Kiai Abi Sudjak Sumenep; Karya, dakwah dan Ajaran Positive Thinking


Isqomar
Mahasiswa Jurusan SPI UIN Sunan Ampel Surabaya

Kiai Abi Sudjak merupakan ulama asal Sumenep Madura, yang menurut beberapa catatan disebut-sebut sebagai pendiri Nahdlatul Ulama (NU) di Sumenep. Sayangnya, tidak banyak orang tahu tentang perjalanan hidup beliau, meski itu orang Sumenep sendiri. Padahal, Kiai Abi Sudjak telah memberikan legacy (warisan) berharga kepada kita semuanya. Beliau tidak saja meninggalkan pondok pesantren yang telah melahirkan banyak Kiai -yang juga mendirikan pondok pesantren –namun juga meninggalkan sebuah kitab berjudul Siraju al-bayani li nawazili al-zamani. 

Kiai Abi Sudjak adalah putra dari KH. Jamaluddin Kebunagung. Sedangkan ibunya merupakan kakak dari KH. Zainal Arifin, seorang ulama pendiri pondok pesantren Terate dan juga aktivis Sarekat Islam (SI) yang terkenal “galak” melawan monopoli garam di Sumenep, ketika dikuasai Belanda. Kiai Abi Sudjak adalah Kiai nasionalis, beliau dikenal sebagai pejuang dari kalangan santri yang turut andil dalam upaya mengusir penjajah. 

Semangat kebangsaan Kiai Abi Sudjak menjadi alasan kemudian pondok pesantren Banasokon yang diasuhnya pernah menjadi markas perjuangan rakyat untuk melawan penjajah. Tidak ada catatan pasti mengenai tahun kelahiran Kiai Abi Sudjak, namun seperti yang tertera pada nisan kuburan beliau, Kiai Abi Sujak lahir tahun 1885 dan wafat tahun 1948 Masehi.

Di samping itu, semangat Kiai Abi Sudjak dalam mensyiarkan Islam tidak saja berdakwah melalui kompolan (perkumpulan) di tengah masyarakat dengan mengajarkan tentang ajaran Islam. Tapi, beliau juga merupakan salah satu kiai yang produktif dakwah dengan literasi dengan menulis beberapa kitab. Sayangnya, dari sekian banyak kitab karyanya, hanya kitab Siraju al-bayani li nawazili al-zamani yang penulis ditemukan.

----------------------

Sesuai dengan nama kitab, jika dilihat dalam setiap kata judulnya, Ų³Ų±Ų§Ų¬ : yang bermakna cahaya, ŲØŁŠŲ§Ł† : penjelasan, Ł†ŁˆŲ§Ų²Ł„ : permasalahan, dan Ų²Ł…Ų§Ł† : waktu. Dengan demikian, kitab ini setidaknya ditahbiskan dalam rangka sebagai pencerahan di zaman yang penuh permasalahan umat. Secara substansi, kitab tersebut menjelaskan tentang masalah-masalah keagamaan dan kemasyarakatan merujuk kepada al-Quran, Hadits Nabi dan fatwa-fatwa Imam fiqih, termasuk Imam Syafi'i. Konon, kitab tersebut ditulis oleh Kiai Abi Sudjak ketika masih nyantri kepada Syaikhana Muhammad Khalil ibn Abdul Lathif  Bangkalan atau yang masyhur dikenal dengan Mbah Khalil Bangkalan.

Menariknya, kitab tersebut ditulis dengan aksara pegon berbahasa Madura. Dengan demikian, bisa ditarik benang merah bahwa Kiai Abi Sudjak dalam menyebarkan Islam menjadikan budaya sebagai transportasi dakwahnya. Strategi dakwah demikian memang sudah lumrah dipakai oleh para penyebar Islam di Indonesia. Sudah ada barometer dan parameter keberhasilannya, yaitu pada keberhasilan dakwah walisongo. Maka tidak heran, jika banyak para Kiai sesudahnya mengadopsi strategi yang sama, tidak terkecuali Kiai Abi Sudjak itu sendiri.

