MENYIKAPI “PEMBENCI” SANG NABI

Wasid Mansyur
Dosen FAH UIN Sunan Ampel Surabaya,
Wakil Ketua PW GP Ansor Jatim, dan PW LTN NU Jatim 

Di tengah peringatan Maulid Nabi dirayakan dengan riang gembira sambil bershalawat di negeri ini, di tempat yang berbeda berbagai negara di dunia mulai memberikan sanksi sosial dengan memboikot –dan mengajak boikot—produk-produk Perancis. Ini terjadi akibat ulah Presidennya Emmanuel Macron dengan statemen kontroversinya yang menyinggung perasaan keyakinan umat Islam atas pembelaannya kepada pelaku pembuat Kartun Nabi Muhammad Saw. Macron memandang ini bagian dari kebebasan ekspresi yang harus dihargai, walau pelakunya seorang Guru Sejarah, Samuel Paty akhirnya mati  mengenaskan.

Kasus kartun Nabi Muhammad –selanjutnya disebut Sang Nabi Saw-- yang dibuat oleh Samuel Paty dipandang menciderai umat Islam, apapun alasannya. Pasalnya, kartunisasi Sang Nabi bagian dari upaya mendiskreditkan kesejatian jisim beliau, bahkan bisa jadi memanipulasi gambar atas nama Sang Nabi. Bukankah dalam konteks kehidupan sosial ini bagian dari pembohongan publik, sementara bagi keyakinan umat Islam hal-hal yang berkaitan dengan Sang Nabi adalah sumber inspirasi dalam hidup, untuk tidak mengatakan sumber hukum.

Karenanya, komunitas lain –baik lokal nasional maupun global-- semestinya menghormati keyakinan umat Islam, sebagaimana umat Islam diharuskan menghormati yang lain. Tapi, kebencian berlebihan terkadang mampu menutupi kecerdasan sehingga tidak jarang para pembenci selalu atas nama “rasionalitas” kebebasan berekpresi menganggap benar semua apa yang dilakukan, walau orang lain terasa tersakiti. Karenanya, kebencian adalah salah satu penghambat peradaban damai global itu terwujud sebab tidak ada damai, bila masih ada kebencian.

Komunitas global tak ubahnya kehidupan hutan belantara ---berikut hewan buasnya-- dengan ragam karakter dan ideologi negara yang berbeda. Tak mudah bersikap soal penistaan, apalagi dilakukan dengan tergesa-gesa sehingga main kasar dengan harapan segera beres. Padahal, penyelesaian secara membabi buta, untuk tidak mengatakan tindakan radikal, juga bermasalah menyisakan permasalahan baru yang tidak selesai dalam konteks dialog kemanusiaan. Belum lagi, bila ditumpai kepentingan sosial politik jangka pendek.

Matinya Party, guru yang membuat kartun Nabi Muhammad di Perancis sebagai media pembelajaran di kelas dengan cara mengenaskan menunjukkan peradaban dialog belum tercapai, dan tidak media yang mengedepankan ruang bertemu dan perbedaan. Begitu pula sebaliknya, ungkapan Macron yang berapi-api membela Party atas nama kebebasan ekspresi sambil mengatakan Islam sebagai agama yang mengalami krisis di seluruh dunia menjadi pemantik kontroversi yang semestinya tidak perlu terjadi, kecuali jika memang dilandasi hati yang penuh kebencian sehingga dianggap menjadi wajar dan sengaja dilontarkan.

Tegas plus Ramah

Apa yang terjadi di Perancis, penulis ingin katakan bisa jadi terjadi dalam konteks lokal dan nasional kita Indonesia dengan isu yang berbeda, yaitu isu yang menjadi pemantik konflik karena ujaran yang tidak mengindahkan psikis dan keyakinan atau tradisi orang lain yang berbeda, baik agama, suku dan ras. Bukankah, perkataan yang menghina suku tertentu di Indonesia, juga pernah memancing konflik dan aksi berkepanjangan. Karenanya, kita semua layak berhati-hati menyikapi “Pembenci” yang selalu memantik kebencian.

Dengan begitu, ketegasan menjadi penting, di samping tanpa melupakan sikap ramah. Pertama, tegas adalah upaya banding dengan menegur siapapun –dan dari negara manapun—yang memancing kontroversi dengan dasar kebencian. Langkah boikot produk Perancis, misalnya, adalah bentuk ketegasan diplomasi –walau diplomasi dialogis juga penting—agar Perancis juga sadar –atau dipaksa sadar diri-- bahwa komunikasi global butuh kebebasan yang bertatakrama yang tidak menyakiti lainnya, yakni komunitas Islam dunia.  

Di alam informasi yang sangat terbuka, melecehkan atau melakukan penistaan terhadap simbol-simbol agama –agama apapun baik Islam, Kristen, Budha, Hindu dan lain-lain—bisa memantik amarah bukan hanya bersifat lokal, tapi juga nasional hingga global. Dari Perancis kita bisa belajar, jangan pernah membenci atau mengujar kebencian, apalagi berlagak sombong mengabaikan etika bergaul sebab kebencian dan kesombongan akan memantik sanksi publik, misalnya jika semua negara mayoritas Muslim boikot produk Perancis bisa dipastikan ekonomi Perancis terganggu, termasuk hubungan antar negara.  

