MOVEMENT SUFISM; Nilai-nilai Tasawuf untuk Gerakan Sosial

Oleh: Wasid Mansyur

“Tasawuf menuntut pelakunya bukan saja mengerjakan hal yang semestinya untuk dirinya. Tapi, harus terlibat aktif untuk kepentingan manusia dalam rangka keberlangsungan hidup”
(al-Tasawwuf wa al-Hayat al-‘Ashriyyah)

Tasawuf  merupakan salah satu pilar penting dapat praktik keberIslaman, bahkan menjadi penyempurna dari semua praktik peribadatan. Pasarnya, jika syari’at lebih banyak berkutat pada persoalan lahir (dhahir), maka tasawuf lebih fokus pada persolan dalam (batin). Maka, puasa atau salatnya orang dhahir cukup mengikuti rukun dan syarat yang telah ditentukan oleh fiqih. Tapi, bagi yang batin keabsahan salat dan puasa berkaitan dengan koneksitas hati dengan Allah SWT, sebagai bentuk implementasi rasa cinta (mahabbah), pengharapan (raja’), rasa takut (khauf) dan lain-lain.

Namun, dalam konteks dinamika pemikiran Islam, khususnya bisa ditilik dari perspektif Ahl al-Sunnah wa al-Jam’ah (Aswaja), praktik bertasawuf dimaknai sebagai langkah sufistik yang mengikuti cara berpikir dan beramal dalam Islam secara batin sebagaimana dilakukan oleh Abu al-Qasim Junaid al-Baghdadi  dan imam Abu Hamid al-Ghazali.  Pola pikir ini yang kemudian dianut oleh NU, yang selanjutnya menjadi dasar bagi kader-kader PMII dalam memahami Islam, khususnya dalam bertasawuf.

Pilihan NU kepada kedua tokoh tasawuf di atas bukan tanpa alasan, atau “ujuk-ujuk manut”. Ini berkaitan dengan pilar ideologi Aswaja yang diyakini oleh NU, khususnya pentingan prinsip moderasi (tawassuth) dan adil dalam kehidupan, khususnya dalam memahami dan mempraktikkan nilai-nilai Islam Aswaja. Kedua tokoh ini yang konsisten merawat –bahkan memperjuangkan moderasi antara aspek syari’at dan tasawuf, di tengah-tengah kecenderungan kuat tokoh-tokoh lain lebih dominan pada syari’at mengabaikan tasawuf atau kecenderungan kuat bertasawuf kurang mengabaikan aspek syari’at.

Imam Junaid, misalnya, berani pasang badan untuk melawan ahli tasawuf yang kurang mengabaikan aspek syari’at, yakni para sufi falsafi. Al-Hallaj yang merupakan muridnya sendiri harus berhadapan dengan sang Guru, imam Junaidi, akibat gejolak spritualnya yang memunculkan ungkapan yang dianggap “nyeleneh” (Shathahat) bahkan bertentangan dengan mainstream syari’at yang mendominasi kekuasaan. Imam Junaid dipandang ikut bertanggungjawab terhadap putusan hukuman mati terhadap al-Hallaj, meskipun Junaid meyakini dalam konteks hakekat bisa jadi yang dialami al-Hallaj sebagai kebenaran, yang dikenal dalam kajian episteme Islam sebagai kebenaran subyektif.

Begitu juga imam al-Ghazali, yang menjadikan pilar-pilar pemikirannya sangat jelas menjaga keseimbangan antara syari’at dan tasawuf. Karyanya Ihya’ ‘Ulum al-Din yang merupakan magnum opusnya menampakkan kecenderungannya dalam berpikir, misalnya ibadah salat selalu dikaitkan dengan dimensi batiniyahnya, disamping dimensi dhahiyahnya. Keduanya dibahas cukup “apik” agar dalam beribadah umat Islam memperhatikan betul dimensi batin, yang berkaitan dengan kontinyuitas koneksi dengan sang Khaliq, di samping dimensi luar.

Karena itu, jalan menuju Tuhan haruslah seimbang, yang dalam perumpamaan yang lain disebut harus melalui perahu sebagai simbol syari’at, lautan sebagai simbol thariqat,  dan intan simbol hakekat.  Cukup aneh, untuk tidak mengatakan tidak mungkin, berharap mencapai tujuan ma’rifat Allah, tapi kurang memperhatikan atau bertindak “sembrono” terhadap aspek syari’at dan thariqatnya.

