Bermaksiat, Aku Menjadi Kaya?


Wasid
Pemerhati Sosial dan Keagamaan, Dosen FAH UINSA Surabaya

Pada suatu hari penulis mendapat pesan melalui whatsApp dari teman karib yang berprofesi sebagai salah satu wartaman di Surabaya. Isi pesan itu tidak biasanya sebab ia terbiasa hanya menanyakan tentang kabar dan hal lain yang remeh temeh. Tapi, kali ini ia serius menanyakan tentang fenomena hidup sebagai Muslim,  di tengah-tengah kehidupan perkotaan yang sangat kompleks di satu sisi, dan di sisi yang berbeda ada tuntutan menjadi Muslim yang terbaik dimanapun.

Teks pertanyaaan yang terlontarkan adalah “Cak akeh konco yang merasa, jika berbuat hal-hal yang diharamkan justru dimudahkan jalan. Banyak uang yang mengalir entah dari-mana. Tapi ketika sudah ingin berhenti, justru uang itu susah atau pas-pasan. Sak jane konsepe “Pengeran” ini pripun cak?.” Pertanyaan dengan logat bahasa Jawa campur Indonesia ini sejatinya ingin menanyakan bagaimana sejatinya rizki dalam pandangan Islam, dan sejauh mana otoritas Tuhan dalam memberikan rizki. Adalah rizki itu berkaitan dengan kesalehan dan kemaksiatan seseorang?.

Untuk menjawab pertanyaan ini, melalui whatsApp juga dengan sederhana penulis mengatakan bahwa rizki yang diberikan Allah kepada makluknya tidak ada hubungannya kondisi mereka, walaupun yang mesti kita lakukan harus berusaha sebagai bentuk ikhtiyar, dan hasilnya memasrahkan kepada putusanNya. Sifat rahmat Allah kaitan dengan rizki hampir dirasakan oleh semua, baik yang baik dan yang bermaksiat. Bahkan yang kafir sekalipun, Allah dengan rahmatNya masih memberikan rizki-NYa.

Dialog sederhana dengan wartawan memalui whatsApp ini nampaknya menjadi pikiran penulis sehingga perlu menuangkan pikiran melalui tulisan sederhana dalam rangka menambah keyakinan bahwa rizki yang kita peroleh tidak hanya berkaitan dengan banyaknya, tapi juga berkaitan sejauh mana rizki itu benar-benar menuai keberkahan untuk semakin mengukuhkan diri kita sebagai manusia hakiki yang hidup di dunia sebagai langkah awal untuk menuju hidup abadi di akhirat.

Tidak sedikit orang berangkat pagi, pulang malam untuk mencari rizki dengan hasil yang berbeda-beda. Tidak harus, kerja dengan waktu yang sama, menghasilkan rizki yang sama. Tidak mesti juga Ijazah tinggi menghasilkan rizki melimpah. Bukankah, tidak sedikit orang kaya itu lahir dari orang biasa, yang tidak memiliki ijazah. Kesungguhan dan keuletan dalam proses mengantarkan kekayaannya melimpah.

Lagi-lagi sebagai orang berakal, tugas kita hanya berproses dan berproses sebagai bentuk ikhtiyar, bukan berpangku tangan mendambakan uluran tangan dari orang lain sebagai bentuk belas-kasihan. Karenanya, sang Khalifah kedua, Umar Ibn Khattab Mengingatkan:

لا يقعُدَنَّ أحدُكم عن طلب الرزق ويقول: اللهم ارزقني، وقد علِم أن السماء لا تُمطِر ذهبًا ولا فِضة

“Salah satu diantara kamu semua, jangan hanya duduk berharap rizki. Lantas berdoa: Ya Allah berilah saya rizki. Padahal, sungguh dia tahu bahwa sesungguhnya langit tidak akan menurunkan hujan berupa emas dan perak.”

Oleh sebab itu, tidak tepat anggapan bahwa rizki Allah lancar, ketika sedang maksiat. Tapi, ketika kita ada rencana untuk bertaubat malah semakin berkurang. Pasalnya, rizki Allah akan dilimpahkan kepada yang maksiat, juga kepada yang shalih sesuai dengan kadar usaha yang dilakukan. Bedanya, orang yang shalih akan mengantarkan kelimpahan rizki sebagai jalan untuk bersyukur sehingga memantik untuk semakin dekat kepadaNYa. Tapi, pelaku maksiat yang kelimpahan rizki akan senantiasa “kemaruk” dengan dunia sehingga lalai dengan kehidupan akhiratnya.