Dugaan bahwa Kiai Abi Sudjak berdakwah menggunakan budaya semakin menguat dengan ditemukannya motif mihrab dalam surau tempat beliau morok (mengajar). Menariknya, dalam motif mihrab ini berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam kitab, kali ini menggunakan aksara pegon berbahasa Jawa yang bertuliskan tiga kalimat, yaitu: pertama, “robbul masriqi wal maqiribi laailaha illallah fattakhidhu wakila. Allah Muhammad”. kedua, hadzal masjid ma'al baiti wa ahliha min.....alal jami'il muslimin 'ammah” dan yang ketiga,pamĆŖling dening langgar selajĆŖnge punika mangkono...”. dari tiga hal tersebut, jelas bahwa Kiai Abi Sudjak menginginkan sebuah surau dengan ikon budaya yang di dalamnya tersirat nilai-nilai Islami. Selian itu, menggunakan bahasa lokal akan mempermudah masyarakat memahami Islam itu sendiri.

 

Perlunya Positive Thinking

Ajaran positive thinking tersebut, terdapat dalam Q.S al-Mulk:12, Kiai Abi Sudjak memaknai sebagai berikut: 

“Saongguna oreng se
pade tako’ de’ka Allah, neng e samara apa pole neng e ngatonna tanto olle sapora ben genjeren soarge se raje”. 
(Sesungguhnya seseorang yang takut kepada Allah diwaktu samar, terlebih diwaktu terang (jelas), maka akan mendapatkan pengampunan dan pahala surga yang besar)"

Dalam penjelasan tersebut, Kiai Abi Sudjak menggunakan kata majaz, takut kepada Allah di waktu “samar” dan “terang/jelas”. “Samar” tidak saja dalam arti perbuatan manusia yang tidak diketahui oleh manusia lainnya (tampak), tetapi juga dalam urusan hati (tidak tampak) seperti dengki, negative thinking, benci dan lain sebagainya. Tidak saja kepada Allah, tapi juga kepada semua makhluk-Nya. Dalam pribahasa Gus Dur, memuliakan manusia berarti memuliakan pencipta-Nya. Merendahkan manusia berarti merendahkan dan menistakan pencipta-Nya.

Adagium Kiai Abi Sudjak tersebut, menarik jika ditarik dalam konteks kekinian, dimana budaya positive thinking sudah mulai luntur dari kebiasaan banyak orang. Menjamurnya kelompok-kelompok yang merasa paling benar sendiri dan melakukan takfiri kepada kelompok yang berbeda dari mereka adalah implikasi dari terkikisnya budaya positive thinking. Tidak heran, jika dalam beberapa waktu belakangan banyak bermunculan kelompok-kelompok yang acapkali menjelma manjadi hakim syariat yang mengadili sesuka hati. Mereka yang tidak sepemikiran atau sekubu dijustifikasi kafir (keluar dari Islam). Sebaliknya, mereka yang satu frekuensi adalah yang beriman (Islam).

Masih ingat, ketika Quraish Shihab mengeluarkan fatwa bahwa memakai jilbab tidak wajib, serentak kelompok-kelompok tersebut ramai-ramai mengkafirkan, menyesatkan bahkan ada yang menghujat, memaki dan menfitnah beliau. Maksudnya, jika tidak setuju atau tidak suka terhadap pendapat seseorang –yang kita bebas mau mengikuti atau tidak mengikutinya –menjadikan halal kita menghakimi atau memusuhi orang tersebut.

Berburuk sangka kepada seseorang _yang merupakan kebalikan positive thinking_ ibarat racun yang akan membuat kita benci terhadap seseorang. Bahkan kuatnya kebencian yang ada dalam diri seseorang, bisa menjadi tabir (penghalang) untuk melihat kebaikan-kebaikan orang lain. Merasa bahwa dirinya yang paling baik dan paling benar di dunia ini, sementara yang lain salah.

Akhirnya, mempertegas dawuh Kiai Abi sujak dalam Q.S al-Mulk; 13 14, sejatinya Allah SWT lebih tahu kepada isi hati seseorang dan setiap makhluk-Nya. Allah Maha Tahu atas hakikatnya. Oleh sebab itu, kita sama sekali tidak punya hak untuk menjadi “hakim” atas praktik keagamaan seseorang sebab kita sebenarnya bukan siapa-siapa dan dalam hidup ini kita hanya numpang kepada-Nya. Jadi, cukup Allah yang menjadi hakim atas perbuatan manusia. Kita sesama manusianya cukup berusaha melakukan perbuatan yang terbaik sembari saling mengingatkan antar sesama.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.