MEMAKNAI HAKIKAT BEKERJA (Belajar dari Pekerja Pakistan)
Bersyukur kepada gusti Allah SWT atas takdir –walau di luar dugaan tahun ini-- bisa umroh bersama istri melalui travel Thaibah diawal bulan Nopember 2022. Pasalnya, takdir tidak mengenal punya uang atau tidak. Jika Allah sudah mentakdir, pasti diberi jalan untuk melunasi. Sebaliknya, jika tidak ditakdir. Walau sudah pula ongkos untuk bayar, ya tidak akan tergerak untuk mendaftar, alih-alih berangkat.
Penulis
tidak mau bercerita soal pelaksanaan umroh secara utuh sebab juga banyak
diceritakan yang lain. Tapi dalam tulisan sederhana ini, ingin bercerita
tentang pertemuan penulis dengan salah satu pekerja asing yang bekerja di Saudi
Arabia, tepatnya di area tanah Haram Makkah al-Mukarramah.
Pertemuan
dimulai, ketika penulis ingin umroh ketiga kalinya secara mandiri bersama
istri, dengan mempertimbangkan agar waktu yang tersisa semakin bermakna sebelum
kembali ke Indonesia, mengingat jatah umroh dari travel hanya dua kali. Bukan
hanya itu, semangat umroh ini dilakukan untuk diperuntukkan bagi orang yang
berjasa sepanjang hidup, dalam mendidik dan meneladani soal perlunya semangat
kerja keras serta beribadah.
Kami –penulis,
istri dan pak Wandi teman umroh--- segera keluar hotel, dan mencari Taxi Ujroh
dengan kesepakatan ongkos sekitar 40 riyal. Karena umroh mandiri, kamipun
akhirnya harus konsultasi ke Muthawiffnya (ustadz Zakki panggilan akrabnya)
melalui whatsApp, bagaimana cara dan prosedul yang lazim. Sekaligus, agar tidak
dicari sebab dianggap rombongan yang hilang atau kesasar, hhhhh. Dengan
singkat, iapun memberikan info agar naik taksi untuk mengambil miqat di Tanim (Jami’
Ummul Mukminin Sayyidah Aisyah), dan selanjutnya melaksanakan umroh sebagaimana
biasa.
Di tengah perjalanan menuju Masjid Tan’im, penulispun tidak mau mensia-siakan waktu, untuk mengobrol “ngalur ngedul” dengan pak sopir dengan menggunakan bahasa Arab, istripun tidak mau kalah ikut komentar, walau dengan menggunakan bahasa Inggris, yak arena kemampuan bahasa yang berbeda-beda. Jadinya, pak sopir sesekali menjawab dengan bahasa Arab, dan sesekali menjawab dengan bahasa Inggris. Luar biasa, dua bahasa asing dikuasai untuk sekedar mengadu nasib mengail rizki di negeri orang.
Mulanya
penulis hanya tanya nama dan asal negara. Iapun menjawab: dengan nama Mumtaz
Ahmad berasal dari Pakistan. Lantas, pertanyaan terus berkembang kemana-kemana dari
hal remeh temeh hingga persoalan hidup dan pilihan bekerja di negeri orang.
Yang pasti, Mumtaz Ahmad adalah salah satu pekerja asiang dari Pakistan dengan
semangat kerja luar biasa; siang menjadi sopir, sementara malam hari menjadi cleaning
servis di area Masjid al-Haram Makkah al-Mukarram.
Cukup mengasikkan
pak sopir ini, sambil mengantar penulis dan rombongan, ia pun menyempatkan
menerima panggilan telpon dari putranya di Pakistan yang masih kecil.
Disela-sela selesai perbicangan –sembil memamerkan photo putranya-- ia berkata:
la tansa usratana, walau kunna min baiid. Fal usratu sababun min asbabi
al-sa’adah (jangan pernah lupakan keluarga walaupun kita berada dikejauhan.
Keluarga adalah salah satu sebab mendatangkan kebahagiaan.
Pesan Mumtaz
Ahmad menjadi pengingat bagi kita untuk terus bekerja dengan semangat ibadah
untuk menghidupi dan membahagiakan keluarga sebagaimana hal ini menjadi anjuran
Nabi Muhammad Saw. Jangan pernah malas, apalagi larut dalam kemalasan hingga
tidak mau bergerak melakukan inovasi untuk sekedar mencari kebutuhan hidup.
Bukankah sang Khalifah Ke-2 Umar ibn Khattab pernah juga berkata:
إني لأكره
أن أرى أحدكم سبهللا، لا فى عمل دنيا ولا فى عمل آخرة
“Sungguh aku
tidak senang melihat salah satu dari kalian semua yang selalu
“Sabahlalan”/meluangkan waktu, tidak dalam bekerja untuk dunia dan juga tidak
untuk akhirat. “
Sederhananya,
bekerja keras mencari rizki adalah jihad kehidupan agar orang hidup dalam
kemandirian. Jangan pernah memilih jalan pintas untuk mencari rizki, sebab
jalan pintas berpotensi pelakunya jatuh dalam jurang kenistaan berkepanjangan.
Bukan hanya itu, mereka yang selalu mencari jalan pintas –dengan menghalalkan
segala cara—akan merugikan orang lain sebagaimana jalan pintas itu dianut oleh
para koruptor, pelaku culas dan sejenisnya.
Lebih dari itu, jangan pernah meremehkan bahaya jalan pintas, walau sekecil apapun sebab semua efek negatif yang dihasilkan akan mempengarui mentalitas pelaku hingga mentalitas keluarga yang ikut menikmati hasil dari jalan pintas mencari rizki yang tidak memperhatikan halal dan haramnya. Pasalnya, pertumbuhan mentalitas seseorang tidak hanya oleh gerak fisik, tapi juga asupan yang menjadi nutrisi keseharian.
Ternyata, perbincangan dengan Mumtaz Ahmad penuh berkah –walau tidak lama-- untuk sekedar mengingatkan penulis, secara khusus, agar tetap semangat tanpa terus mengeluh. Menariknya, iapun juga menceritakan: tentang kenikmatan tersendiri ikut menjadi bagian dari cleaning servis di area Masjid, sambil berpesan: (wain turid nikmatal ibadah fi makkah al-Mukarrah, faji' fi muttashifil layli hina kana al-nas niyyaman), jika anda ingin nikmatnya ibadah di area Makkah, datanglah tengah malam di tengah kerumunan orang tertidur lelap.
Diakhir
perbincangan, penulis hanya ijin untuk meminta nomer HP untuk sekedar media silaturrahim.
Tanpa, berpikir panjang iapun memberikan nomer HP dengan penuh bahagia
terpancar dari senyumnya, sambil berkata: akhbirni in ‘udta ila huna. Ma’an
najah wa al-barakah. (kabari aku jika anda kembali ke sini. Semoga selalu
sukses dan barakah). Sambil penulis respon: in sya Allah. lakum al-Najah Aidhan. Dan sampai sekarang, komunikasi terus nyambung, walau
sekedar cuap cuap untuk saling memberikan motivasi dan mendoakan. Semoga
bermanfaat.
Leave a Comment