Ramadhan: Sabar Menghadapi Corona


Prof. H. Abdul Kadir Riyadi, Ph.D
(Guru Besar Bidang Filsafat Tasawuf UIN Sunan Ampel Surabaya)

Dalam sebuah perbincangan santai dengan seorang tetangga, ia mengatakan “andaikata virus corona wujudnya nyata maka akan sangat mudah menangananinya”. Tetangga yang lain menambahkan, “benar, tinggal disemprot di mana ia berada. Tapi karena tidak nampak, maka sangat sulit memeranginya”. Inilah gambaran betapa beratnya menghadapi sesuatu yang sifatnya ghaib, apalagi jika ia dianggap membahayakan keselamatan manusia.  

Hal ihwal virus corona sedikit banyak mirip dengan hawa nafasu; sama-sama tidak nampak, namun memiliki kekuatan besar yang destruktif. Strategi manusia menghadapi hawa nafsu –dan dalam kadar tertentu virus corona- hanyalah defensif. Manusia tidak dapat melakukan offensif terhadap hawa nafsu karena sifatnya yang tidak nampak. Berapa besar kekuatannya, dari mana ia akan menyerang kita, kapan ia akan menyerang, cara apa yang akan ia gunakan dalam menyerang, semuanya tidak kita ketahui. Satu-satunya yang dapat kita lakukan adalah membangun benteng pertahanan untuk mengantisipasi serangan hawa nafsu itu.

Karena tidak nampak, baik hawa nafsu maupun virus corona masuk dalam kategori ghaib. Untuk virus, bisa saja ia nampak oleh alat atau teknologi, namun tetap saja sifat dasarnya adalah ghaib dan bukan empiris.
....................
Dalam Islam diajarkan bahwa wujud ada dua, yaitu yang nampak dan yang tidak nampak. Secara teologis, Tuhan, Malaikat, akhirat dan para Nabi adalah wujud yang tidak nampak. Kepada semua Wujud itu kita diharuskan untuk mengimani keberadaannya. Di samping itu ada pula Jin, Setan dan Iblis yang juga tidak nampak, namun diyakini keberadaannya. Lalu ada wujud-wujud yang nampak atau empiris yang dapat diketahui keberadaannya menggunakan panca indera.

Dalam beberapa aliran Filsafat Barat moderen -seperti filsafat positifisme- wujud yang tidak nampak dianggap tidak ada. Tuhan dianggap tidak ada karena Ia tidak nampak. Filsafat yang mengaku rasional ini nyatanya sangat tidak rasional sebab virus corona yang tidak nampak kenyataannya diakui keberadaannya oleh semua manusia dari ujung dunia paling utara hingga ujung paling selatan.

Dengan demikian rasionalisme filsafat positifisme dengan sendirinya tertolak. Begitu mudahnya filsafat ini tertolak padahal ia dibangun dengan susah payah oleh ribuan pakar dalam jangka waktu yang tidak sebentar. Beberapa ilmu yang dibuat oleh manusia ternyata tak ubahnya seperti istana pasir yang ambruk dan ambyar hanya dalam satu hentakan. Begitulah nasib rasionalisme filsafat positifisme.

Inilah mungkin salah satu hikmah di balik menyebarnya virus corona. Ia mengajarkan kepada kita untuk tidak saja mengandalkan akal pikiran, namun juga menggunakan hati dan nurani. Mengimani sesuatu yang ghaib lebih terkait dengan hati. Peran akal tetap ada namun minim. Kadangkala manusia dengan segala kecerdasan pikirannya justru menjadi sombong dan angkuh. Hati tidak angkuh karena di sanalah Tuhan bersemayam. Akal pikiran yang tidak disinari oleh cahaya hati, ilmu yang tidak dibimbing oleh kemurnian dan kesucian hati akan menjadi sarang para penjahat dan penyamun. Hati sendiri harus terus dijaga antara lain dengan ibadah puasa agar ia tetap bersih dan bercahaya.

Percaya kepada sesuatu yang ghaib membuat hati kita menjadi lembut dan sensitif. Manusia tidak pernah tahu kapan ia akan mati dan menghadap Tuhannya. Bahkan ia tidak tahu apa yang akan terjadi padanya esok hari. Esok adalah ghaib, rahasia Tuhan. Kepada siapa kita memasrahkan nasib kita esok hari kalau tidak kepada Raja yang menciptakan waktu. Bahwa kita harus pasrah, adalah pertanda kalau manusia itu lemah dan serba tidak tahu. Namun, kelemahan dan ketidaktahuan manusia itu sendiri adalah awal baik agar ia dapat pasrah. Artinya, kepasrahan atau tawakkal adalah hasil dari ketidaktauan manusia.

Lalu dimana orang-orang yang selama menampilkan diri sebagai pahlawan atau superman, di saat-saat sulit seperti ini? Jangan-jangan mereka yang sok kuat dan berani adalah mereka yang paling rapuh dalam menghadapi musibah wabah ini. Saya teringat dengan pesan sahabat saya, bahwa biasanya orang yang otoriter itu aslinya penakut. Penindasaannya atas orang lain adalah cara dia untuk menyembunyikan atau memanipulasi kelemahannya.

Benar, corona telah membuat kita semua tidak berdaya, baik yang kecil atau dewasa, muda maupun tua, laki maupun perempuan. Semuanya sedang berduka. Manusia adalah makluq yang lemah. Jangankan dengan virus, dengan nyamuk pun ia kalah. Namun ada satu kelompok manusia yang mendapat pujian dari Rasulullah sebagai orang kuat. Mereka bukan dari kelompok kaya atau bertahta, bukan pesohor atau bangsawan. Mereka adalah kelompok orang yang bersabar.

Rasul dalam satu sabdanya menegaskan bahwa “orang yang kuat tidak diukur dengan kemampuannya berkelahi, melainkan dengan cara ia mengendalikan diri saat marah”. Jika orang yang dapat mengendalikan dirinya saat marah adalah orang kuat, maka mestinya demikian pula dengan mereka yang dapat bersabar saat menghadapi bencana corona ini.

Marilah kita pupuk kualitas kesabaran kita setiap saat antara lain melalui ibadah puasa yang sedang kita jalani ini. Percayalah, Allah akan memberikan jalan keluar atas semua musibah yang kita hadapi, jika kita bersabar. Yang pasti, surga adalah balasan bagi orang-orang yang sabar. Ingatlah bahwa puasa adalah ibadah yang agung. Allah tidak akan menyia-nyiakan ibadah puasa hamba-Nya, jika dilakukan dengan tulus dan ikhlas. Allah menjanjikan pahala yang besar bagi kita yang puasa dan bersabar dalam puasanya. Amin.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.