KEBENCIAN BERAGAMA?

 


Wasid Mansyur
Pengamat Sosial Keagamaan, Dosen FAHUM UINSA


Benci sederhananya dimaknai sebagai lawan dari cinta. Karenanya, kebencian adalah rasa tidak senang kepada orang lain disebabkan oleh banyak penyebab, dari mulai hal remeh temeh hingga hal yang sangat serius dalam kehidupan sosial. Sebut saja, misalnya, karena sikap iri yang berlebihan seseorang bisa jadi menjadi pembenci, ketika tidak suka dengan tetangganya yang memiliki sepeda baru. Padahal, sepeda yang dibeli berasal dari uang sendiri, bukan mengambil uang darinya.

Bukan hanya itu, kebencian pada skala yang agak serius juga bisa disebabkan karena perbedaan kelompok. Orang yang berada dikelompok tertentu, akan selalu membenci kelompok lain yang berbeda pandangan, bahkan berbeda ideologi dalam memperjuangka kepentingannya. Kebencian model ini menjadi penyebab hubungan antar anak bangsa terserabut dari akar nilai luhur kebangsaan, yang sejak dulu diajarkan hidup rukun dan gotong royong dalam semangat keberagaman, baik agama, suku maupun ras.

Parahnya, kelompok yang biasa membenci selalu mencari kesalahan lawannya, tanpa mau bergerak dalam semangat fartabiqul khoirat (berlomba-lomba dalam kebaikan). Begitu kuat sikap bencinya, tidak sedikit kelompok yang sudah merasa paling benar menggunakan simbol-simbol agama sebagai legitimasi dalam rangka memaksakan kehendaknya kepada kelompok yang berbeda, sambil berteriak di jalan-jalan dengan seragam kebesarannya dalam setiap aksi demo.

Wajah Islam dalam pikiran dan tindakan mereka terkesan kaku, keras, bahkan menghakimi yang berbeda. Ruang diskusi, tabayyun, mendengarkan penjelasan yang lain dan lebih-lebih memaafkan yang berbeda sudah tidak ada dalam kamus pikiran dan tindakannya, kecuali yang berbeda harus disingkirkan dan selanjutnya kepentingan politik diambil alih agar sesuai dengan kepentingan ideologinya, walau dalam konteks tertentu kepentingan ideologis yang diteruskan dalam aksi demo dijalan-jalan berpotensi mengganggu nilai-nilai kebangsaan kita yang telah diwariskan dari para pendiri bangsa (the founding fathers).

Begitulah, bila kebencian menjadi standar gerak dalam bersosial, termasuk dalam beragama. Kebencian yang sudah mandarah daging menjadi sebab hilangnya rasa kasih sayang, sikap mau tabayun, memaafkan yang salah dan nilai-nilai luhur lainnya yang ada dalam Islam. Yang ada dari kebencian adalah membully, mencaci maki, menghina, menghakimi, hingga memaksakan kehendaknya kepada yang lain.

Karenanya, kebencian ini harus segera disingkirkan, jika ingin menjadi Muslim yang sebenarnya. Sang Nabi dalam banyak hadisnya memberikan tuntutan dan keteladanan agar kita terus menebar salam dan ramah kepada siapapun, bahkan termasuk pada musuh sendiri. Kalaupun harus menyerang musuh, tetap saja Sang Nabi dalam konteks pembelaan diri sehingga tetap bersikap ramah kepada yang tidak berdaya, kepada anak-anak dan perempuan.

Sang Nabi misalnya mengatakan yang artinya sebagai berikut: “bukan mukmin yang sempurna, seorang yang suka mencerna (tha’an) dan suka mengutuk (la’an).” Abdullah ibn Umar ra. juga menambahkan bahwa “hamba yang paling dibenci oleh Allah adalah hamba yang suka mencerca dan suka mengutuk (yang lain). Pesan ini sangat beralasan mengingat ungkapan dalam kitab Ahadits Akhlak karya “Abdul Razzaq ibn Abdul Muhsin al-Badar  (hal, 172) sebagai berikut:

ودين الله عز وجل مبناه فى التعامل بين عباد الله على النصح والرحمة. ومن يكثر من الطعن فى الناس ليس ناصحا لهم، ومن يكثر من اللعن ليس رحيما بهم.

“Agama Allah 'azza wa jalla, pondasinya dalam konteks interaksi antara hambaNya selalu berpegang pada memberi nasehat dan tebar kasih sayang. Siapapun yang banyak mencerca yang lain, sama artinya bukan memberi nasehat padanya. Dan siapapun yang banyak mengutuk yang lain, sama artinya tidak penyayang padanya.”

Oleh karenanya, Pro dan Kontra Surat Edaran Pedoman Penggunaan Pengeras Suara, harus segera disudai dengan cara-cara bijak mengikuti pada yang apa diajarkan oleh Sang Nabi.  Substansi pesannya harus menjadi pegangan agar di antara kita muncul saling menyayangi dan jauh dari sikap emosi berlebihan sehingga tidak mudah terpengaruh oleh kebencian yang sengaja disebar melalui medsos atas nama membela Islam.

Memang berat, tapi butuh kelapangan hati, sekaligus kedewasaan beragama dalam konteks memaknai segala perbedaan di tengah kehidupan berbangsa dan bernegara. Ojo sampek golek iwak teri, tapi sing ilang iwak bandeng, jangan sampai mencari ikan teri, tapi yang hilang ikan bandeng. Jangan sok membela Toa atau adzan, tapi dilakukan dengan cara memaki dan menghina tanpa mau menerima penjelasan yang sebenarnya, apalagi dalam kesehariannya tidak pernah memperhatikan panggilan adzan.

Berbeda itu boleh, karena memang tidak harus sama. Tapi, jadikan perbedaan itu sebagai modal dalam merajut ukhuwah Islamiyah, ukhuwah basyariyah, dan ukhuwah wathaniyyah . Jika tidak, apalagi kita terus mengedepankan emosi, nafsu politik dan kebencian, berarti kita mengabaikan pesan Sang Nabi. Semoga kita terus belajar dan lapang dada melihat perbedaan dengan akal budi, bukan dengan emosi dan kebencian. Semoga.  

---------

photo dikutip dari https://ms.pngtree.com/freepng/stop-the-hate_6234633.html    

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.