TELADAN SANG KIAI-PENULIS (Catatan Wafatnya Gus Sholah)



Wasid Mansyur
(Dosen Fahum UIN Sunan Ampel, 
Aktivis PW Gerakan Pemuda Ansor Jatim, dan LTN NU Jatim  )

Satu hal yang menjadi keyakinian kita sebagai Muslim –tidak boleh dipungkiri-- bahwa kematian adalah keniscayaan hidup. Kematian bukan akhir dari segalanya, tapi bisa jadi awal menuju tahapan untuk melanjutkan perjalanan selanjutnya. Maka merefleksikan setiap kematian menjadi jalan terbaik agar kita sadar untuk terus melakukan intropeksi dan agar lebih baik sepanjang hidup, terlebih bila kematian itu terjadi pada sosok Guru Bangsa, Kiai pesantren, dan intelektual Muslim kenamaan, yang selalu dinantikan gagasannya bagi bangsa dan agama.

Sosok yang dimaksud adalah Dr. (HC) Ir. KH. Salahuddin Wahid atau yang dikenal Gus Sholah. Meninggalnya Gus Sholah menjadi duka, sekaligus kehilangan bagi kalangan pesantren, NU, dan Bangsa sebab sepanjang hidupnya beliau telah mencurahkan gagasan dan tindakan yang berkaitan dengan isu-isu tersebut. Menariknya  perspektif beliau selalu dibingkai dengan Islam, kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan.


Meninggalnya Gus Sholah menyebar secara berantai di berbagai media sosial, termasuk di semua group whatshapp yang penulis miliki,  dimulai sejak meninggal pukul 20.55 Wib tanggal 02 Februari 2020. Itu artinya ketokohan Gus Sholah telah menjadi amatan banyak anak bangsa, dan petuah-petuah serta sikapnya selalu dinanti untuk dipahami, direfleksikan sekaligus diteladani setiap saat dalam menyikapi banyak hal kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara.


Menurut rencana beliau akan dimakamkan pada pukul 16.00 Wib di area makam Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, bersanding dengan kakek, ayahanda, kakak, dan kerabat lainnya. Pemakaman ini menjadi saksi dan jalan keabadiannya agar kita tetap merawat keteladanan Gus Sholah, yang salah satunya adalah tradisi kuat menuliskan gagasan dan pemikirannya untuk memberikan pencerahan bagi lapisan masyarakat. 


Tulisan Mencerahkan
Bila ditilik sejenak, titisan darah hobbi menulis Gus Sholah tidak bisa dipisahkan –khususnya-- dari spirit sang Kakek Hadlratusy Syaikh Kiai Hasyim Asy’ari, ayahanda KH. Wahid Hasyim, termasuk kakaknya beliau, yakni KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang karya-karyanya sampai hari ini dibaca oleh banyak kalangan, terlebih dalam isu keislaman, ke-NU-an dan kebangsaan. Karenanya, gagasan Gus Sholah selalu mengalir, kritis, dan sangat berani untuk berbeda demi keyakinan serta integritas gagasan dan pemikirannya, sebagaimana juga dilakukan oleh kakek, ayahanda, dan kakaknya yang lebih dulu menghadap kehadirat Allah Swt, lahumul fatihah.

Ada dua yang penting bagaimana tradisi menulis Gus Sholah layak diteladani. Pertama, mengembangkan literasi kritis dan ber-etika. Maksudnya Gus Sholah pembaca ulung, sekaligus penulis tangguh, yang selalu beriringan. Karenanya, beliau selalu mendukung setiap aktivitas literasi kaitan kepenulisan dan pentingnya tradisi membaca dengan semangat kritisisme.


Masih dalam ingatan penulis (11/4/2017), ketika Gus Sholah ikut terlibat diskusi bedah buku “membuka Ingatan Memoar Tokoh NU yang terlupakan” terbitan Pustaka Tebuireng di Pascasarjana UIN Sunan Ampel. Bagaimana beliau dengan semangatnya mengajak peserta –dari kalangan milenial-- agar sering membaca sejarah, terkhusus sejarah para tokoh bangsa. Dari sini, generasi muda bisa dan harus meneladani tentang semangat untuk maju, menguatkan potensi diri, memiliki disiplin dan integritas, terlebih tokoh negarawan.


Lebih dari itu, dari tokoh bangsa ini juga kita bisa belajar tentang kritisisme, yakni kesadaran kritis agar dapat merespon kondisi kekinian beragama, berbangsa dan bernegara. Generasi muda harus kritis membaca sekaligus bersikap, tapi tetap dalam batas dan cara penyampaian yang ber-etika, tegas Gus Sholah memompa audien bedah buku.


Kedua, teguh dalam prinsip, teduh dalam bertutur. Sikap dan pikiran ini nampak dalam sosok Gus Sholah, termasuk dalam tulisan-tulisannya sebab memang “tulisan atau karya tulis adalah anak ideologis penulisnya. Apa yang ditulis beliau sejatinya adalah keresahan berpikir –secara ideologis-- yang dialami ketika melihat kondisi keislaman, ke-NUan hingga kebangsaan. Di selah-selah memimpin Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Gus Sholah masih sempat menulis untuk memastikan keresahan yang dipikirkan dapat dibaca secara luas sebagai bahan diskusi, sekaligus refleksi hidup ke depan.


Tulisan Gus Sholah berjudul judul “Refleksi 94 Tahun NU” mewarnai koran kompas tanggal 27 Januari 2020, yakni 7 hari sebelum beliau meninggal menghadap sang Khaliq. Tulisan –bisa jadi wasiat pemikiran-- ini layak dibaca– khususnya bagi warga nahdliyin--. Pasalnya, amatan kritis dan reflektif Gus Sholah sangat tajam dalam tulisan ini agar dalam berNU kita harus serba hati-hati; hati-hati agar NU tetap sebagai ladang perjuangan panjang jama’ah (warga) dan jam’iyyah (organisasi).


Menariknya, pada 2 paragraf terakhir nampaknya Gus Sholah mengingat agar NU istiqamah dalam berjuang. Istiqamah yang dimaksud agar semua aktivitas NU selalu bergerak untuk kepentingan dan pencerdasan umat dalam kegiatan pendidikan, sosial, ekonomi dan kesehatan. Ajakan beliau nampaknya menjadi wasiat “pekeleng” bagi kita semua sebab “masa depan NU berkaitan dengan masa depan Indonesia”, pungkas Gus Sholah.


Akhirnya, Gus Sholah telah meninggalkan kita semua. Tapi, gagasan dan pikirannya yang selalu mencerahkan umat harus kita kenang untuk diteruskan menjadi praktik kehidupan di tengah-tengah kehidupan kita yang mudah terjerat semangat individualisme, yang dalam banyak hal melupakan kerja-kerja pengabdian untuk bermasyarakat dan berbangsa. Tepat umur 77 beliau meninggal, yang lahir 11 September 1942 Jombang dan disemayamkan di Jombang pula agar kiranya dekat dengan leluhurnya, pesantren dan santri. Selamat jalan kiai, intelektual Muslim, pejuang hak asasi manusia, dan penulis multi talenta. Lahul fatihah.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.