Bukankah Perancis –melalui kemenlunya-- akhirnya me”rengek-rengek” meminta negara di Timur Tengah tidak memboikot secara masal produk negaranya, terkhusus Mesir yang memiliki hubungan sejarah dan kultural sangat panjang semenjak Jendral Agung dan kaisar Perancis, Napoleon Bonaparte melakukan ekpedisi ke Mesir, sekaligus meninggalkan peradaban maju bagi Mesir, khususnya dalam konteks perlengkapan ilmiah dan dunia percetakan. Perancis mestinya tak mengotori komunikasi global, dengan hanya bangga atas nama kebebasan ekspresi mengiyakan bahkan mendukung pelaku kartunisasi Nabi Muhammad Saw.     

Di samping itu, sikap ramah tetap harus dipegang. Sanksi bagi para “Pembenci” adalah penting sebagai pembelajaran, tapi bertindak membabi buta mengabaikan prinsip-prinsip kerahmatan kepada para “Pembenci” Nabi juga mewariskan kebencian baru. Bukankan kepada “Pembenci” Islam, Nabi Muhammad selalu menebarkan sikap ramah, kecuali bila dirinya terancam dalam kondisi perang. Bahkan, ketika Nabi Muhammad memiliki kuasa untuk membunuh, sementara “Pembenci” sudah tidak berdaya, Nabi Muhammad memiliki jalan memberikan maaf sebagai bentuk potret kerahmatan atau kasih sayang beliau kepada manusia, terlebih kepada para “Pembenci”nya.

Sebagai Muslim, mestinya kita  ingat cerita populer dedengkot kaum Musyrik yang bernama Da’tsur yang sangat membenci Nabi Muhammad, bahkan akan membunuh beliau.

Alkisah menyebutkan, begitu bencinya Da’tsur kepada Nabi Muhammad Saw. Suatu ketika, Nabi santai-santai untuk menghilangkan rasa lelah setelah menyelesaikan suatu peperangan. Tiba-tiba Da’tsur, pendekar kaum Musyrikin yang sangat ditakuti, menyelinap dan berdiri depan Nabi dengan menghunuskan pedang. Diapun berkata: “hai Muhammad, siapa gerangan yang bisa menyematkanmu dari tajamnya pedang ini ?.”
Dalam kondisi tenang, walau semestinya kaget sebab Da’tsur datang tiba-tiba tanpa diundang, dan tetap teguh pada keyakinan, Nabi menjawab perkataan Da’tsur: walau aku tidak berdaya, tapi kekuatan dan pertolongan Allah yang mengantarkan aku berdaya dan selamat?. Tak lama, Da’tsur gemetar tidak berdaya, dan pedangnya terjatuh. Lantas pedang diambil oleh Nabi dan membalik mengancam Da’tsur dengan pertanyaan: kalau begini, siapa yang menolongmu wahai Da’tsur?.
Jika memang Nabi pendendam. Pastinya, tidak perlu banyak bicara, langsung memenggal leher Da’tsur. Tapi begitulah, Muhammad sebagai Nabi penebar rahmah lebih memilih memaafkan Da’tsur, bahkan memberikan kembali pedangnya. Sikap ramah dan penuh kasih Nabi ini mengantarkan Da’tsur terharu dan masuk Islam dengan suka rela.

Dari sini, kita bisa belajar bahwa menyikapi “Pembenci”, lebih-lebih “Pembenci” Nabi tidak boleh gegabah, apalagi bertindak secara radikal; mulai menyebarkan ujaran kebencian hingga melakukan kekerasan. Bahwa dengan sikap mengedepankan ramah dan kasih sayang –sekali lagi-- memastikan ruang dialogis akan mudah terbentuk sebab semua orang akan luluh dalam kebersamaan sebagai manusia. Walaupun begitu, para “Pembenci”, khususnya pembuat kartun Nabi Muhammad tidak lagi mengulang kembali agar tatanan kehidupan terus damai.

Dengan begitu, perkataan Hadlratus Syekh Kiai Hasyim Asy’ari dalam kitab al-Nur al-Mubin fi Mahabbah Sayyidi al-Mursalin, hlm 9, yang mengutip tokoh sufi sunni Persia Sahl al-Turtari, layak menjadi pijakan bersama bahwa “Pokok dari madzhadku adalah mengikuti akhlak dan perbuatan Nabi Muhammad Saw, makan yang halal dan niat secara ikhas dalam beramal.” Di halaman yang berbeda, hlm 19: Kiai Hasyim menegaskan pula bahwa salah satu bentuk mencintai Nabi Saw. adalah bersikap ramah, senang memberikan nasihat dan senantiasa bergerak untuk kemaslahatan, sekaligus turut mencegah apapun yang menyebabkan kemudharatan menimpa umatnya.

Akhirnya, jangan “sok-sok”an membela Islam, apalagi dengan mengatasnamakan Nabi Muhammad Saw dengan mengunakan cara-cara yang berlawanan dengan prinsip dan akhlak luhur beliau merahmati jagat alam (rahmah li al-‘alamin). Membela Islam yes karena memang kewajiban sebagai Muslim, tapi jangan kotori kemuliaan Islam dengan cara-cara menyebarkan kebencian, menggunakan kekerasan, dan mengadu-domba umat. Selebihnya, para Penebar Kebencian kepada Islam, terkhusus Macron dan sejenisnya, harus menyudahi cara-cara keji penuh kebencian, demi tatanan global yang damai dan saling menghormati.* 



Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.