Lebih dari itu, keseimbangan sufistik dalam konteks kehidupan menjadi jalan pelakunya selalu seimbang merawat koneksitas hubungan dengan Allah di satu sisi dan memiliki kepedulian terhadap kondisi sosial di sisi yang berbeda. Mereka yang betul-betul menapaki jalan tasawuf dan merasakan betul kenikmatannya akan melahirkan kesadaran sosial yang tinggi sebab hubungan vertical dan hubungan horizontal adalah keniscayaan dalam ajaran Islam.

Maka dengan bertasawuf, kader-kader PMII tetap merawat intensitas pergerakan agar semua aktivitas menuju berpijak pada spirit ketuhanan, yang pada konteks tertentu sahabat-sahabat bisa harus “melek” sosial dalam rangka membumikan nilai-nilai ketuhanan itu untuk kemaslahatan manusia, dan alam-Nya. Misalnya, bukankah Allah Maha Adil, Maha Pengasih atau Pemberi Rizki. Tapi kenapa korupsi, menyakiti orang lain, dan memperkaya diri sendiri menjadi praktik yang sulit dihilangkan di negeri ini.

Sufistik Sebagai Gerakan

Di awal tulisan ini, penulis sengaja mengutip perkataan Abd al-Hafidh Farghali Ali al-Qarni untuk memastikan bahwa tasawuf bukanlah gerakan spritulisme yang menghambat pelakunya jauh dari manusia, dengan selalu berargumentasi bahwa manusia disinyalir menjadi penyebab lupa kepada Allah SWT. Sementara mengingat Allah setiap saat adalah keniscayaan yang mesti ada dalam diri pelaku tasawuf (salik).

Orang yang seharinya memegang tasbih dan duduk di tempat khusus (nyarkub, misalnya) –lari dari kehidupan sosial-- sebagai sarana mengingat Allah baik, tapi belum sempurna keberislamannya. Kita bisa belajar dari Nabi Muhammad, yang menjadi sumber utama Islam setelah al-Qur’an, sepanjang hidupnya sulit diragukan totalistik kepatuhannya kepada Allah dalam beribadah, bahkan sampai kakinya bengkak. Nabipun juga aktif menyapa umat sebagai gerak sosial agar kehidupan masyarakat penuh dengan akhlakul karimah.

Spirit yang dilakukan Nabi Muhammad memberikan jalan terang bahwa membangun kemakmuran di langit harus diiringi dengan kemakmuran dibumi. Semangat memakmurkan bumi yang oleh sebagian ulama sebagai bentuk perwujudan nyata dari tugas manusia sebagai khalifah fi al-ardhi. Karenanya, banyak sekali nilai-nilai tasawuf yang menjadi pemantik agar seseorang tetap mengingat Allah, sekaligus tetap aktif menjaga bangsa ini agar terus hidup dalam bingkai kemaslatan dan harmoni dalam kemajemukan.

Pertama, konsep mahabbah(cinta). Konsep mahabbah adalah salah satu maqam yang sangat penting, bahkan paling sempurna dalam tasawuf. Begitu pentingnya konsep ini, imam al-Ghazali membahas cukup detail di juz 4 kitab Ihya’ Ulum al-Din dengan bahasan tentang hakekat mahabbah, syarat dan sebab-sebabnya. Maka cinta kepada Allah –menurut al-Ghazali-- adalah sumber pemantik cinta kepada keindahan dan keagungan ciptaanNya. Mereka yang mencintai selain Allah, tanpa menisbatkan kepada-Nya berarti ia sedang dalam kebodohan mengaku makrifatullah.

Berdasarkan konsep cinta ini, maka para pecinta Allah, harus memiliki kepekaan sosial terhadap masyarakat di sekitarnya. Pasalnya, cinta para sufi umum mencakup semua manusia sebab manusia adalah ciptaan Kekasihnya.  Untuk itu, misalnya di era digital, salik harus memperhatikan betul aktivitas yang dilakukan bersama orang lain, khususnya di dunia maya. Hindari ujaran-ujaran kebencian, hoak dan adu domba serta hal-hal yang merugikan orang lain sebab hal ini berlawanan dengan spirit dari hekekat cinta kepadanya.

