HARAPAN BARU UNTUK MUI


Wasid Mansyur
Dosen FAH UINSA Surabaya

Secara definitif, akhirnya kepemimpinan Pusat Majelis Ulama Indonesia (MUI) terbentuk dengan terpilihnya KH. Miftahul Akhyar sebagai Ketua Umum MUI masa Bakti 2020-2025. Itu artinya, Prof (DR). KH. Ma'ruf Amin telah diganti dan sudah sewajarnya diganti, mengingat yang bersangkutan menjabat Wakil Presiden mendampingi Presiden Joko Widodo yang tidak efektif bila terjadi dualisme kepemimpinan (al-mustaghil la Yusghal).

Hasil Munas MUI ke-10 tahun 2020 banyak ditunggu masyarakat mengingat peran MUI sangat strategis dalam mengawal rasa kebersamaan dan persatuan umat dalam bingkai perbedaan. Pasalnya, MUI adalah media bertemunya keterwakilan beragam karakter umat Islam dari berbagai kelompok untuk menyatukan persepsi kaitan hal berkaitan hajat orang banyak, khususnya yang berhubungan dengan isu-isu keagamaan dan kebangsaan. 

Perlu diketahui, dalam banyak hal, khususnya era dekade terakhir ini, MUI masih menyisakan banyak persoalan, yang dikritik banyak kalangan. Yang semestinya MUI berperan memberikan kesejukan, malah menjadi pemantik munculnya konflik di tengah masyarakat. Ini terjadi disebabkan adanya individu-individu di MUI yang berpikir konservatif sehingga sering berakrobat menggunakan isu-isu agama untuk kepentingan politik jangka pendek. 

Individu yang menjabat di MUI adalah --- setidaknya bisa diukur- menggambar masa depan MUI ke depan. Pastinya, bila masih ada banyak orang-orang yang berpikir jangka pendek, misalnya mudah berakrobat dalam politik praktis, dapat dipastikan MUI sulit fokus berbuat terbaik untuk kemaslahatan umat. Bahkan bisa jadi, MUI malah menjadi tameng individu yang berhasrat politik sesaat demi pencapaian kepentingan pribadi atau kelompoknya. 

Harapan Menyejukkan

Pernyataan perdana Kiai Miftahul Akhyar setelah terpilih sebagai Ketua MUI menarik dan menjadi harapan bersama kaitan dalam mendifinisikan ulama dan tugas pokoknya dalam konteks keagamaan dan kebangsaan. Pertama, tugas pokok berdakwah. MUI sejatinya mengemban tugas mulia dan penjaga moral untuk mengajak umat konsisten dalam roda hakiki sebagai manusia untuk terus menjaga keseimbangan dalam mewujudkan kemaslahatan, antara kehidupan yang berorientasi ketuhanan (vertikal) dan kehidupan yang berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan (horizontal).

Karenanya, berdakwah harus mengedepankan cara terbaik (wa jadilhum billati hiya ahsan). Cara yang kurang tepat, untuk tidak mengatakan salah, akan merusak tujuan mulia dari semangat berdakwah, yaitu menuju perbaikan umat. Dengan begitu, harapan besar keteladanan tokoh-tokoh di MUI menjadi terdepan, yang salah satunya menjadi contoh dalam mengedepankan ujaran yang menyejukkan umat, membiasakan tabayun dan tidak mengumbar kebencian kepada yang lain. 

Harapan ini penting agar roda gerak MUI ke depan berada dalam lajur moderasi untuk terus berkhidmah pada upaya menciptakan kemaslahatan berbasis keagamaan (al-maslahah al-diniyah) di satu sisi dan di sisi yang berbeda kemaslahatan berbasis kebangsaan (al-maslahah al-wathaniyyah). Dua lajur pergerakan ini seyogyanya berjalan secara seimbang sehingga person-person di MUI tidak ada lagi yang berlaga antagonistik dengan berakrobat sambil berteriak atas nama agama, tapi melupakan kepentingan kebangsaan yang berpijak pada semangat kebhinekaan. 

Kedua, merahmati, bukan membenci. Prinsip ini adalah manifestasi dari nilai spirit luhur Islam rahmatan lil 'alamin. Implementasinya tidak mudah di tengah MUI terdiri dari beragam kelompok, termasuk pesatnya medsos sebagai media komunikasi dengan efek negatifnya. Tapi, melalui prinsip ini setidaknya semua perbedaan bisa didialogkan dengan berpijak pada kemaslahatan yang lebih besar. Penulis tidak yakin terwujud, bila ego setiap kelompok dikedepankan sehingga melupakan kepentingan bersama.

Dengan begitu, kaedah fikih "kemudharatan yang bersifat pribadi (dalam skala kecil) harus ditanggungkan untuk menolak kemudharatan yang bersifat umum (dalam skala besar), yutahammalu al-dharar al-khash li daf'i al-dharar al-'am), layak menjadi renungan bersama bagaimana MUI ke depan tidak hanya berpikir kemaslahatan kecil per-individu atau kelompok, tapi perlu memperhatikan kemaslahatan yang lebih luas, yakni kepentingan anak bangsa yang beragam dalam bingkai kebangsaan.

Kalaupun misalnya ada kebijakan pemerintah yang kurang pro-rakyat atau berpotensi menimbulkan bahaya besar, maka MUI harus berani mengambil sikap; setidaknya melakukan tabayyun dengan cara-cara bermartabat. Jangan kemudian kondisi ini diperkeruh oleh akrobat mencari panggung politik pumpung dengan alasan masih berada di MUI. Atau, hanya diam terhadap kebijakan pemerintah tidak melakukan apa-apa sebagaimana dikhawatirkan oleh banyak kalangan, padahal respon MUI ditunggu banyak kalangan atas tawarannya yang solutif. 

Semua berharap MUI memberikan kontribusi terbaiknya bagi bangsa. Nama-nama baru yang muncul dan dikenal memiliki integritas keilmuan dan integritas amal, baik dari kalangan ulama atau intelektual Muslim, diberi kekuatan dan tetap istiqamah berbuat yang terbaik --melalui MUI-- bagi terwujudnya kemaslahatan agama dan bangsa.

Akhirnya, kepemimpinan MUI di bawah nakoda KH. Miftahul Akhyar sudah saatnya dinanti-nanti umat untuk terus memberikan warna dan keteladanan agar nuansa keagamaan ini tetap konsisten pada jalur moderasi di tengah keragaman bangsa ini terus mengalami berbagai cobaan, misalnya soal hoak, fenomena dai millenial, dan fenomena konservatisme dan radikalisme yang terkadang masih muncul mengacaukan kehidupan berbangsa. Semoga pengurus MUI periode 2020-2025 diberikan kekuatan untuk berbenah diri, sekaligus mempertegas perannya bagi kepentingan agama dan bangsa. Selamat Romo Kiai Miftahul Akhyar, sukses dan tetap sehat.amin...


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.