Selebihnya, yang perlu diipahami bahwa rizki bukan hanya berupa harta. Iman yang kuat, taat beribadah, sabar dalam menerima cobaan, syukur ketika memperoleh nikmat, dan hal-hal baik non fisik lainnya adalah kenikmatan dari Allah yang luar biasa. Kesadaran tentang ini penting untuk ditanamkan agar aktivitas yang dilakukan dalam keseharian tidak terjebak pada kebahagiaan duniawi (hedonism). melupakan kebahagiaan hakiki (ukhrowi). Dengan begitu, maka layak dikatakan _mengutip sprit nilai kenabian__ bahwa “kaya tidak bisa diukur dengan kepemilikan harta yang melimpah. Tapi, kaya ditunjukkan dengan hati yang selalu merasa cukup”.

Pelaku maksiat boleh berbangga diri dan bahagia, ketika ia memiliki mobil termahal, rumah mewah, istri cantik dan lain sebagaimana, tapi ketahuilah semua itu adalah kebahagiaan semu. Dikatakan semu sebab ketika pelaku maksiat meninggal, semua akan ditinggalkan. Bahkan tidak sedikit menjadi rebutan orang-orang di sekitarnya. Dengan bangga melakukan maksiat dan larut lumuran dosa dengan rizki melimpah, bisa jadi pelakunya sedang berada dalam kondisi jebakan dari Allah (istidraj). Semakin ia melupakanNYa, kelak dapat dipastikan akan dilupakanNYa sebab hidup akan senantiasa berakhir.

Bukankah kita semua perlu mengambil ibrah dari Fir’aun atau Qorun. Termasuk mengambil ibrah kepada Tsa’laba; tokoh yang meminta doa __agak memaksa_ kepada Nabi Muhammad Saw. untuk menjadi kaya raya. Tapi ketika Allah mengabulkan doa Nabi Saw. dan Tsa’laba benar-benar kaya raya dengan hanya berbekal seekor kambing, perubahan gaya hidupnya sangat draktis. Ia sudah tidak lagi ditemukan sholat berjama’ah bersama Nabi Saw. Bahkan, lebih parah lagi, dengan sombongnya Tsa’laba menolak untuk memberikan zakat, ketika ada utusan Nabi Saw meminta kewajiban zakatnya. Dan akhirnya, Tsa’laba hidup dalam.ketidakjelasan hingga meninggal pada era Khalifah Ustman ibn Affan.

Sungguh, salah menyikapi rizki atau dunia akan berpotensi seseorang lupa pada apa yang seharusnya dilakukan, yakni beribadah (hubbub al-dunya ra’su kulli khathiatin). Semua kondisi hidup, misalnya kaya atau miskin. dipastikan ada hikmahnya; setidaknya menguji mentalitas kita agar mampu bersyukur ketika kekayaan itu ada, dan bersabar ketika ada musibah yang menimpa. Tanpa gerak syukur dan sabar dalam menyikapi kehidupan akan menjerumuskan orang mudah tersesat, bahkan dapat berpotensi memilih jalan putus asa.

Cerita Rizki Berkah

Dalam soal rizki, penulis teringat kisah santri yang bernama Sholeh. Cerita ini menarik, sebab Sholeh bergerak dari usaha memperoleh rizki tertentu bergeser untuk memilih jalan baru untuk meraih rizki yang lain. Pilihan yang sangat berat sebab yang pertama sudah meranjak sukses, sementara yang kedua harus beranjak dari nol lagi. Lantas bagaimana ceritanya, berikut ulasannya:

 “Suatu ketika Sholeh yang dikenal santri tulen, setelah pulang dari nyantri membangun rumah tangga. Untuk memenuhi kebutuhan hariannnya, ia merintis usaha dengan membuka galangan. Lambat tapi pasti, galangan yang dirintisnya mengalami perkembangan yang sangat pesat sebab para pelanggan banyak tertarik dengan barang-barang yang dijual. Di luar dugaan, apa yang dialami Sholeh mendapat pantauan ayahnya.”

