MEMBUMIKAN 3 AJARAN NABI ISA IBN MARYAM



Oleh: Wasid Mansyur

Tulisan ini sengaja dirancang pada tanggal 25 Desember 2019, bersamaan dengan saudara-saudara kita dari umat Kristiani merayakan Hari Natal di seantaro negeri ini. Tapi, tulisan tidak akan mengupas soal perdebatan tahunan yang muncul dikalangan umat Islam –secara khusus-- kaitan dengan hukum menggunakan terompet, hukum menggunakan atribut agama lain, hukum tentang mengucapkan selamat hari natal, menghadiri  acara di gereja hingga hukum ikut serta menjaga gereja.

Sengaja keluar dari perdebatan yang sering ramai sebab nyatanya hukum fikih sangat beragam merespon tentang hal-hal tersebut, ya semacam "al-khuruj minal khilaf". Karenanya, tidak usa ribut-ribut dan fanatik, apalagi merasa paling benar hingga mengabaikan pendapat yang memperbolehkan. Bahkan, parahnya masih ada saja pihak individu atau kelompok mengkafirkan yang berbeda pendapat. Begitulah, hal ini selalu terjadi dipenghujung tahun masehi. Tidak tahu, kapan kondisi ini berhenti sehingga lebih fokus pada hal lain.

Oleh karenanya, tulisan ini akan fokus pada ajaran Nabi Isa agar kita tidak terjebak pada hal-hal furiyyah melupakan hal-hal pokok dari ajaran Nabi Isa, termasuk soal perbedaan pendapat kaitan kelahiran Nabi Isa. Pokok-pokok ajarannya penting untuk ditelaah dalam konteks masa kini, apalagi bagi Islam nabi Isa adalah salah satu Nabi -sekaligus Rasul- yang harus diyakini keberadaan dan kitabnya bersama 24 nabi-rosul lainnya.

Nabi Isa, misalnya, dikenal sebagai sosok yang sangat zuhud (arketisme). Ini yang mungkin jarang diketahui, padahal ajaran zuhud mengajarkan banyak hal agar kita tidak berlebihan dengan dunia. Menyikapi dunia berlebihan akan melupakan kita pada sejatinya hidup dan ke mana akan hidup. Dunia bisa dimaknai dengan jabatan, kekayaan, istri, anak, mobil, dan seterusnya, yang tidak sedikit orang larut dan lupa diri hingga lahir prilaku korup, culas dan penyakit sosial lainnya.

3  Ajaran Agung

Untuk mengetahui 3 ajaran nabi Isa, penulis menggunakan Kitab Qashashul Anbiya’ karya ibn Kastir, yang ditahqiq oleh Mushtafa ‘Abd al-Wahid, terbitan Makkah al-Mukarramah al-‘Aziziyah,  tahun 1988. Kitab ini menarik menceritakan cerita-cerita para Nabi; mulai dari kelahiran, perjuangan, hingga wafatnya berdasarkan riwayat pada imam. Termasuk dalam konteks ini adalah ajaran nabi Isa, yang disertai riwayat-riwayatnya.

Pertama, ajakan Nabi Isa agar kita tidak berlebihan dengan dunia. Orang yang sudah terlanjur senang dunia akan tidak pernah merasa puas terhadap capaian yang diperolehnya. Karenanya, Nabi Isa mengatakan:

عن أبي عبد الله قال، قال عيسى: طالب الدنيا مثل شارب ماء البحر. كلما ازداد شربا ازداد عطشا حتى يقتله.

“orang yang mencari dunia layaknya orang yang minum air laut. Sekali dia minum akan terus minum sebab rasa haus terus bertambah hingga ia mati”

Dari pernyataan Nabi Isa, hal 706, kita menyaksikan bagaimana orang yang melakukan korupsi di negeri ini, bukanlah orang miskin. Tapi orang yang sudah berkecukupan, bahkan tidak sedikit hartanya sudah milyaran. Begitulah kalau sudah senang berlebihan terhadap dunia, ia akan tidak pernah merasa puas. Sebaliknya, ada perasaan takut miskin sehingga ketika ada kesempatan berkuasa, ia akan menggunakan kesempatan itu untuk menguras kekayaan dengan cara apapun. Lagi-lagi, ketidak puasan itu yang menjadi penyakit bagi para pecinta dunia hingga lupa diri.

