MEMBACA TOKOH

Wasid Mansyur
Penikmat Buku, Dosen Fahum UIN Sunan Ampel


Sebelum memenuhi panggilan organisasi mengawal “Dirosah Wustho MDS Rijalul Ansor di Pesantren Subulul Huda Kebonsari Madiun (11-13/Maret/ 2022), penulis sengaja mencari buku sebagai media agar tidak boring di jalan sebab walaupun melalui jalur tol, perjalanan ke Madiun tidaklah dekat. Kali ini penulis sengaja memilih buku yang membahas tentang tokoh; tepatnya berjudul “Guru Sejati Hasyim Asy’ari: Pendiri Pesantren Tebu Ireng yang Mengakhiri Era Kejayaan Kebo Ireng dan Kebo Kicak”, yang diperoleh di Book Store UIN Sunan Ampel Surabaya,  

Membaca tokoh memiliki kenikmatan sendiri, yang membedakan dengan buku-buku yang lain seperti buku filsafat atau agama, apalagi buku yang dipilih kali ini sangat ringan dan nyantai sebab menggunakan bahasa cerita dalam mengulas sosok Maha Guru Islam Nusantara, yakni Hadlratus Syekh Kiai Hasyim. Beliau adalah salah satu tokoh peletak nilai-nilai etik pesantren, sekaligus pemantik santri dalam melawan penjajah dengan resolusi jiha
dnya sebagai bukti.

Membaca –sekaligus menulis-- tokoh menuntun pembacanya meneladani dan mengambil hikmah dibalik peran-peran sang tokoh yang dibaca atau ditulis. Pasalnya, setiap tokoh, walau sama-sama kiai pesantren misalnya, memiliki karakter yang berbeda-beda sesuai dengan kondisi sosial dan budaya yang membentukknya. Itu artinya, dengan membaca tokoh, pembaca atau penulis, akan digiring untuk menyelami dan memahami, sekaligus meneladani cara hidup dan paradigma tokoh itu dalam menebarkan peradaban kemanusiaan, misalnya dalam konteks Kiai Hasyim adalah meneladani paradigma dan praktiknya dalam membumikan Islam Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah.

                                                       ……………..……

Kaitan dengan pentingnya membaca tokoh ini, penulis teringat dengan ungkapan Arab yang dinukil dari kitab Tabshirah al-‘Uqala’ bi-Qashashi al-Anbiya’ karya Hisyam Kamil (156), yang berbunyi:

إن سيرة أعظم رجل فى العالم لا شك أنها تسعد القارئ والكاتب ومهم اجتهد الناس فى ذلك فلن يصلوا إلى إعطائه صلى الله عليه وسلم حقه لكنها قطرة من بحر.

“Sesungguhnya sirah/sejarah laki-laki paling agung di dunia, tidak diragukan lagi, dapat membahagiakan bagi pembaca dan penulis. Kalaupun, banyak orang telah bersungguh-sungguh ---mengulas-- dalam sejarah, tetap saja tidak akan pernah sampai padanya secara utuh, walapun sirah itu –tetap bermanfaat-- laksana tetesan dari air laut.”

Ada dua hal penting dari pernyataan ini, kaitan betapa pentingnya membaca sejarah tokoh atau menulisnya. Pertama, sejarah tokoh menjadi jalan kebahagiaan dalam hidup. Pasalnya, mereka yang membaca –dan menulis—tokoh sebenarnya sedang mendidik dirinya sendiri dengan mengaca kepada tokoh yang dimaksud dengan teladannya. Intensitas mengaca ini –dengan cara membaca dan menulis--lambat tapi pasti akan mempengaruhi mentalitas diri sendiri sehingga merasakan kebahagian batin; dari dialog dengan tokoh yang dibaca hingga mengambil sisi kebaikan darinya untuk direplikasi dalam konteks kekinian. Bukankah ada ungkapan yang mengatakan: “dengan menyebut/mengingat orang-orang shalih, niscata kerahmatan itu akan melimpah kepadanya."

Oleh karenanya, cukup beralasan bila Allah SWT meletakkan sejarah para Nabi terdahulu dalam beberapa firmanNya (Baca: al-Qur’an), misalnya sejarah Nabi Musa dengan Nabi Khidr, sejarah Nabi Sulaiman yang mampu berbicara dengan semut atau sejarah Nabi Yusuf, Nabi terganteng yang mampu menaklukkan banyak perempuan “kepincut” dieranya. Allah menjelaskan manfaat membaca sejarah ini dengan kata ‘ibrah, semacam nasehat dan pengingat bagi yang berakal (liulil albab). (lih, QS.Yusuf: 111)

Sementara yang kedua, membaca atau menulis tokoh tidak akan mampu mengungkap sisinya secara utuh. Karenanya, subyektivitas menjadi niscaya sehingga bisa jadi satu tokoh dapat dilihat dari perbagai perspektif. Misalnya, tokoh sekaliber Kiai Hasyim Ay’ari dapat dilihat dari beragam isu, mulai sanad keilmuan, nasionalismenya hingga kontribusinya bagi bangsa ini. Artinya, semakin banyak kita memahami Kiai Hasyim dari pelbagai pandangan akan memperkaya kita dalam memahaminya laksana tetesan air yang terus menetes tanpa henti sebagai sumber pengetahuan dan keteladanan dalam hidup, semacam sumber inspirasi.

Satu misal, buku yang penulis pilih karya Masyamsul Huda mengantarkan pengetahuan tentang asal-usul pabrik gula di Cukir Jombang, salah satu wilayah yang sangat berdekatan dengan Pesantren Tebuireng. Konon, dinamakan nama pabrik gula berasal dari bahasa Belanda Suiker Fabric, yang berarti Pabrik Gula. Hanya saja, karena lidah orang Jawa terasa berat mengucapkannya hingga menjadi “Cukir Pabrik”. Dalam perkembangannya, Cukir akhirnya menjadi salah satu nama desa yang berdekatan dengan pabrik gula di Jombang hingga saat ini.

Dari sini kita bisa memahami, sekali lagi, bahwa membaca tokoh tidak seperti membaca buku-buku filsafat, sosiologi dan lain-lain. Dalil normatifnya sangat jelas sebagaimana Allah sendiri mencontohkan dengan menempatkan kisah atau sejarah tempo dulu menjadi ciri khas firmanNya di dalam al-Qur’an, di samping ada hukum dan lain-lain. Jangan pernah puas terhadap hasil hari ini, semua harus belajar kepada tokoh terdahulu yang telah sukses dalam mewariskan peradaban, sekaligus tatacara nilai untuk melangkah kehadirat Allah SWT.  Madiun, 13/3/2022  

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.