“Singkat cerita, ayahnya memaksa Sholeh untuk meninggalkan usaha yang dipandang sukses dengan mengarahkan agar membangun pondok pesantren. Sebuah pilihan yang cukup berat, tapi Sholeh memiliih patuh pada orang tua.  Apapun yang terjadi setelah meninggalkan bisnis galangannya, Shaleh selalu menghadapi dengan sabar dan  selalu mengikuti falsafah “Ngalah”dengan fokus membesarkan pondok yang dirintisnya. Hari demi hari terus berjalan, ternyata pondok itu terus mengalami perkembangan pesat. Bahkan perkembangan pondok ini mampu menarik perkembangan roda ekonomi bagi masyarakat seiring santri terus bertambah jumlah.”

 Cerita tentang Sholeh adalah salah satu dari kisah bagaimana strategi jitu dan falsafah orang memandang dan memaknai rizki. Bahwa dengan menentukan pilihan yang kedua, yakni dengan fokus mendirikan dan mengembangkan pesantren, Sholeh mendapat segalanya yang tidak mungkin diperolehnya, jika dia bertahan fokus pada bisnis galangan. Saat ini, Sholeh menjadi pengasuh pesantren yang sangat diperhitungkan kharismanya oleh semua kalangan dengan aset pesantren, sekolah formal hingga perguruan tinggi. Dan Sholeh yang dimaksud dalam tulisan ini dikenal dengan sebuah KH. M.  Sholeh Bahruddin, pendiri dan pengasuh pondok pesantren Ngalah.

 Dari sini bisa dipahami bahwa jalan memperoleh rizki tidaklah satu arah, walau rizki tidak bisa hanya diukur dengan materi saja. Artinya, materi itu tetap penting, tapi melupakan dimensi rizki rohani sangat berbahaya bagi kehidupan manusia. Alih-alih bahagia, pelakunya akan lepas kendali menghamba pada dunia sehingga ia terjebak pada kebahagiaan semu menuju kesengsaraan yang abadi.

Mengakhiri tulisan ini, penulis mengutip perkataan imam ibnu Athaillah al-Sakandari sebagai bahan renungan di tengah kehidupan yang tidak jarang kita terperosok dalam dosa atau kemaksiatan:


معصية أورثت ذلا وافتقارا خير من طا عة أورثت عزا واستكبارا

“Maksiat yang melahirkan kehinaan dan kefakiran jauh lebih baik daripada ketaatan yang melahirkan rasa bangga dan sombong”

Ungkapan ibn Athaillah mengingatkan kepada kita yang mudah alfa dan tidak jarang terpelosok dalam kemaksiatan untuk segera melakukan intropeksi dan sadar bahwa kita ini hina di hadapan Allah SWT, dan sangat membutuhkan segala taufiqNya dalam menyikapi segala hal. Langkah ini disadari atau tidak akan memantik pergerakan batin-lahir untuk kembali kepada jalan kebenaran yang dianjurkan agama, yakni mentaati perintah Allah dan RasulNya serta berusaha meninggalkan semua aktivitas yang menyebabkan jadi Pendosa.

Sebaliknya, mereka yang sudah melakukan kebaikan tidak boleh menampakkan kebanggaan berlebihan hingga jatuh pada perasaan mulia dan sombong. Pasalnya, cara ini dipastikan menjadi sebab ia tidak mengalami peningatan beribadah, bahkan bisa terjerumus pada penyakit batin merasa yang terbaik dan orang lain tidak baik. Padahal, prilaku yang secara dhahir baik, belum tentu di hadapan Allah itu baik, ketika pelakunya masih terhinggapi penyakit batin.  

Akhirnya, jangan pernah bangga berlebihan dengan capaian duniawi. apalagi secara bersamaan bermaksiat kepada penggerak sejatinya, yakni Allah SWT. Bukankah Allah sangat mudah, membalik keadaan sehingga seseorang dengan sekejab berada dalam kondisi terpuruk. Tidak ada jalan kebaikan dalam hidup, kecuali menjaga keseimbangan dalam melakukan aktivitas keseharian. Karenanya, kesibukan apapun dalam urusan duniawi__sebagai bentuk ikhtiyar mencari rizki__, seseorang harus tetap tidak melupakan jalan kebajikan ukhrawi. Dengan memilih jalan keseimbangan,  Ia akan hidup selalu dalam keberkahan, bahkan menyebabkan berkah dalam akhir kehidupan dengan predikat khusnul khatimah. Amin… 

  

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.