Kedua, tentang  tawakkal. Tawakkal bukanlah pasrah total kepada Allah, tanpa usaha. Orang yang tawakkal sejati adalah tetap berusaha semaksimal mungkin mencapai mimpi, tapi hasil dan keputusannya diserahkan penuh kepada Allah. Karenanya, pikiran Imam Junaid layak direnungkan:
إن الله يكره أن يرى عبده فارغا من عمل الدين أو عمل الدنيا.
“Sesungguhnya Allah tidak suka melihat hambanya ‘menganggur’ dari pekerjaan agama, atau juga pekerjaan dunia.”

Dengan begitu, dalam ruang sosial harus diyakini bahwa perubahan tidak datang dari langit, atau ujuk-ujuk teko tonpo kareb. Harus ada gerakan nyata yang konsisten menciptakan mimpi, misalnya menjaga agar nilai-nilai kebangsaan terus baik. Bukankah para pejuang Muslim yang turut mengantarkan Indonesia merdeka adalah beliau-beliau yang larut dalam praktik bertasawuf, tapi juga aktif dalam laskar santri Hizbullah dan Sabilillah dalam melawan penjajah, misalnya KH. Hasyim Asy’ari, KH. As’ad Syamsul Arifin, KH. Masykur, KH. Bisri Sansuri, KH. Wahab Hasbullah dan lain-lain.

Dua nilai-nilai tasawuf ini yang menurut penulis penting sebagai modal gerakan sosial perubahan, sekalipun masih banyak nilai-nilai lain yang tidak kalah pentingnya. Pastinya, aktivitas menapaki jalan tasawuf tida bisa menjadi alasan anda menutup diri atau pasif dalam merespon kondisi sosial nyata. Jadilah pelaku tasawuf yang ikut terlibat sebagai aktivis yang konsisten dalam gerakan melawan fenomena hoak, anti toleransi, korupsi, maraknya peredaran narkoba dan lain-lain.

Al-Ghazali mengingatkan agar kita memiliki ketulusan membangun intensitas dengan Allah setiap saat. Bahkan juga merawat agar setiap aktivitas yang dilakukan tidak menyakiti orang lain.  Karenanya, kader-kader PMII harus menjaga keseimbagan ini sebagai gerak Aswaja agar berbeda dengan kelompok lain, baik ikatan, himpunan, lebih-lebih germa yang tidak memiliki ikatan keagamaan sebagai landasan bergerak.

Akhirnya, warna air adalah warna tempatnya (lawn al-ma’ lawn inaihi), tegas Imam Junaid. Ruh adalah air, dan jasad adalah tempat. Maka kualitas tempat akan berpengaruh terhadap yang menempati, yakni air. Dengan begitu, PMII sebagai gerakan fisik harus dijaga betulnya agar bersih dan konsisten berpijak Nilai Dasar Pergerakan (NDP). Jika tidak, maka spirit pergerakan akan rusak oleh hadirnya kepentingan pragmatis sesaat, dan cenderung hedonistik. Semoga kita menjadi sufi yang bergerak nyata. Dan dari PMII, semoga banyak lahir kader yang seimbang dalam beragama. Amin. Wallahu A’lam.

..........
Materi Tasawuf untuk PKL III PC PMII Sidoarjo. 22 Maret 2020. 
..............
Sumber Bacaan:
Aqiel Siradj, Said. Ahlussunnah wal Jama’ah dalam Lintasan Sejarah. Yogyakarta: LKPSP. 1998.
Farghali Ali al-Qarni,  Abd al-Hafidh. al-Tasawwuf wa al-Hayat al-‘Ashriyyah. Kairo: al-Maktabah al-‘Ashriyah. 1984.
Ibn Sayyid Shatha, Sayyid Abu Bakar. Kifayah al-Atqiya’ wa Minhajd al-Asfiya’.TK: TP. TTH.
Imam al-Ghazali, Ayyuha al-Aulad. Tk: TP. TTH.
Wasid, “Kontekstualisasi Cinta dan Kemanusiaan Perpektif Abu Hamid al-Ghazali” dalam Jurnal Ilmu Keislaman Maraji’, VO 1. NO. 2, Maret, 2015.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.