DO’A-DO’A DALAM MANUSKRIP

Wasid Mansyur
(Penikmat Manuskrip/Dosen FAHUM UIN Sunan Ampel Surabaya)

Membaca lembaran manuskrip sejatinya bukan hanya membaca lembaran kuno peninggalan orang-orang terdahulu, yang tidak sedikit –bagi kebanyakan orang-- kurang menyenangkan sebab dipandang berinteraksi dengan barang kuno, terkadang “lungset” dan tak jarang tidak jelas tulisannya. Tapi, tujuan dari membacanya –salah satunya-- dalam rangka menyelami sisi makna-substansi dari manuskrip, sekaligus sisi pemilik/penulis manuskrip dalam konteks karakter dan kondisi sosial yang melingkupinya. Dengan begitu, kita bisa memetik sisi hikmah dari manuskrip agar kiranya tidak jauh dari jati diri kita sendiri sebagai Muslim dan anak bangsa.

Penulis, kali ini membahas tentang manuskrip leluhur, yang ditemukan setelah bersilaturrahim dengan kakak dari ibu (Obek, bahasa Madura) bersalamaan dengan momentum “tellasan” atau Hari Raya Idul Fitri. Naskah yang sebenarnya sudah lama diketahui, tapi tepat silaturrahmi “tellasan” 1444 H Allah SWT mentakdir menjadi langkah serius untuk mengetahui lebih dekat kondisi manuskrip peninggalan leluhur.

Bukan hanya itu, silaturrahim ini sekaligus meminta ijin atau semacam meminta ijazah kepada Obek kaitan dengan Manuskrip dan isinya. Pasalnya, naskah ini sudah bergerak secara turun temurun; setidaknya diketahui naskah ini berada di kakek dari jalur ibu, yang bernama Kiai Sholehudiin Sambiyan Konang Bangkalan. Sebelum meninggal dunia pada Hari Sabtu 12 Dzulqa’dah 1377 H/1958 M, naskah ini kemudian diwariskan kepada adiknya, KH. Abdul Faqih Genteng Konang. Sang Kakak, Kiai Sholehuddin hanya berpesan kepada adiknya Kiai Abdul Faqih, ketika akan meninggal agar kiranya manuskrip ini kelak diserahkan kembali kepada salah satu putranya yang bernama Bindereh Syu’aib Sambiyan.

Di tangan Bindereh Syu'aib, manuskrip ini berada selama beberapa tahun terakhir sebagai warisan leluhur, walau dalam riwayat diyakini naskah ini adalah warisan turun temurun dari Syekh Muzakki atau yang dikenal dengan Bujuk Batu Kolong, yang makamnya berada di Komplek Makam Sunan Dhalem Kolak Sukolilo Labang Bangkalan. Pastinya, butuh penelitian mendalam, walau bila dilihat dari kertasnya bisa jadi cerita turun temurun bisa dibenarkan dengan kondisi manuskrip berjenis Daluang.

Dengan semangat, agar kiranya manuskrip bisa dimanfaatkan oleh generasi muda, Obek Syu’aib memberikan restu kepada penulis untuk membaca naskah ini, sekaligus memberikan ijazah apapun yang ada dalam naskah ini, kecuali tulisan yang ada larangan untuk diamalkan demi menjaga kemaslahatan bersama. Obek Syu’aib tidak ingin manuskrip ini akhirnya berhenti kemanfatannya hanya disimpan dialmari, tanpa ada turunan senasab yang membacanya, terlebih sebagian isinya diamalkan.

Setelah memegang fisik manuskrip ini, sekaligus membacanya, penulis menyimpulkan. Pertama, manuskrip ini tidak ada judulnya, termasuk tanggal penulisannya sebab kondisi fisik sangat memprihatinkan sebab ada beberapa lembar atau covernya yang hilang seiring usianya yang cukup tua serta berpindah-pindah dari tangan yang satu tangan ke tangan yang lain.

Kedua, walau kondisi fisik manuskrip memprihatinkan, tetap saja lembar yang tersisa masih mudah dibaca, mengingat teks masih sangat jelas. Bahasa tulisannya adalah campuran tulisan Arab asli, sekaligus sebagian tulisan Arab pegon sebagai penjelasan kaitannya maksud tulisan Arab asli. Secara substansi, manuskrip ini memuat doa’-do’a, sekaligus menyebut manfaatnya bagi para pembaca. Bahkan mendekati halaman terakhir, terdapat azimat atau rajah-rajah dengan kemanfaatan yang beragam. Misalnya, Do’a Dzul Faqqar, Do’a Hirz Jabrail, dan lain-lain.