Maka, ingatlah ! dunia yang kita miliki hanya sementara. Tidak akan abadi mengiringi kita, kecuali yang diinvestasikan bagi kepentingan akhirat dengan berinfak dan bershodaqoh, termasuk ikut serta memberikan kelebihan hartanya bagi pengentasan anak-anak putus sekolah, korban narkoba atau para bencana longsor, banjir dan lain-lain. 

Kedua, ajakan untuk melihat diri sendiri, ketika melihat banyak orang melakukan dosa. Ini penting, agar kita tidak mudah berlagak menjadi seperti “Tuhan” dengan mudah menvonis mereka yang bermaksiat. Padahal kita sendiri masih hamba yang tidak luput dari dosa dan kesalahan. Kaitan dengan ini Nabi Isa, hal 707, mengatakan sebagaimana diriwayatkan oleh imam Malik:

عن مالك قال عيسى ابن مريم: ......ولا تنظروا فى ذنوب العباد كأنكم أرباب. وانظروا فيها كأنكم عبيد. فإن الناس رجلان معافى ومبتلى. فارحموا أهل البلاء واحمدوا لله على العافية.

“Janganlah kamu melihat dosa orang lain seakan-akan kamu Tuhan. Lihatlah dosa-dosa itu seakan-akan kamu seorang hamba. Maka sesungguhnya manusia ada kalanya sehat dan  ada kalanya dalam keadaan  menderita. Maka kasihani mereka yang menderita. Dan memujilah kamu kepada Allah atas segala kesehatan.”

Perasaan menjadi hamba memastikan bahwa, ketika melihat orang lain dalam lumuran dosa atau dalam kondisi tidak berkecukupan, maka kita harus memiliki kasih sayang dengan mengulurkan tangan dan mengajak mereka agar kembali ke jalan yang benar dan hidup dalam kecukupan. Jangan gunakan kekerasan atau intimidasi sebab kedudukan kita tetap sebagai hamba, bukan Tuhan. Bahkan, kita tidak pernah mendapat mandat dari Tuhan untuk melakukan intimidasi, mem-bullying dan melakukan kekerasan atas nama apapun, termasuk atas nama dakwah.

Ketiga, peringatan bagi orang berilmu agar tidak tergelincir. Pasalnya, orang yang tahu tergelincir memiliki dampak sosial yang besar dari pada orang bodoh. Lebih-lebih di ruang medsos, ketergelinciran akan dilihat banyak orang sehingga sikap hati-hati dan menimbang sisi manfaatnya bagi umat harus diperhatikan. Nabi Isa mengatakan diriwayatkan oleh ‘Ikrimah, hal 709:

من أشد الناس فتنة؟ قال: زلة العالم، فإن العالم إذا زل يزل بزلته عالم كثير.

“Siapakah orang yang paling banyak fitnahnya. Nabi Isa menjawab: orang alim yang tergelincir. Pasalnya, alim yang tergelincir menjadi sebab tergelincirnya alam raya ini.”

Alim adalah intelektual, baik ahli dalam agama maupun keilmuan lainnya. Intelektual yang tidak serius melakukan analisis yang matang hingga menghasilkan produksi yang tidak tepat. Dipastikan, banyak orang yang dirugikan atas produk keilmuannya. Termasuk, agamawa yang merespon kondisi sosial tidak tepat akan berpengaruh pada umatnya.   Karenanya, perlu sikap hati-hati, sekaligus memberikan contoh terbaik bagi umat dalam merespon apapun, termasuk mempertimbangkan realitas berbangsa dan bernegara.

Akhirnya, tiga ajaran Nabi Isa sebagaimana disebutkan adalah pelajaran pada kita agar tidak terjebak ---meramaikan-- pada kondisi luaran atau formalitas hidup di dunia, sekalipun dalam kasus tertentu penting. Keluhuran budi pekerti dan kepedulian kepada sesama adalah salah satu kunci hidup ini sukses, baik di dunia lebih-lebih diakhirat, dengan tetap pada keyakinan bahwa kita tetap sebagai hamba Allah, tak perlu berlagak sepertiNya. Dari sini, penulis yakin ke depan kehidupan beragama dan berbangsa akan semakin dewasa.  Semoga akhir tahun ini senantiasa dalam kedamaian. Wallahu a’lam.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.