WAJAH SHOLATMU, WAJAH SOSIALMU

Wasid Mansyur
Pegiat Madzhab Wonocolo, Dosen FAHUM UINSA Surabaya


Dalam banyak hal peringatan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW mengajak kita untuk merefleksikan kembali kekuasaaan Allah SWT yang maha dahsyat dan unlimited. Pasalnya, di tengah alat tranportasi serba tradisional –jika dibandingkan kondisi terkini--- Nabi Muhammad bisa menempuh –dengan kekuasaanNya-- jarak dari Makkah ke Palestina dalam waktu yang relatif singkat, padahal jarak keduanya sekitar 1.200 KM, belum lagi menempuh ke langit yang telah ditentukan. 

Karenanya, cukup beralasan bila kemudian, Allah mengawali firmanNya dalam surat al-Isra’ ayat 1 dengan kata “subhana” (maha suci), yang menandakan kalimat-kalimat setelahnya adalah kejadian aneh dan di luar nalar kebiasaan. Menariknya, kekuasaan Allah kaitannya dengan perjalanan cepat ini –diakui atau tidak—menjadi motif perkembangan alat tranfortasi, misalnya pesawat dan lain-lain, seiring dengan kemampuan manusia menangkap spirit kekuasaanNya melalui pengembangan ilmu pengetahuan. Walau tidak secepat kekuasaanNya, kita bisa menyaksikan perjalanan cepat bisa dilakukan dengan pesawat, yang biasanya harus ditempuh dengan berjam-jam. Misalnya jarak Surabaya ke Jakarta atau sebaliknya.

Itulah salah satu hikmah Isra’ dan Mi’raj. Nilai ini yang penulis sebut sebagai pembumian nilai-nilai langit.  Artinya, kekuasaan Allah yang maha dahsyat harus ditiru dalam konteks menuju perkembangan peradaban kemanusiaan dengan kesadaran keilmuan, walau dalam konteks tertentu manusia selamanya tidak mungkin menyamaiNya, bahkan  jangan sampai mengaku sebagai diriNya atas prestasi keilmuan yang dicapai.


Sholat Kemanusiaan

Peristiwa lain yang berkaitan dengan Isra’ dan Mi’raj adalah kewajiban melaksanakan sholat lima waktu. Sholat yang dilakukan dengan jumlah rakaat 17 adalah buah dari rahmat Allah menyesuaikan dengan daya tahan rata-rata umat Islam; umat Nabi Muhammad, jika dibandingkan dengan umat yang lain, seperti umat Nabi Musa. Karenanya, Sholat menjadi  momentum munajat kepadaNya agar kita tidak terus terjirat oleh kefanaan duniawi sehingga ada jedah dalam setiap waktu untuk mengingat kebesarannya sehingga tidak melupakan nilai hakiki sebagai manusia, penghamba (liya’budun).

Tapi memang, kaitan dengan sholat ada ungkapan Nabi Muhammad SAW yang layak menjadi renungan bersama –dalam konteks momentum Isra’ dan Mi’raj-- agar tidak terjebak pada rutinitas sholat tanpa makna bagi kemanusiaan. Beliau mengatakan: “siapa orang yang sholatnya tidak mampu mencegah dari perbuatan keji dan munkar, niscaya ia akan semakin jauh dari Allah.” Karenanya, untuk mencapai nilai ini, tidak cukup sholat dimaknai hanya gerakan fisik dengan sujud, ruku, dan lain-lain. kepuasaan pada gerak fisik –dan gerak duniawi lainnya—menjadi sebab orang lupa kepada nilai-nilai kemanusiaan yang ditangkap dari rutinitas mengerjakan sholat.

Untuk itu, dalam sholat diperlukan khusuk agar jiwa mampu menangkap hikmah yang ada dalam sholat itu, khususnya bagi kehidupan manusia yang lain. Pertama, misalnya, dalam sholat ada sujud. Sujud mengajarkan kelemahan kita sebagai manusia dihadapanNya. Siapapun orangnya dengan status yang berbeda, ketika sujud harus sama sesuai dengan anjuran al-Syari’, misalnya dengan mengangkat pantat lebih tinggi dari kepala.

 Karenanya, dari sujud kita bisa belajar agar tidak boleh sombong di tengah kehidupan bermasyarakat. Kesombongan berpotensi menimbulkan penyakit sosial lainnya, misalnya menghina atau merasa ia paling hebat dibandingkan dengan lain. Hadirkan nilai-nilai sujud ---yang mulanya berorientasi sebagai kepatuhan padaNya-- menjadi etika kemanusiaan agar antara sesama saling menghargai dan menghormati, bukan saling menghina hingga mengintimidasi.

Kedua, sholatpun juga diakhiri dengan salam ke kanan dan ke kiri. Pesannya, “Salam” dalam sholat ini menjadi titik pamungkas dalam hidup agar kita terus menebarkan damai kepada sesama. Komitmen menebarkan salam memiliki arti agar kita tidak hanya memikirkan diri sendiri, kepuasan diri sendiri sehingga berpotensi mengabaikan usaha untuk terlibat dalam mengentaskan orang lain dalam keterpurukan hidup.

Menghamba pada diri sendiri adalah penyebab munculnya penyakit sosial. Bahkan bisa menjadi penyakit kebangsaan bisa dilakukan dalam konteks yang lebih besar. Sebut saja misalnya, hanya karena kepentingan kelompok atau partai tertentu,  tidak sedikit orang bangga “sikut” dan “terkam” orang lain. Yang penting dirinya atau kelompoknya senang, urusan yang lain tak perlu dipikirkan dengan serius sambil tertawa dalam senang. Lagi-lagi, penyakit sosial seperti ini makin meningkat seiring dengan perkembangan komunikasi melalui media sosial. Tidak ada strata sosial di medsos, semua orang dengan bebas komentar atas dorongan emosi. Bahkan akal sehat sering kali mati, hanya karena terbawa emosi sesaat yang dikontruksi oleh berita-berita liar dan tanpa tabayyun.

Di medsos, orang dengan mudah menyakiti yang lain, hanya karena berita yang dibaca digroup WhatsApp. Berita yang tidak penuh, alias sepotong-potong sering dianggap benar, lantas mengeshare dengan bangganya agar dianggap sebagai individu yang eksis di dunia maya. Padahal, pemotongan berita, video dan gambar yang tidak sebenarnya menjadi pemantik kesalahan tafsir sehingga memunculkan tindakan yang tidak baik, untuk tidak mengatakan salah, dan merugikan yang lain. Parahnya, gerak model ini terkadang disengaja, lantas disebarkan dengan sengaja pula dalam berbagai WAG agar publik medsos gaduh.

Maka, pertanyaan adakah prilaku ini berkaitan dengan sholat kita. Atau mungkin, masjid-masjid yang penuh dengan sholat berjamaah masih terjebak para gerak kepuasan fisik, tanpa berusaha untuk meningkatkan kualitas sholat menuju khusuk dan perenungan terhadap gerak dan apa yang dibaca. Pasalnya, hanya dengan sholat khusuk dan penuh perenungan  yang dapat mengantarkan seseorang mampu membumikan nilai langit yang ada dalam sholat sebagai nilai kemanusiaan untuk perdamaian bumi, tempat pijak kita sebagai manusia.. Semoga sholat kita selalu dalam peningkatan kualitas sejati, yakni mampu menjadi spirit kebajikan dan damai dengan yang lain, mengingat “Wajah Sholatmu adalah Wajah Sosialmu .” Amin..  

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.