulis sempat tanya pada suatu waktu sore hari sambil menunggu jam keluar kampus. Ustadz Muntaha, sering mengatakan, “Kabeh Butuh Belajar dan Tekun, termasuk menirukan suara Sudais. “Saya, tegas ustadz Muntaha” berkali-berkali mendengar suara Sudais siang dan malam, sambil menirukannya dengan praktik setiap kali membaca al-Qur’an. Bila kemudian saya lancar menirukannya, itu adalah buah dari proses panjang belajar, sambil melantunkan beberapa surat andalannya Surat al-A’la dengan tebar senyum.”

Namun, tidak semua perbincangan dengan ustadz Muntaha juga selalu seide dan segagas, tak jarang juga ada perbedaan pendapat. Hanya saja, ia pandai memposisikan diri, ketika lawan bicara itu beda dengannya. Sikapnya menghargai yang lain layak ditiru, sebab kalaupun beda ia tetap tebar senyum kepada lawan bicara dan sering tidak memperpanjang perbedaan, apalagi menyangkut orang lain yang berbeda. Senyum ustadz Muntaha menjadi jalan perbedaan itu biasa-biasa saja sebagaimana Allah menjadi orang berbeda-beda.

Penulis teringat kalimat khutbah 2 tahun lalu dari ustadz Muntaha yang disampaikan di Masjid Raya Ulul al-Abab sebagaimana tersimpan rapi dalam Youtube Ma’had UINSA. Salah satu kalimatnya adalah : “Mati itu sekali, makanya disebutkan dalam al-Quran illa mauttal ula. Mati itu sekali saja, setelah itu akan hidup jutaan tahun atau triliun-an tahun. Nasib kita nanti akan ditentukan oleh amal kita sendiri ketika hidup.” Kalimat ini, walaupun sudah lama tetap sangat bermakna sampai kapanpun sebab sebagai Muslim, kita meyakini setelah kematian akan ada proses-proses pertanggungjawaban sepanjang hidup sehingga kita tidak boleh terlalu lama larut dalam jebakan hidup yang akhirnya merugikan diri sendiri di masa akan datang, akhirat.

Akhirnya, selamat jalan ustadz Muntaha. Interaksi bersamamu cukup menyenangkan dan senyummu setiap saat menjadi penanda keihlasan setiap proses, setidaknya sepanjang kesaksian penulis. Semoga hari Jum’at yang menjadi pilihan Allah SWT sebagai batas akhir kehidupan, menjadi jalan keberkahan dalam proses-proses selanjutnya, yakni diterimanya semua amal ibadahnya dan diampuni semua keselahan. Amin… Selamat Jalan Ustadz. Lahul fatihah.

Keterangan: photo adalah kutipan dari acara tahlil secara zoom untuk Ustadz Muntaha

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.