Bukan hanya itu, pada halaman mendekati akhirnya, manuskrip ini mengungkap tentang tatacara sholat hingga salam. Tata cara sholat yang digambarkan adalah tatacara sholat yang masyhur dalam kalangan pengikut “Ahl al-Sunnah wal Jama’ah”. Penyebutan tata cara sholat di akhir manuskrip menunjukkan betapa pentingnya sholat bagi setiap Muslim, apalagi dalam sholat banyak do’a-do’a yang dibaca sesuai sebagai mana menjadi anjuran.  

Syarat Berdo’a

Disamping soal doa, azimat dan tata cara sholat, hal yang menurut penulis penting adalah terdapatnya dua halaman yang menjelaskan kaitan dengan syarat-syarat orang berdoa agar mudah dikabulkan oleh Allah SWT. Halaman ini sekaligus menjadi pengingat bahwa do’a atau apapun namanya bisa sama, tapi soal kualitas fungsinya belum tentu sama. Karenanya, kualitas diri dan syarat berdo’a menjadi sangat penting __bahkan menentukan terkabulnya__ sepenting do’a itu sendiri dipanjatkan.

Dalam manuskrip itu tertulis sebagai berikut:

وعن أحمد ابن الأنطاكي أنه قال اشرط فى إجابة الدعاء خمسة الركن والسبب والجناح والروح والوقت فأما الركن فهو الأكل من الحلال. وأما السبب فهو القطع من العلائق فيما دون الله. وأما الروح فهو الصلاة على الرسول الله صلى الله عليه وسلم وأما الجناح فهو الصدقة أمامه  وأما الوقت فهو أن يدعو و وقت السحور.

“Diriwayatkan dari Ahmad ibn al-Anthaky, sesungguhnya Beliau berkata: Syarat dikabulkannya doa ada lima, yaitu peyangga (rukn), Sebab, Sayap (Jinah), Ruh dan Waktu. Adapun yang dimaksud “penyangga” adalah makan sesuatu yang halal, yang dimaksud “sebab” adalah memutus hal-hal yang terkait dengan selain Allah, yang dimaksud ruh adalah membaca sholawat kepada Rasul SAW, yang dimaksud “sayap” adalah bershodaqah sebelum berdoa. dan yang dimaksud waktu, yaitu seseorang berdoa pada waktu sahur/tengah malam.”

Selanjutnya, sebagai keterangan 3 kata yang bergaris itu sesuai dengan teks yang ada dalam manuskrip. Tapi, bila ditilik dari sisi kajian nahwu, kata pertama ada kekurangan lam, mestinya tertulis الشرط , kata yang kedua alif lam tidak perlu, mestinya tertulis رسول الله, dan kata yang ketiga mestinya tertulis, أن يدعو . Sementara, yang dimaksud dengan Ahmad ibn al-Anthaki adalah Ahmad ibn ‘Ashim al-Anthaki (w. 239), salah satu ulama Ahlussunnah wa al-Jama’ah yang hidup pada Abad ke 3 H.

Berdasar dari syarat-syarat ini, maka manuskrip ini mengingatkan kepada siapapun yang berdo’a agar memperhatikan syarat-syarat berdo’a agar apa yang kita panjatkan benar-benar dikabulkan oleh Allah. Karenanya, maka berdoa dengan fokus, sembari hati bersih dari makanan haram, bertawasul dengan Nabi dan bershodaqah, dan berdoa di tengah malam diwaktu banyak orang tidur, merupakan langkah tepat dan manjur untuk mengantarkan sinyal do’a itu sampai kepada Allah sehingga mudah dikabulkan.

Tak heran pemilik awal manuskrip ini Kiai Sholehuddin, dikenal sebagai sosok yang larut dalam prasyarat ini. Bahkah larut dalam tirakat sehingga mudah fokus dalam berdoa, dan apa yang dido’akan sering dikabulkan oleh Allah sehingga menjadi rujukan banyak orang. Bukan hanya itu, bila kita melihat ulama-ulama sepuh dulu sangat dikenal wirai, pembaca sholawat yang istiqamah, dan gemar bershodaqah sehingga cukup beralasan bila beliau-beliau selalu menjadi rujukan, bahkan untuk urusan perang melawan penjajah selalu dinanti do’a-do’a keselamatan.

Akhirnya, manuskrip ini sebenarnya memuat doa, rajah-rajah atau azimat, di samping kaitan dengan tata cara bersholat dan berdo’a. Karenanya, keberadaan manuskrip menjadi penting untuk dibaca secara serius, sekaligus diamankan dan dibaca untuk diamalkan agar kemanfatannya terus mengalir. Manuskrip bukan sekedar disimpan yang akhirnya juga kita tinggalkan, bahkan bisa jadi dimakan usia atau dimakan “si Rayap”. Dan membaca manuskirip adalah membaca masa lalu untuk konteks hari ini. Semoga manfaat.





  

  

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.